Chereads / The Seven Wolves: The Collateral / Chapter 35 - How Are You?

Chapter 35 - How Are You?

Suasana panas boleh terjadi di luar bangunan kompleks apartemen mewah James Harristian. Tapi ternyata panas itu bisa sampai menjalar masuk ke dalam apartemen itu. Tony Kim, salah satu Paman Arjoona diundang Jayden Lin untuk datang dan bertemu keponakannya. Awalnya James tak tau jika Jayden merencanakan sampai begitu detail bahkan melibatkan salah satu anggota keluarga Kim untuk menback up Arjoona. Namun setelah dijelaskan, Jayden juga ingin agar nama Golden Dragon bersih melalui penyelesaian masalah tersebut. Arjoona harus mengenal keluarganya sendiri.

Namun jika berbagai kepentingan berada dalam satu ruangan maka yang terjadi adalah... suasana panas penuh ego. James dengan mudahnya menodongkan moncong senjata dengan peredam ke kepala Tony Kim karena ia mengajukan negosiasi wilayah pada Arjoona.

"Haha... aku hanya bercanda... jangan diambil hati!" ujar Tony mulai ketakutan karena James makin menekan bagian belakang kepalanya. Jayden sudah hampir meledak tertawa melihat si gunung es itu hendak meledakkan kepala Tony.

James baru menurunkan senjatanya saat Tony setuju dengan dukungan tanpa meminta balas jasa kembali pada Joona. Mereka akhirnya sepakat untuk bertemu di Miami, minggu depan. Setelah Tony keluar, Joona masih menghabiskan waktunya di penthouse milik Jayden tersebut.

Ia tak pulang lagi ke mansion Winthrop dan sudah memutuskan hubungan dengan kekasihnya tanpa diketahui oleh James dan Jayden. Hari ini adalah malam ke empat James berada di Indonesia. Dan ia sudah dengan teratur mencari kabar dari mansionnya di Italia.

Delilah dikurung di dalam mansion itu tanpa bisa keluar sama sekali. Entah bagaimana keadaan toko bunganya atau pun apartemen kecil tempatnya tinggal. Ijin keluar yang diberikan oleh James adalah hanya berjalan di dalam mansion dan selalu diikuti oleh Lordes atau Grey. Praktis selama lebih dari seminggu, Delilah tak bertemu matahari.

James menghela napasnya mematikan ponsel lalu mengurut keningnya. Delilah kini punya cara baru membuatnya kesal yaitu bersedia mengangkat telepon tapi tak mau bicara. Pada akhirnya, James akan mematikan ponsel karena terlalu lama didiamkan.

"Ada apa?" tanya Joona begitu melihat James setengah melempar ponsel ke meja kopi di depannya.

"Tidak ada," jawab James singkat. Tapi wajahnya kesal dan ia beberapa kali mengurut kening. Dengan kaki terlipat dan duduk di pinggir sofa, James bersandar dengan santai.

"Kamu selalu bilang tak ada, atau aku tak apa... kamu terlalu dingin, James," tegur Joona sembari duduk di sebelah James.

"Sungguh, aku tidak apa-apa."

"Lalu apa yang membuatmu murung?" James mendengus tersenyum sarkas.

"Bukankah kamu yang terlihat murung... oh iya, kemarin kamu kemana? Aku tidak melihatmu setengah hari," tanya James sedikit menoleh pada Arjoona yang berekspresi datar. Ia tak menujukkan emosi apapun setelah melakukan balas dendamnya pada Claire Winthrop dengan merengut kehormatan gadis itu kemarin.

"Tidak ada, aku hanya punya urusan sendikit. Tadi pagi... aku ke makam ibuku, Earth menemukannya." James sepenuhnya menoleh pada Arjoona dan tak bicara apapun.

"Kamu berdoa untuknya?" tanya James dengan nada sangat rendah. Arjoona menjawab dengan anggukan dan deheman lembut.

"Aku mungkin tak ingat seperti apa dia. Tapi aku tau dia menyayangiku." James tersenyum. Ia lalu mengambil iPad di atas meja dan mulai melihat lagi pada pekerjaan yang sempat ditinggalkan sebentar karena menelepon Delilah.

