"Ma... Mama...!" panggil James begitu ia pulang sekolah. Ia sudah masuk SD di umur 5 tahun dan cukup mandiri untuk anak seusianya. Tak lama, seorang pria keluar dari kamar ibunya sambil memakai baju dan memperbaiki celana. Tak lama sang ibu juga ikut keluar setelah memperbaiki tali tank topnya. Si pria dengan genitnya mencolek dagu Maya, ibu kandung James sebelum berjalan ke arah James yang berdiri terpaku dengan seragam merah putihnya.
Lelaki itu kemudian menolak kepala James dengan kasar sambil lewat dan keluar dari rumah mereka. James mencoba menghindar tapi ia hanya anak kecil yang melihat ibunya dengan pandangan nelangsa.
"Kamu udah pulang?" tanya Maya sambil sedikit menyeka peluh yang masih tersisa. James mengangguk lemah.
"Kamu lapar?" James mengangguk lagi. Maya kemudian mengajak James untuk masuk ke dapur dan membuatkan makanan sederhana untuknya. Maya bukanlah ibu rumah tangga, ia tak bisa memasak sama sekali. Menggoreng telur saja bisa sering hangus tapi ia masih berusaha memberikan makanan untuk satu-satunya putranya itu.
Hanya dengan telur ceplok mata sapi dan nasi putih, James menghabiskan makan siangnya. Rasa agak-agak pahit karena sedikit gosong namun James tak menggubrisnya. Ia tetap makan masakan aneh Ibunya itu. Di depannya, sang Ibu kemudian menghitung uang yang ia dapatkan dari pria yang sebelumnya keluar dari rumah mereka.
"Kenapa?" tanya Maya setengah ketus pada James.
"Bu guru bilang aku harus beli buku, Ma," ujar James setelah diberi delikan oleh Maya. Maya kemudian mengambil salah satu lembar uang puluh ribuan dan memberikannya pada James.
"Nih, beli buku sana!"
"Tapi aku gak tau beli dimana."
"Ya tanya dong sama guru kamu. Masa udah nyuruh gak tau belinya dimana!" balas Maya setengah kesal. James lantas diam dan menunduk. Melihat itu, Maya jadi tak tega.
"Ya udah Mama temenin nanti, tapi kamu tidur cepat ntar malam. Mama banyak kerjaan!" James terpaksa mengangguk.
TAMAN PEMAKAMAN UMUM
Makam itu tak terurus sama sekali. Ilalang tumbuh dimana-mana. Begitu lama James pergi diusir oleh Ibunya sendiri. Sejak ia di panti asuhan, bisa dihitung dengan jari berapa kali sang Ibu menjenguk. Alasannya klise, suami barunya tak suka ia datang melihat James.
James berjongkok lalu mencabut sedikit ilalang yang menutupi nisan makam itu sehingga tampaklah nama Maya Delavina yang begitu kotor terukir disana.
"Apa Mama masih ingat padaku?" tanya James pada batu nisan itu sambil menarik napas panjang.
"Aku selalu berpikir bahwa aku harus pergi, agar pria itu bisa memperlakukanmu selayaknya seorang istri. Tapi dia bahkan tak merawat makammu." Tangan James saling menyapu sisa debu yang melekat di tangan.
"Siapa yang duluan mati... dia atau kamu, Ma?" tanya James dengan nada sarkas. Ia tersenyum miris sambil mengatupkan kedua bibirnya. James terdiam masih memandang makam itu. Dari sanalah ia berasal, dari wanita bernama Maya Delavina.
James lalu mengeluarkan ponselnya dan sebuah pesan dikirimkan seseorang ke ponselnya. Lebih tepatnya sebuah foto.
"Frans Albert Harristian... apa itu nama Ayahku?" tanya James sambil memperlihatkan layar ponsel seolah batu nisan itu bisa melihat.
"Sepertinya iya..." James lalu berdiri dan masih menatap makam ibu kandungnya dengan perasaan yang tak dapat ia jelaskan. Rasa sakit pada jiwanya yang senang melihat penderitaan orang lain berasal dari rasa sakitnya pada orang tua. Pada Ayah yang tak mengakui keberadaannya dan pada Ibu yang melacurkan diri demi uang dan kenyamanan hidup.
"Mungkin suatu saat kita akan bertemu lagi. Sampai jumpa, Ma!" ujar James lalu berbalik dan berjalan menjauh dari makam itu. James kemudian menghampiri penjaga makam yang sudah tua dan menunjukkan jalan padanya tadi.
"Berapa aku harus bayar untuk merawat makam ibuku?" tanya James pada pria itu.
"Oh, uang bulanannya sekarang jadi 300 ribu, Pak." James mengangguk. Ia kemudian mengeluarkan dompet dan uang tunai satu juta.
