James tiba di depan sebuah restoran mewah untuk bertemu dengan Arjoona. Sebuah pertemuan sudah dirancang Earth agar keduanya bisa bertemu lagi. Keluar dari mobil, James lalu berjalan masuk dan diantar langsung oleh salah satu pegawai restoran. Ia menyewa sebuah ruangan VIP agar bisa leluasa bertemu Arjoona.
"Tuan Arjoona Harristian akan tiba 15 menit lagi. Aku akan menunggu di luar jadi bisa langsung mencegatnya," ujar Earth lalu diberi anggukan oleh James. Earth kemudian keluar dan James menunggu dengan sabar di salah satu kursi yang nyaman sambil melipat kakinya. Makanan pembuka mulai dihidangkan dan James hanya memberi anggukan dengan ekspresi dingin untuk berterima kasih.
Sambil menunggu, James mengambil ponselnya dan menghubungi Grey Hunter yang menjaga mansionnya.
"Bagaimana semuanya?" tanya James begitu sambungan telepon masuk.
"Semunya baik-baik saja Tuan. Jangan khawatir," jawab Grey dengan percaya diri.
"Mana Delilah?" Grey terdiam dan tak menjawab cukup lama.
"Grey... dimana dia?" tanya James lagi.
"Ada... Nona Starley ada di kamar, Tuan." Giliran James yang diam dan sedikit menunduk.
"Berikan ponselmu padanya!" ujar James memberi perintah pada Grey.
"Ehhmm... ah itu." James jadi curiga dan mengernyitkan keningnya.
"Ada apa dengannya?"
"Nona Starley tidak mau makan dan mengunci diri di kamar, Tuan." James memejamkan mata dan menghela napas.
"Nanti aku hubungi lagi!" James menutup ponselnya dengan cepat. Ia teringat pembicaraan terakhir dengan Delilah pagi buta sebelum ia berangkat.
James bangun tepat waktu karena tidur dengan cukup. Ia sedikit menggeliat pelan sebelum sadar bahwa masih memeluk Delilah semalaman. Sambil tersenyum tipis, James memindahkan helai-helai rambut lembut Delilah yang menutupi wajahnya. Ia kemudian mendekat dan mengecup ujung hidung Delilah dengan lembut. Hal itu membuat Delilah bangun dan sadar. Mata birunya kini memandang mata coklat James dari jarak hanya beberapa centimeter saja.
"Tidurlah, masih pagi," gumam James berbisik namun tak melepaskan pandangan dari gadis itu.
"Jangan bunuh Ayahku, tolong," balas Delilah dengan suara sangat kecil dan pelan. James hanya diam saja masih memandang mata biru topaz itu.
"Dia sudah menjualmu. Kenapa kamu masih melindunginya?" tanya James sambil berbisik.
"Dia Ayahku, dia satu-satunya keluargaku." Entah kenapa James terdiam saat mendengar kata 'keluarga' keluar dari mulut Delilah. Sesungguhnya ia tak tau apa itu keluarga. Hanya Belgenza yang ia kenal sebagai keluarganya tapi sebenarnya itu tak lebih dari sekedar kelompok mafia. Edward Belgenza lah yang merawat James seperti putranya sendiri, memberikannya kasih sayang seorang Ayah yang tak pernah ia kenal.
"Keluarga? Keluarga takkan menjual anggota keluarganya. Tapi dia menjualmu. Padahal kamu adalah anaknya," ujar James terus berbisik.
"Kamu takkan tau rasanya tidak memiliki keluarga. Kamu anak orang kaya, Tuan J. Jadi kamu takkan mengerti perasaanku," balas Delilah lagi. James terdiam sekali lagi. Apa yang orang tau soal dirinya? Tak ada, selain ia adalah putra keluarga Belgenza yang kaya raya dan berkuasa.
"Kamu tidak tau apapun soal aku, Candy." Suara Alto James semakin rendah dan dominan. Delilah hanya diam saja dan tak mau menjawab. Untuk apa ia berdebat dengan pria macam James. Ia cuma pria kejam yang tak punya hati.
