Chereads / The Seven Wolves: The Collateral / Chapter 33 - I Hate You

Chapter 33 - I Hate You

"Jangan ada yang masuk atau membantunya!" ujar James dari ujung koridor begitu melihat Earth, Grey dan Lordes berada di depan kamar merah itu. Earth dan Grey yang menyaksikan kebrutalan James pada ruangan itu kemudian mundur dan perlahan pergi meninggalkan Delilah yang masih tergantung di sana. James pun pergi tak lama kemudian untuk masuk ke kamarnya lalu membersihkan diri.

Ia mandi dengan tenang dan tanpa ekspresi apapun. Setelah memakai pakaian, James sempat duduk sejenak di sofa tengah walk in closet merenung dan berpikir. Masa-masa saat dulu ia dilatih dengan keras oleh Fabrizio Belgenza terngiang di memorinya kembali.

"Bunuh dia, J!" ujar Fabrizio memberi perintah pada James untuk membunuh seorang wanita yang tertangkap menjadi mata-mata polisi. Wanita itu sudah ditelanjangi dan diikat seperti huruf X. Ia juga sudah dihajar babak belur tapi tak mau bicara mengatakan siapa yang menjadi bosnya.

"Tapi dia belum buka mulut, Ayah," ujar James memberi alasan.

"Sekalipun begitu dia pantas mati. Lakukan yang kamu inginkan anakku, aku ingin melihat caramu!" balas Fabrizio setengah berbisik. James yang memang dilatih agar tak memiliki belas kasihan lalu menyeringai jahat. Ia mengambil pisau dan mendekati wanita tersebut. Semua anggota mafia Il Rosso melihat sendiri bagaimana kejamnya James Harristian bahkan saat ia masih 17 tahun.

Sambil terus memandangi wajah wanita yang seharusnya menjadi Kakak perempuannya waktu itu, James menyayat dengan cukup dalam arteri besar yang terletak di salah satu paha. Wanita itu berteriak kesakitan dan menangis. Tapi James yang berubah jadi iblis tak mau mendengar. Darah mengucur begitu cepat sampai membuat wanita itu lemas dan mati perlahan.

James masih duduk di sofa itu sebelum akhirnya bangun dan berjalan keluar kamar. Ia naik ke lantai dua dan mendekati RedRoom. Pintunya masih sedikit terbuka dan James pun akhirnya masuk ke dalam. ia melewati begitu saja barang-barang yang berserakan hancur di dalam ruangan itu.

James lalu mengambil kunci dan membuka rantai yang mengikat kedua pergelangan tangan Delilah. Delilah sendiri sudah pingsan dan masih tergantung di antara tiang itu. James langsung mendekap dengan lembut tubuh Delilah yang lunglai tak lagi bertenaga.

James kemudian menggendong gadis itu dengan mulut masih memakai mouth gag. Ia kemudian dibawa ke kamar tidur utama dan diletakkan diatas ranjang. James lalu membuka mouth gag dan membuang alat itu ke tong sampah. Ia juga mengambil beberapa helai tisu dan menyeka lembut bekas air liur yang keluar karena mulut Delilah terus terbuka selama lebih dari 30 menit. Rahang Delilah jadi sakit sehingga James memijat lembut bagian pipi dan rahangnya sampai ia perlahan tersadar.

"T-tuan J," panggil Delilah dengan nada sangat lemah. Ia lalu menangis ketakutan karena dimasukkan James ke dalam ruangan itu dan melihat sendiri seperti apa James mengamuk.

"Ayo kita bersihkan dirimu. Supaya tidurmu nyenyak," bisik James dengan lembut sambil masih membelai pipi Delilah. Delilah ingin menolak, ia tak ingin disentuh oleh James. Tapi ia tak punya tenaga untuk melawan. James kemudian menggendong Delilah untuk masuk ke dalam kamar mandi. Disana jakuzi nya sudah terisi dengan busa lembut dan air hangat.