"Disana aku bertemu dengan Kakak Ibuku." James mengangguk.

"Apa rasanya bertemu dengan salah satu anggota keluargamu?" tanya James masih melihat pada layar iPad di atas salah satu pahanya.

"Entahlah..."

"Dia bilang ingin bertemu lagi. Abimanyu Gotardo juga masih hidup," sambung Joona lagi.

"Apa kamu akan menemuinya, Joona?" tanya James begitu melihat Arjoona memegang kartu nama Keinan Gotardo. Joona menoleh pada James sesaat dan tersenyum tipis.

"Aku belum tau." James melipat kakinya dan kembali menscroll sesuatu tablet-nya lagi.

"Temuilah Om mu, siapa tau Kakekmu memang ingin bertemu." Joona mendengus sinis dan menggeleng.

"Aku rasa tidak." James hanya menoleh sejenak lalu tersenyum.

"Kenapa? Jangan sampai kamu menyesal, adik kecil. Kita akan berangkat beberapa hari lagi, lakukan yang ingin kamu lakukan disini. Mungkin saja kita tidak akan kembali," balas James masih terus membaca di iPad-nya. Joona memandang James di sebelahnya yang sibuk dengan urusannya sendiri. Arjoona hanya menghela napas dengan berat.

"Mana Jayden?" tanya Joona mengalihkan pembicaraan. James menghela napas berat sebelum menjawab.

"Dia pulang ke rumahnya." Joona menaikkan alisnya pada James yang menjawab tanpa memandang Arjoona.

"Dia punya rumah disini?" James tersenyum dan mengangguk.

"Ibunya orang Indonesia, Ayahnya orang Tionghoa. Dan ya dia dulu tinggal disini, dia bisa bahasa Indonesia dengan baik sama seperti kita." Arjoona tersenyum.

"Bahasa Indonesiamu mulai jelek, James," goda Joona dan berhasil membuat James menoleh sambil mengernyitkan keningnya.

"Aku bukan lagi orang Indonesia, Joona!"

"Oh ya, aku tau." Arjoona masih tersenyum. Joona sangat suka menggoda James dengan menyebut-nyebut tentang asal usulnya. Nasibnya sama seperti Arjoona, punya Ibu orang Indonesia dan Ayah yang ia tak tau berasal darimana. Bukan tak tau, tapi tak mau tau.

"Jayden itu... berbeda," ujar Arjoona setelah terdiam lama dan itu membuat James tersenyum.

"Jangan tertipu dengan senyuman dan wajah tampan manis Tionghoa-nya. Dia punya kisah yang pahit dan dia gila." Joona sontak menoleh.

"Maksudmu?" James ikut menoleh dan menyengir pada Joona.

"Dia bisa memotong bagian tubuh orang lain sambil menonton film komedi. Dia itu... psycho." James memberi tanda di kepala seolah Jayden adalah orang gila. Arjoona melebarkan matanya terkejut.

"Lalu kamu?" James malah memajukan bibir seksi nya sambil berpikir.

"Aku lebih suka menembak. Aku kurang suka menyiksa." Joona hanya menghela napas dan menggelengkan kepalanya.

"Dulu kamu bilang pernah punya pacar..." ujar Arjoona lagi. James menarik napas panjang dan memilih tak mau menjawab.

"Apa itu dia?" Arjoona tak mau menyerah.

"Apa maksudmu!"

"Yang membuatmu melemparkan ponsel barusan," ujar Arjoona sedikit menyengir. James memandang Arjoona lekat lalu menaikkan telunjuk dan mengibas-ngibaskannya perlahan di depan Joona. Ia berdiri tak bicara lagi dan berjalan masuk ke dalam kamar. Joona hanya tersenyum pelan dan senyumannya kemudian hilang setelah James benar-benar masuk.

Sementara James tak punya mood untuk menyelesaikan pekerjaan setelah sosok Delilah disinggung lagi. Belakangan ia jadi resah berjauhan dengan Delilah. Kenapa dia jadi penting sementara tak ada yang penting dalam hidup James selama ini?