"Jika saja kamu tidak kabur maka mungkin Ayahmu pasti masih hidup," sambung James berbohong. Mata Delilah seketika berair dan mulai basah. James sudah membunuh Ayahnya. James berbohong dengan mengatakan jika ia telah menghabisi Mark. Ketika Grey datang memberi laporan jika salah satu penembak jitu telah siap menghabisi Mark, James mengurungkan niatnya.
James lalu meraba pergelangan tangan Delilah dan mengecup bagian yang masih membekas merah luka akibat jeratan rantai.
"Semua perbuatan ada konsekuensi nya, Candy. Aku sudah memperingatkanmu tapi kamu terus melawanku. Itu adalah akibatnya," sambung James masih dengan dengan posisi dan nada yang sama.
"Kamu penjahat, Tuan J. Aku sangat membencimu," ujar Delilah meneteskan airmatanya. James menaikkan ujung jarinya lalu menyeka airmata Delilah yang menetes.
"Jika kamu menuruti keinginanku, maka semua ini akan berakhir. Kamu tak perlu lagi merasa sedih seperti ini, aku tidak akan menyakitimu," bisik James lagi lalu semakin mendekatkan dirinya hendak mencium bibir Delilah.
"Bunuh saja aku..." jawab Delilah di depan bibir James. Delilah terus mengeluarkan airmatanya dan James yang terpaku sejenak tetap mengecup pelan bibir Delilah tanpa perduli gadis itu tak membalas ciumannya sama sekali.
"Akan kuhubungi kamu begitu tiba disana. Tidurlah, hari masih sangat pagi," ujar James sedikit bangun lalu mengecup kening Delilah yang tak mau melihatnya. James kemudian masuk ke kamar mandi untuk bersiap pergi dalam perjalanan panjang ke Jakarta.
Pintu ruangan VIP itu kemudian terbuka dan Earth terlihat masuk ke dalamnya. Tak lama ia memegang pintu dan mempersilahkan seorang pria masuk. James tak beranjak dari tempatnya. Namun ia tak bisa menahan senyuman kelegaan karena telah menemukan Joona, adik kecilnya.
"Hai Joona, aku kembali," mata Arjoona membesar dan nafasnya hampir berhenti.
"James..." Arjoona melebarkan matanya dan mulai berkaca-kaca. James tersenyum manis dan berdiri dari kursinya.
Arjoona langsung memeluk erat James yang terdengar tergelak membalas pelukan erat Joona. Arjoona begitu bahagia bertemu kembali dengan kakaknya yang telah lama pergi. Rasanya hari ini pasti adalah mimpi, ia tidak pernah lagi mencari James sejak lama. Arjoona masih terus memeluk erat sambil setengah terisak.
"Oh, jangan menangis," ujar James tergelak sedikit mengejek Joona. Ia terus memeluk dan mengelus punggung Arjoona yang belum melepaskannya. James kemudian melepaskan sejenak pelukan Arjoona padanya, sebelum memegang sebelah pipinya lalu tertawa memeluknya lagi.
"Adik kecil jangan menangis, aku sudah pulang. Hhhm..." Arjoona masih menangis dan memeluk James begitu erat. Setelah Arjoona tenang, James kemudian mengajak Arjoona untuk duduk di sofa di ruang itu bersamanya.
"Aku mencarimu James, aku mencoba menyusulmu..."aku Arjoona masih dengan pipi yang basah. James mengambil tisu dan mengeringkan airmata Arjoona sambil tersenyum.
"Kamu mau menyusulku kemana? Aku sudah pergi sangat jauh Joona." Joona menunduk lalu memegang tangan James lagi. Ia tersenyum lebar dan jantungnya masih berdebar cepat.
"Aku senang kamu kembali James. Aku benar-benar merindukanmu."
"Aku juga. Apa kabarmu Joona?" Arjoona tersenyum dan mengangguk.