James tidak perduli penolakan Delilah sedangkan Delilah tak punya tenaga untuk melawan James. Jadilah, James membuka gaun Delilah dengan lembut seperti seorang suami merawat istrinya yang tengah sakit. Ia menguncir rambut Delilah sebelum membawanya masuk ke dalam jakuzi untuk membersihkan diri.

Dengan lembut dan penuh kasih sayang, James menyeka lembut kulit Delilah dengan shower puff agar bersih dan ia bisa lebih relax. Sedangkan Delilah hanya bisa menangis diperlakukan seperti mainan oleh James.

"Aku bisa melakukannya sendiri, jangan Tuan J!" ujar Delilah mencoba mencegah James untuk membilas tubuh Delilah dengan air bersih.

"Aku tidak akan berbuat jahat padamu, aku janji. Tanganmu pasti sakit jadi biarkan aku yang memandikanmu," jawab James tanpa tersenyum. Delilah harus menahan malu karena kini James bisa melihat tubuhnya meski beberapa bagian di tutupi dengan pakaian dalam.

Usai mandi dan membalut dengan jubah mandi, James menggendong Delilah kembali ke walk in closet. Ia meletakkan Delilah dengan lembut di atas sofa lalu mengambil piyama one strap dan celana hot pants satin yang nyaman.

"Apa kamu mau aku memakaikannya?" Delilah menggeleng pada tawaran James.

"Kalau begitu aku akan kembali 5 menit lagi," sambungnya setelah memberi pakaian dan berjalan keluar. Delilah mengambil pakaian itu dan mengenakannya sebelum James kembali masuk. Setelah melihat Delilah berpakaian, James kembali mendekat dan menggendong kembali.

"Aku bisa berjalan sendiri, Tuan J," tegur Delilah tapi James tak menjawab dan memilih diam dan meletakkan Delilah diatas ranjang yang hangat. James juga ikut masuk ke dalam selimut setelah menidurkan Delilah.

Delilah makin bingung, kemana perginya James Harristian yang brutal dan mengerikan beberapa jam yang lalu. Pria yang sedang bersamanya kini adalah orang yang berbeda, benar-benar berbeda.

"Coba kulihat," pinta James mengambil tangan Delilah memeriksa bekas jeratan rantai yang membekas sangat merah pada kulit putihnya. Delilah sedang terpaku dan tak berbuat apapun saat James malah mengecup pergelangan tangan itu. Jemarinya terus membelai pergelangan tangan tersebut agar rasa perih pada kulit sedikit berkurang.

"Apa masih sakit?" tanya James. Delilah mengernyitkan keningnya. Bukannya dia yang sudah membuat luka itu, kenapa malah bertanya?. James hanya menghela napas melihat Delilah tak memberikan respon.

"Kemarilah, sudah malam. Kamu harus istirahat," gumam James lantas memeluk Delilah. Delilah tak tau harus berbuat apa, ia membiarkan saja James memeluk dan bernapas di sela rambut Delilah.

"Besok aku akan keluar negeri. Jangan kemana-mana sampai aku kembali, aku tidak akan lama," gumam James setengah berbisik dengan mata terpejam.

"Aku membencimu," gumam Delilah dalam pelukan James.

"Aku tau," balas James pelan masih memejamkan mata. James memeluk Delilah seperti seorang anak memeluk boneka kesayangannya. Lembut dan penuh perhatian. Tak butuh waktu lama bagi James untuk dapat tertidur sambil memeluk Delilah dengan menyembunyikan wajahnya di pundak. Namun Delilah tak tertidur, ia memilih terjaga sampai beberapa jam di posisi yang sama dipeluk oleh James.

Barulah menjelang pagi, matanya mengantuk dan mulai terpejam. Sementara James kini telah menemukan obat yang membuatnya terbebas dari mimpi buruk yaitu memeluk Delilah, jaminannya.

"Selamat pagi, Tuan," sapa Earth begitu duduk di kursi penumpang di depan James.