"Besok akan ada yang mengantarkan uang lagi untuk perawatan selama 5 tahun, bisa?" James menyodorkan uang itu sebagai uang muka. Pria itu mengangguk.
"Tolong bersihkan makamnya, dan juga... ganti nisannya," tambah James lagi usai memberi uang itu.
"Selama ini tidak pernah ada yang datang ke makam itu. Waktu dia meninggal juga seingat saya gak ada yang datang," ujar pria penjaga makam itu.
"Kapan dia meninggal?"
"Masih muda sih, sekitar 15 tahun lalu. Kabarnya dia penyanyi dangdut terkenal yang jadi istri pengusaha tapi malah dimakamkan di sini," jawab pria itu. James mengangguk tanpa tersenyum.
"Terima kasih." James kemudian berjalan melewati pria itu dan memakai kacamata hitamnya lagi. Ia masuk ke dalam mobil mewah dan segera pergi dari TPU itu. James lalu menghubungi Earth memberinya perintah untuk mengantar uang sebanyak 20 juta rupiah untuk petugas makam yang akan merawat makam ibunya.
"Baik, akan aku antarkan besok, Tuan!" jawab Earth dan James langsung mematikan ponselnya.
Mobil mewah itu lantas menuju ke sebuah alamat yang diingat James sebagai tempatnya tinggal terakhir sebelum dibuang ke panti asuhan. Ia berhenti di sebuah tempat yang harusnya jadi rumah mewah milik Oscar Hermawan tapi malah berdiri ruko-ruko padat dan lingkungan itu sudah jauh berbeda.
James kemudian bertanya pada beberapa orang. Beberapa mata ikut memandang si tampan itu dengan ekspresi tertegun.
"Wah, kalo itu tanya aja sama Pak RT, itu rumahnya!" tunjuk salah satu warga yang menempati ruko. James sedikit mengangguk lalu berbalik pada rumah yang dimaksud. Dari ketua RT, James baru memperoleh sedikit riwayat tentang pria yang pernah menikahi ibunya itu.
"Pak Oscar bangkrut, gara-gara anaknya Garvin malah menggadaikan semua harta mereka bermain investasi bodong. Eh, malah ketipu. Ya namanya karma emang begitu!" ujar ketua RT itu.
"Karma?"
"Ya, kan Pak Oscar ngusir istrinya bu Maya waktu dia sedang sakit gara-gara bu Maya gak ngijinin Pak Oscar nikah lagi. Sampe heboh malam-malam saya datang ngomong baik-baik sama Pak Oscar malah diusir!" James masih diam menyimak.
"Semenjak dia nikah lagi itu. Istri mudanya malah kabur bawa mobilnya sama pacarnya trus dia tipu lagi sam anaknya si Garvin ampe hartanya ludes semua." James sedikit mengernyitkan kening dan sedikit menunduk.
"Sekarang Garvin dimana?"
"Jadi kuli panggul di pasar," jawab ketua RT itu lagi. James mengangguk.
"Kalo boleh tau, Mas ini, sodaranya mendiang bu Maya ya?" tanya ketua RT itu sambil memperhatikan wajah James yang memang mirip Maya. James tersenyum tipis.
"Aku anaknya." Mata ketua RT itu terbelalak dan tak bisa bicara. James lalu memohon ijin dan berterima kasih karena sudah diberi informasi. Sedangkan ketua RT dan beberapa warga yang sempat melintas bahkan berdiri seakan melihat selebritis masuk ke rumah ketua RT. Dengan santai dan dingin, James kembali masuk ke dalam mobil mewahnya dan berkendara ke pasar tradisional tak jauh dari sana.
Tak ada mobil sport mewah masuk pasar yang sedianya becek dan kotor. James sering melihat pemandangan seperti itu saat masih kecil dan diasuh tetangganya. Dibawa ke pasar untuk menemani berbelanja. Kini ia berhenti dengan mobil mewahnya dan belum keluar dari mobilnya. Setelah beberapa saat, James lalu keluar dan bersandar di sisi mobil.
Kemudian ia mengambil sekotak rokok dari balik saku jas dan mengeluarkan salah satu batang lalu menyalakan ujungnya. Sambil menghembuskan asap dari tarikan rokok yang ia hisap, James memperhatikan orang-orang lewat dan seorang pria yang sedang memanggul bawang melewatinya.
"Garvin..." pria itu lantas berhenti dan menoleh pada James. James menaikkan ujung bibirnya sambil memandang pria yang ia panggil Garvin itu dari ujung rambut sampai kaki. Garvin kemudian menurunkan karung bawang yang dibawanya. Matanya sempat tertegun dan keningnya mengernyit.
"Siapa ya?" tanyanya dengan kebingungan. James masih merokok dan menghembuskan asapnya agak menyamping.
"Kamu tidak ingat padaku? Huh... padahal gara-gara kamu aku diusir dari rumah. Ckck..." mata Garvin terbelalak.