Hangatnya sinar mentari pagi menyapa penghuni bumi. Kicauan burung terasa merdu ditambah basahnya embun yang menyegarkan.
Di sini, di rumah sederhana berlantai 2. Masih terasa sepi. Mungkin orang-orang yang ada di dalamnya masih terbuai dan bergelut dengan bunga tidur. Mungkin saja.
"He'emmm....".
"Hmm..., kenapa kamar ku berwarna merah dengan motif mawar begini!, siapa yang menggantinya!. Tidak mungkin bi Cici berbuay lancang seperti ini", Zaedan berusaha duduk meski kepala masih terasa pusing dan mata enggan terbuka. Lelaki ini berusaha untuk berdiri menuju kamar mandi.
Meski samar-samar, ia masih bisa melihat perubahan kamarnya. 'Akan ku beri pelajaran siapa yang mengganti seenak jidatnya itu', batin Zaedan.
***
"Eh teh Alun, geulis aduh, masak pengantin baru pagi-pagi begini sudah ke pasar, enggk capek apa" celetuk salah satu ibu yang sedang berbelanja.
"Hahahaha", Aluna hanya tersenyum mendengar gelak tawa dari sekumpulan ibu-ibu yang terkadang lupa akan tujuannya ke pasar. Bagaimana tidak, jika bisa dinilai dalam bentuk persen, mungkin 70 hingga 90 persen waktu mereka hanya dipergunakan untuk bergosip, tujuan utama jadi lenyap seketika.
"Pasti capek atuh ibu-ibu, namanya juga habis menyelenggarakan pesta" Aluna berusaha menjawab pertanyaan yang sedari tadi diajukan ibu-ibu itu. "Cuma ya saya kan sudah jadi istri. Hari ini saya mau masakin makanan kesukaan suami saya buat sarapan, ya itung-itung untuk menciptakan kesan baik di antara kami berdua" Aluna tak hentinya tersenyum. Mana mereka tau jikalau hati gadis cantik ini tengah gundah.
'Hmm ya Allah maafkan hamba yang terus-terusan berbohong. Ini semua demi menutupi perilaku buruk kang Zaedan'.
"Sudah ibu-ibu, jangan ditanya terus atuh teh Alun nya" ibu yang lain menengahi, ia tersenyum melihat Aluna dan kembali berbicara "Yang dilakukan teh Alun saat ini sudah bener, cara agar suami kita tambah sayang ya dengan mengenyangkan perutnya".
Dan lagi-lagi semua orang tertawa melihat wajah merona milik Aluna setelah mendengar peryataan dari si ibu bertubuh gembul tersebut.
***
"Assalamualaikum Wr.Wb", suara di balik pintu terdengar sangat jelas, namun sayang tidak ada respon dari dalam. Hingga beberapa kali kalimat salam diucapkan tetap saja tidak mendapat respon. Bahkan bunyi ketukkan pintu tak ada artinya. "Apa rumah dalam keadaan kosong ya?, Alina..Alana, tadi sebelum kita keluar kira-kira yang masih di dalam rumah siapa?" tanya pak Hasan.
"Emm...., setau Alina masih ada teh Alun, Alen, sama kang Zaedan" suara ini milik Alina, puteri ke 3 keluarga Hasan. Alana hanya terdiam sambil mengangguk kecil pertanda membenarkan.
"Ya sudahlah, kita tunggu saja dulu di sini", pak Hasan langsung duduk di kursi kayu.
"Kira-kira kemana ya mereka teh?" tanya Alana.
"Hmm.., mungkin teh Alun nemenin kang Zaedan olahraga. Kata bunda Mel kang Zaedan orangnya suka olahraga gitu" jawab Alina sekenanya.
Setelah beberapa menit menunggu, terdengar pintu utama seperti terbuka. Seketika 3 pasang bola mata tertuju ke arah sumber suara.
"Kang Zaedan" kompak Alina dan Alana bersuara.
"...."
"Emmm..., selamat pagi pak..eh..emm...abah" dengan gerakan kaku Zaedan membungkuk sembari meraih tangan sang mertua.