Dengan langkah malas, ia duduk di pinggir ranjang lalu mengurut keningnya lagi. Tiga menit kemudian, ia meraba salah satu saku dalam jas dan mengeluarkan sebuah ikat rambut hitam milik Delilah. Sampai kini Delilah tak tau jika ikat rambutnya telah dicuri James sekian lama.

James terus memandangi ikat rambut itu lalu mendekatkannya ke depan bibir penuhnya.

"Apa yang sedang kamu lakukan sekarang, Candy?" gumam James di depan karet rambut itu.

Keesokan harinya, James dan Jayden mengurus seluruh hal untuk kepergian Arjoona kembali ke Miami demi mengkalim hak warisnya pada Kim Corp. Sedangkan Arjoona dimintai tolong oleh Jayden menjadi perwakilan SJ Corp selama beberapa hari mengurus pekerjaan sebagai CEO sebelum pergantian CEO baru.

"Aku pergi sebentar, Lopez menguntit Arjoona lagi!" ujar Jayden setelah ia mendapat laporan dari salah satu anggota Golden Dragon yang ditugaskan mengawal Arjoona. James yang masih mengurus beberapa dokumen menaikkan wajahnya melihat Jayden. Jayden terlihat membereskan beberapa kertas lalu mengambil senjatanya dan menyelipkan dibalik jas.

"Aku bosan melihat Lopez... penjahat kelas teri seperti itu harusnya sudah mati." James merespon dengan mengambil dokumen yang diberikan Jayden padanya.

"Akan kubunuh dia jika ia menyentuh Arjoona. Aku sudah tidak bisa mentolelirnya lagi!" sahut Jayden bersiap hendak pergi.

"Harusnya kamu dan Miller membunuhnya saja dulu. Mempermainkannya hanya akan membuat kalian dalam bahaya," balas James. Jayden mengangguk.

"Kita bicarakan ini nanti, aku pergi dulu. Tolong selesaikan dokumen itu!" tunjuk Jayden dan James jadi manyun melihatnya. Jayden langsung keluar tak lama kemudian meninggalkan James yang masih berkutat dengan legalisasi identitas Arjoona.

Setengah jam kemudian, James menerima sebuah panggilan. Ia terdiam beberapa saat dan hanya menyahut,

"Aku mengerti." Diakhir kalimat. James lalu menulis sesuatu di selembar kertas note kecil. Sebelum kemudian menutup panggilan telepon itu. James lantas berdiri dan memasukkan kertas kecil itu ke dalam saku jas. Ia keluar dari penthouse dan berjalan menuju lobi sendirian. Setelah menunggu beberapa saat, mobil mewahnya kemudian dibawa oleh petugas parkir valet sebelum kemudian ia masuk ke balik kemudi dan melaju pergi.

James memasukkan alamat yang ia tulis di atas kertas kecil itu ke layar GPS sebelum akhirnya sebuah suara memandunya melaju di jalanan ibukota.

Satu jam kemudian, James tiba di sebuah taman pemakaman. TPU itu tampak sangat lengang dengan panas matahari menyengat. James sempat sedikit menengadah melihat matahari tepat berada di atas kepala. Kakinya lalu melangkah ke TPU yang papan namanya saja sudah hampir tak tampak karena karatan.

Ia lalu bertanya pada salah satu petugas makam yang lusuh, tua dan jauh lebih pendek dari tubuh jangkungnya. Pria itu lalu menunjuk pada salah satu sudut di makam itu dan mata James yang masih memakai kacamata hitam mengikuti arah telunjuk pria tua itu. James sedikit menunduk berterima kasih lalu berjalan ke arah yang ditunjukkan.

James melewati beberapa makam tak bertuan alias tak memiliki nisan. Sampai akhirnya ia tiba di tujuannya. Sebuah makam yang sudah ditumbuhi oleh rumput ilalang dan salah satu yang menandakannya adalah batu nisan yang hampir hancur.

James membuka kacamatanya mendekat untuk membaca nisan itu lebih dekat. Disana tertulis nama seorang wanita, Maya Delavina.

"Hai, Ma!"