"Aku baik, sangat baik. Sepertinya kamu juga seperti itu," ujar Joona sambil melihat penampilan James. Ia hanya mengangkat alisnya dan tersenyum.
"Aku kembali untuk menjemputmu Joona," Arjoona mengernyitkan keningnya. Ia belum melepaskan pegangannya pada James.
"Apa maksudmu James, mau menjemputku kemana?" James mendehem dan menelan ludahnya sebelum menepuk pundak Arjoona.
"Selama ini aku berada di Italia dan setelah aku yakin, aku kembali untukmu!" balas James.
"Ah, sangat sulit buatku menjelaskan semuanya sekarang. Tapi aku berjanji akan menjelaskan semuanya bersama seseorang dalam beberapa hari ini." Arjoona makin mengernyitkan kening tak mengerti.
"Aku tidak mengerti sama sekali." James tersenyum dan tertawa kecil.
"Kita tidak usah bicarakan itu dulu. Ceritakan tentang dirimu Joona, apa yang kamu lakukan selama ini?" Arjoona tersenyum.
"Aku biasa saja, aku keluar dari panti asuhan itu setelah kamu pergi. Seorang pria menemukanku dan merawatku sejak saat itu. Sekarang aku bekerja sebagai enginer di salah satu perusahaan elektronik dan yah... kurang lebih begitulah hidupku." James mengangguk dan tersenyum.
"Aku senang semuanya lancar untukmu, apa kamu bahagia?" Arjoona tersenyum dan mengangguk.
"Hidupku baik-baik saja James."
"Kalau begitu kita lanjutkan obrolan kita sambil makan siang, bagaimana?" Arjoona mengerutkan kening dan menggaruk tekuk belakangnya.
"Ah soal itu, aku punya janji dengan salah satu sahabatku di restoran ini. Dia mungkin sedang menungguku sekarang," ujar Arjoona dan mendapat anggukan dari James.
"Begini saja, selesaikan janjimu. Setelah itu, kembali ke ruangan ini, aku akan menunggumu." Arjoona tersenyum lalu berdiri.
"Berjanjilah jangan kemana-mana!"
"Aku janji." James kembali menegakkan punggungnya dan tersenyum pada Arjoona yang keluar dengan sumringah. James ditinggal di dalam ruangan itu, sampai Earth datang dan membukakan pintu untuk Joona. Setelah Arjoona keluar, Earth berjalan menghampiri bos nya.
"Tuan, seperti perintamu, aku sudah menempatkan seseorang yang akan mengikuti Tuan Arjoona Harristian 24 jam." James mengangguk dan tersenyum.
"Terima kasih, Earth." Earth kemudian mengangguk.
"Apa sudah menghubungi mansion, kenapa Delilah tidak mau mengangkat teleponku?" tanya James pada Earth. Earth menggeleng sambil tersenyum pelan. James hanya mengurut keningnya perlahan.
"Jangan sampai dia kabur lagi. Aku tidak ingin melukainya lagi," tambah James kemudian. Earth hanya diam saja dan menelan ludah, ia teringat pada sisi lain James yang bisa sangat mengerikan jika sedang marah.
"Katakan pada Lordes, jika Delilah tidak mau mengangkat teleponku nanti malam, maka hukumannya akan jauh lebih berat dari sekedar ku ikat di RedRoom. Gadisku harus tau siapa pemiliknya!" suara James jadi lebih berat dan menakutkan. Earth mengangguk perlahan, bulu kuduknya sampai bergidik.
"Akan saya sampaikan pada Lordes Tuan. Jangan khawatir, Nona Starley pasti akan mengangkat teleponmu." Earth mencoba menenangkan.
"Sebaiknya begitu." James tersenyum sekilas sebelum berdiri dan duduk di meja makan bersiap hendak makan siang sendirian. Earth hanya menghela napas dan segera menghubungi mansion mereka di Italia untuk menyampaikan perintah James.