"Hei...! Jangan melamun terus."
"Eh... Rupanya kamu Ria."
Wajah cantiknya begitu bercahaya, Dia begitu ceria bagai sebuah mentari yang menyinari dunia.
Sungguh aku masih mempunyai perasaan terhadapnya, namun aku tak sanggup bila membayangkan beberapa hal yang kemungkinan terjadi.
Dan lagi pula ia tak mungkin mempunyai rasa terhadap ku.
Titik-titik air di jalanan membasahkan debu, sepatu ku basah oleh genangan air di jalanan, sore yang begitu dingin, aku begitu gemetar kedinginan.
"Selamat sore."
Sapa ia yang duduk di gazebo itu, menenggak secangkir kopi cup.
Membaca buku dan mengabaikan diriku yang tengah kedinginan, begitu seriusnya ia hingga tak mendengar perkataan ku.
Rasanya hubungan ini berjalan lambat, hujan masih saja tak mau berhenti.
"Kamu kedinginan?"
tanya dan peluk nya kepada ku,
"To, tolong bersikap normal lah ditempat umum."
Pinta ku dengan cepat ia melepas pelukan itu, dengan wajah cemberut ia palingkan kearah lain, aku menjadi tak enak hati, karena telah bersikap seperti itu.
Namun, aku juga tak tau harus melakukan apa untuk menenangkan dirinya yang marah begitu, mungkin saja...?
Ku peluk tubuhnya dan membisikan sesuatu.
"Maaf, tapi aku mencintai mu, sungguh mencintai mu."
Bisik ku ke telinganya, wajahnya memerah bagai kepiting rebus.
Ia menoleh ke arah ku lalu mendaratkan ciuman, lama kami melakukan itu hingga saat kami selesai nafas kami tersengal-sengal, sembari mengatur nafas aku dan ia tersenyum penuh arti.
"Tidakkah kamu pikir dunia ini hanya sebuah kesengsaraan yang tiada ujung? Maka dari itu ikutlah dengan ku, kita bangun sebuah kerajaan impian dalam kemakmuran dengan kamu sebagai raja dan aku sebagai ratu."
"TIDAKKK!" teriak ku, terbangun dari mimpi.
Aku sungguh lemas, di pagi ini aku tak begitu bersemangat.
Jam panjang yang membosankan, nada-nada tanpa keharmonisan.
Huh... Apakah aku tetap begini?
Setiap kali Adinda mengajak ku untuk masuk eskul musik selalu aku tolak.
Atau setiap teman mengajak ku pergi ke kantin aku akan menjawab
"tidak."
Rasanya kehidupan ku akhir-akhir ini berubah semenjak hari itu, selalu menyempatkan diri bertemu dengan nya saat sepulang sekolah, berbicara tentang banyak hal yang baru aku ketahui, atau pun mulai melangkah ke depan mengapai angan.
"Edo. Bisakah akhir pekan nanti kita pergi?"
Setiap kali ajakan itu mereka utarakan kepada ku setiap kali pula aku harus beralasan yang sama, les musik atau membantu ibu ku.
Aku masihlah anak remaja yang berumur 16 tahun, penuh mimpi yang ingin ku gapai, bermain violin atau pun menggambar, Dulu aku pernah bermimpi untuk mengikuti jejak ayah ku, namun harapan itu aku kubur sedemikian saat ia harus pergi untuk selama-lamanya.
Bagi ku ayah itu adalah sebuah idola untuk ku, aku mengidolakan dirinya yang penuh keceriaan, ia selalu memberi sebuah harapan kepada ku, ia selalu mendukung apa yang aku inginkan.
Aku tak pernah sekali pun melihat ia marah atau melarang ku untuk sesuatu hal.
Saat ia pergi aku sangat terpukul hingga aku tak tau tentang beberapa hal.
Jika aku mulai merindukannya aku selalu memeluk bingkai foto bergambar dirinya yang mengenai jas itu. Aku, ingin sekali bertemu dengannya walau itu hanya lah sebuah mimpi di dalam tidur malam ku.
Kapan pun aku merasa terpuruk aku selalu merasa ia sedang menyemangati ku, menepuk pundak ku seraya berkata,
"Edo ini ayah, ayah akan selalu menyemangati mu."