"Pagi Earth," balas James menoleh perlahan pada Earth lalu pada pramugari yang sedang menyajikannya sarapan. Pesawat James baru saja lepas landas dan terbang menuju Jakarta. James berangkat pagi-pagi bersama Earth meninggalkan Delilah yang masih tertidur di ranjang. Sedangkan Grey akan menjaga mansionnya selama James pergi.

"Kak... KAKAK TOLONG AKU!" mata James sontak terbuka saat suara Arjoona muncul dalam mimpi buruknya. Napasnya sedikit tersengal dan matanya memejam beberapa kali.

"Tuan baik-baik saja?" tanya Earth dengan raut cemas masih duduk di kursi di depan James. James mengangguk. Ia sempat tertidur sebentar karena panjangnya perjalanan dari Italia ke Indonesia. Untung semalam ia cukup istirahat karena tak bermimpi buruk tapi begitu jauh dari Delilah, mimpi seperti itu datang lagi. Hati James sebenarnya cemas memikirkan Arjoona. Entah seperti apa keadaannya kini.

"Berapa lama lagi?" tanya James bosan.

"Enam atau lima jam lagi," jawab Earth. James menghembuskan napas kesal dan mengantukkan bagian belakang kepala ke sandaran kursi.

JAKARTA

James keluar dari mobil mewah jemputannya dan masuk ke lobi apartemen yang dibelinya untuk tinggal selama beberapa hari berada di kota itu. Ia memilih penthouse termahal di kota untuk menginap. Alasannya sederhana, agar Arjoona dan Jayden bisa tinggal dengannya. Karena tak tau akan berada berapa lama disana, James memilih membeli dan akan menjualnya lagi saat pergi.

James mengecek keadaan Penthouse yang sudah full furnished. Ia cuma membawa satu koper pakaian dan siap tinggal di tempat itu. Sebuah notifikasi masuk ke dalam ponselnya dan James pun mengecek. Terdapat beberapa foto yang dikirimkan oleh orang-orang Jayden Lin yang diditugaskan memata-matai Arjoona. Keningnya sempat mengernyit namun masih belum bicara. Earth kemudian datang dan menghampiri James untuk memberikan laporannya.

"Tuan, saya sudah menyusun agar bisa bertemu dengan Arjoona Harristian," ujar Earth berdiri di dekat James. James mengedarkan pandangannya lagi pada beberapa furniture di penthouse itu.

"Aku akan menunggu Earth," jawab James masih berdiri melihat ke arah balkon.

"Apa Jayden sudah menghubungi lagi?" sambung James lagi sambil menyentuh ujung sebuah lampu sudut.

"Tuan Lin masih di Singapura, katanya dia akan tiba dalam beberapa hari," James mengangguk dan menghela napas.

"Atur semuanya Earth, aku ingin Jayden bertemu dengan Arjoona secepatnya. Satu lagi, kenapa aku melihat Fernando Lopez di dekat adikku?" James memperlihatkan foto yang ia dapatkan pada Earth.

"Kanishka menyuruhnya untuk mendampingi seseorang. Aku rasa untuk membantu membunuh," James mengernyitkan keningnya.

"Arjoona tidak boleh dilukai sama sekali, aku akan menghabisi Lopez jika dia berani menyakiti adikku. Memangnya siapa yang ia dampingi?"

"Keith Barnett, dia salah satu anggota keluarga Winthrop." James melonggarkan dasinya seolah ia tidak nyaman.

"Arjoona sudah terlalu terlibat pada Winthrop, aku harus menariknya keluar. Dia harus tau siapa Winthrop sesungguhnya. Aku harap Jayden cepat kembali, jadi Arjoona bisa tau kebenarannya lebih cepat, sebelum terjadi sesuatu," ujar James dengan cemas. Earth mengangguk mengerti.

"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang Tuan?" James berbalik menoleh pada Earth.

"Aku harus memperkenalkan diriku kembali pada adikku yang hilang, Arjoona Harristian."