"Pagi nak Zaedan, baru mau olahraga? Aluna kemana?" tanya pak Hasan.
"Emm....itu..i..i..em", -'Sialan, mana aku tau kemana perginya gadis itu, bangun tidur saja aku sudah sendirian. Aduh bisa gawat ini kalau aku tidak tau kemana perginya Aluna, Ah wanita sialan, taunya buat susah aja'. "Em.., itu..a".
"Itu apa nak?", kalimat ini memotong sederet kalimat absurd milik lelaki bermata hazel.
"Em..., maaf abah saya tidak tahu kemana perginya Aluna. Tadi saya sempat bertanya, tapi Aluna diam saja dan langsung pergi" ada rasa tak enak tatkala Zaedan mengeluarkan kalimat ini.
"Hah.., apa benar itu nak?, em...maaf sebelumnya, bukan abah tidak percaya, cuma...abah rasanya Aluna tidak pernah berbuat seperti itu kepada siapapun. Terlebih kepada keluarga, adik-adiknya saja yang lebih muda darinya jika bertanya semampunya pasti dijawab. Apalagi nak Zaedan sekarang suaminya" ada perasaan yang aneh menyelimuti hati pak Hasan.
Dua suadara di antara kedua pria hanya diam menyaksikan perbincangan tersebut.
'Sial! sial!, Aluna memang wanita pembawa sial!. Kemana kau wanita nakal, kenapa tak mengabari ku jika ingin bepergian. Kau kira enak apa ditanya seperti ini', hati Zaedan seakan terbakar, darahnya apalagi, rasa ingin mendidih.
"Mungkin terdengar aneh, tapi begitulah kenyataannya abah" dan kalimat inilah yang keluar dari mulut Zaedan.
Kembali pak Hasan merasa heran sekaligus kaget. Begitu juga dengan Alina dan Alana.
"Kalau abah boleh tau mengapa Aluna bisa bersikap seperti itu?, apakah kalian sempat bertengkar sebelumnya?" tanya pak Hasan hati-hati.
"Tidak bah, saya juga tidak tau mengapa, yang jelas kami tidak ada pertengkaran sedikit pun sebelumnya" jawab Zaedan lesu.
Melihat raut wajah menantunya, pak Hasan hanya mengambus nafas pelan. "Baiklah nak, nanti abah akan menegur sedikit Aluna untuk dinasihati agar kedepannya tidak bersikap seperti itu lagi kepada mu. Seorang istri tidak diperkenankan mengacuhkan suaminya" ucapan pak Hasan cukup resah, masih belum percaya akan apa yang ia dengar ini.
Zaedan hanya mengangguk sembari izin pergi keluar, " kalau begitu saya pergi keluar sebentar ya bah, mungkin hanya lari pagi saja".
"Memangnya nak Zaedan tau lokasi di sekitar sini?, mengapa tidak menunggu Aluna pulang saja" tawar pak Hasan.
"Saya tau sedikit kok bah, lagi pun mungkin saya hanya lari di sekitar komplek sini saja" jawab Zaedan.
"Baiklah kalau begitu hati-hati".
"Baik bah, saya pergi dulu bah" Zaedan bergegas pergi menuju jalanan komplek.
"Bah, kang Zaedan jarang sekali mengucapkan salam" protes Alana.
"Huhss, tidak boleh begitu Alana, mungkin si akang lupa atau mungkin dia biasanya bersikap formal" jawab abah tersenyum tipis.
"Hah, bersikap formal, maksudnya?" Alana bingung.
"Yah, seperti hanya mengucapkan selamat pagi, siang, sore, dan malam" abah menambahkan.
"Tapi kan sesama muslim.."
"Alina...Alana sudah, jangan terlalu banyak bicara, dan jangan berucap seperti itu lagi di depan orang lain yang lebih tua terlebih pada kang Zaedan. Nanti dia tersinggung" abah memotong kalimat puteri bungsunya.
"Sebaiknya kita do'a-kan dia semoga Allah mengingatkan dia dari keterlupaannya" abah tersenyum, lalu ia menambahkan "Lagi pula kita belum terlalu dekat, nanti jika hubungan kita semakin dekat dan kang Zaedan masih lupa juga, baru kita ingatkan secara baik-baik".
Melihat kedua puterinya hanya diam sambil beberapa kali mengangguk, pak Hasan kembali berbicara "Sudah ayo kita masuk".
***
"Assalamualaikum Wr.Wb" Aluna dan Alena masuk ke dalam rumah sembari menebar pandangan mereka keseluruh penjuru rumah.
"Waalaikumsalam Wr.Wb" jawab seseorang yang baru keluar dari kamarnya.
"Dari mana teh?".
"Dari pasar bah" jawab keduanya serempak sambil meraih tangan kasar milik abah dan menciumnya.
"Kok ke pasar?, kan lauk semalam masih ada, tinggal dihangatkan saja atuh" kata abah.
"Hm.., kang Zaedan tak terbiasa sarapan dengan makanan yang sudah bermalam abah, meski dihangatkan. Kalau tetap dimakan nanti dia bisa sakit perut, jadi harus masak lagi" jawab Aluna.
"Memangnya bahan-bahan di kulkas sudah tidak ada?" tanya pak Hasan lagi.
"Iya abah" kini Alena yang bersuara.
"Teh, abah boleh bicara sebentar?, biar Alena saja yang mulai masak, sebentar saja" abah memohon.
"Baik abah, nih sayurannya dek" Aluna memberikan beberapa barang belanjaan di tangannya.
***
Ruang tamu.
"Ada apa bah?" tanya Aluna saat dirinya dan pak Hasan sudah duduk di kursi.
"Teh, teteh ada masalah dengan si akang?" tanya pak Hasan langsung pada intinya, "Jika ada masalah, diselesaikan dengan cara baik-baik atuh teh". Abah mengusap pelang lengan kanan Aluna.
'Abah kenapa?, apa yang diomongkan sama kang Zaedan sampai abah bertanya dan berbicara seperti ini?' pikir Aluna.
"Teteh tidak bertengkar atau punya masalah apapun bah sama kang Zaedan, memangnya ada apa?" tanya Aluna.
"Tadi abah sempat berbicara sama nak Zaedan sebentar sebelum ia pergi lari pagi, terus waktu abah tanya kemana teteh dia tidak tau, katanya waktu dia bertanya teteh tidak menjawab". Jawab abah menjelaskan
Aluna mengerutkan keningnya. Ia tampak berpikir. "Em..itu..bah", Aluna terdiam.
"Itu apa teh?".
"Itu...teteh tidak tahu kalo kang Zaedan bertanya, mungkin terlalu pelan atau mungkin teteh terburu-buru jadinya tidak dengar kalo kang Zaedan bertanya teteh mau ke mana", -'Ya Allah, bohong lagi' batin Aluna rasanya ingin menjerit. Semenjak bermain dengan Zaedan ia selalu berbohong kepada semua orang.
"Hmm..., baiklah kalau begitu. Besok-besok jika suami bertanya usahakan dijawab ya teh, ya kalau memang tidak mendengar tidak apa-apa. Pokoknya teteh harus jadi istri yang berbakti dan bertanggung jawab. Itu pesan abah" jawab abah sembari tersenyum ramah kepada si sulung.
"Iya bah, terima kasih. Teteh sayang abah" Kalimat ini sejalan dengan gerak tangan merengkuh tubuh lebar yang tak setegap dulu. Aluna menangis dalam pelukkan sang ayah. Bahkan tangisan tersebut tersedu-sedu.
'Mengapa jadi makin runyam, dia tidak hanya kasar dan dingin. Tapi juga tukang fitnah, Astagfirullah, maafkan hamba yang membenci suami hamba sendir ya Allah'
***
Author butuh support ini, caranya gampang
1. Jangan Lupa sedekah Power Stone (PS) setiap hari
2. Masukkan cerita ini ke koleksi kalian ya
3. Beri review yang baik dan positif
4. Komentar positif dan membangun
5. Share cerita ini kepada orang-orang terdekat kalian
Cerita ini tidak akan berkembang tanpa dukungan kalian semua....