Merasa situasi makin tidak nyaman, Samudera memutuskan untuk pergi terlebih dulu. Ia tidak mau terjebak disana sampai malam. Ia pikir kalau tidak ada yang bergerak duluan, semua akan diam mematung. Sebenarnya ada perasaan tidak enak untuk Malik, harusnya ia mengajak Malik untuk kembali ke tenda bersama, tapi ia sudah melangkah lumayan jauh dan akan membuang waktu jika balik lagi.
Saat Samudera menoleh ke belakang sesaat, Malik sudah berjalan ke arahnya dengan Sera di sampingnya. Melihat itu, Samudera merasa cukup lega. Ia juga memilih untuk menunggu Malik dan Sera agar mereka bisa berjalan sama-sama menuju tenda.
"Tumben mau nungguin," sindir Sera.
"Gue nungguin Malik," balas Samudera.
Di belakang sana ada Binar, Atlan, Janina juga Rayena yang sedang menyusul. Mengingat langit yang sudah mengabu, mereka harus segera kembali. Suasana di tenda nanti mungkin akan sangat canggung, tapi mau bagaimana lagi? Mungkin ini akan menjadi malam yang kelabu.
Petir mulai menggelegar, cukup mengagetkan. Angin kencang mulai meniup pohon-pohon di sekitar tenda. Selain itu rintik hujan juga mulai turun. Alam seakan tahu suasana hati mereka yang dilanda kekalutan, terutama Malik dan Janina.
Beruntung, saat hujan mulai menderas, mereka sudah beberapa langkah lagi untuk sampai ke tenda. Tidak ada suara yang keluar dari mulut mereka untuk menyuruh masing-masing berhati-hati dan segera masuk ke tenda. Hening, hanya ada suara alam.
Malik, Atlan, dan Samudera sudah berhasil masuk ke tendanya dan langsung menutupnya rapat-rapat, begitu juga dengan Binar dan Janina. Berbeda halnya dengan Sera dan Rayena yang sedang kesulitan. Tenda mereka sobek di bagian kiri dan derasnya air hujan sudah masuk ke dalam membasahi barang-barang mereka. Ingin menangis, sudah pasti.
Teman-teman yang lain tidak ada yang tahu. Ditambah tenda mereka cukup berjauhan dengan dua lainnya dan berada di tepi hutan. Basah kuyup, sudah pasti. Tidak ada jalan lain, mereka mengamankan barang-barang yang dianggap penting lalu lari ke pendopo.
Disana mereka diberikan penghangat, handuk, selimut, juga teh hangat. Pihak terkait juga meminta maaf atas kesalahan mereka tidak mengecek tenda milik Sera dan Rayena saat mereka pergi. Bukan salah pihak terkait juga, tapi mereka bertujuh sendiri yang ingin camping secara mandiri tanpa bantuan siapapun. Alhasil, begini lah jadinya.
"Ra, yang lain tau nggak sih kita disini sekarang?"
"Kayaknya sih enggak Ray, soalnya mereka udah masuk duluan kan. Udah gitu tendanya kan nggak transparan jadi pas kita lari pun mereka nggak akan bisa liat juga," jawab Sera.
"Kalo bisa mereka nggak usah tau aja sampe pagi."
"Kenapa?"
"Situasi di antara kita lagi canggung banget, Ra. Kalo mereka tau kita kebasahan dan tenda kita bocor, terus mereka nggak nolongin malah makin ribet masalahnya," jelas Rayena.
Sera mengangguk setuju. Andai saja sore tadi tidak ada niatan jahil yang muncul di benaknya, mungkin momen di curug tadi akan menjadi momen terindah saat camping. Nyatanya kesalahan itu sudah terjadi. Tidak ada yang bisa diubah, kalau sudah salah ya pasti akan salah.
"Nggak usah dipikirin, Ra. Kayaknya Nina lagi sensitif aja deh. Malik sendiri, dia selalu punya trauma itu," ucap Rayena sambil menuangkan teh gelas kedua untuk Sera.
"Harusnya malam ini jadi malam yang indah buat kita. Kalo aja nggak canggung, kita pasti udah nyuruh yang lain keluar tenda buat bantuin kita. Hujan-hujanan bareng, terus lari-lari deh ke pendopo," balas Sera.
"Bener sih, tapi lo tau nggak sih Ra?"
"Apa?"
"Kadang yang bikin persahabatan jadi makin lekat itu ketika kita dirundung masalah kayak gini. Kita jadi lebih ngerti satu sama lain. Kita juga jadi lebih punya usaha buat mempertahankan satu sama lain," jelas Rayena.
Benar memang, jika tidak ada masalah justru itu harus dipertanyakan. Setiap orang berbuat salah, setiap orang juga selalu berusaha jadi diri sendiri dan tidak semua orang bisa menerima itu. Kalau saja Sera dan Malik menahan dirinya untuk tidak berbuat jahil, tidak akan ada yang tahu jika mereka memang seperti itu.
"Ya udah Ray, kita tidur disini aja. Hujannya makin deres," usul Sera yang langsung diangguki Rayena sebagai tanda setuju.
Tiga jam berlalu, saat ini sudah pukul 10 malam. Hujan deras dan angin kencang sudah berhenti sekitar setengah jam yang lalu. Masih ada sisa rintikan dan udara yang terbilang sangat dingin. Samudera memutuskan untuk keluar dari tenda. Tentu karena dirinya sangat suka udara dingin.
Tidak hanya Samudera ternyata yang keluar dari tenda malam itu, Binar dan Janina pun terlihat duduk di depan tenda. Mereka sedang menyeruput hangatnya kuah mie instan. Entah kapan mereka membuatnya, tapi hal itu membuat perut Samudera keroncongan. Setelah pulang dari curug, mereka hanya makan roti yang memang sudah disiapkan di tas masing-masing. Lain halnya dengan Samudera, ia memberikan roti itu untuk Atlan. Ia hanya takut temannya itu pingsan karena kekurangan makanan.
"Sam, masih ada tiga bungkus mie lagi, mau?" tanya Binar.
Kali ini Samudera harus melawan tingkat kegengsiannya yang sangat tinggi itu. Perutnya tidak bisa berbohong. Tiga bungkus mie instan rebus sepertinya cukup untuknya, Malik juga Atlan.
"Nggak usah malu-malu, sana bikin," ucap Janina.
Samudera hanya mengangguk, tidak mengucapkan satu patah kata pun. Mengucapkan terima kasih saja tidak, padahal itu persediaan mie milik Binar. Gadis itu sengaja membawa lebih karena takut terjadi apa-apa. Ternyata benar, sekarang berguna juga akhirnya.
Disaat Samudera tengah memasak, Atlan keluar dari tendanya. Mungkin dirinya mencium bau harum yang mulai tersebar kemana-mana. Atlan dan perut buncitnya itu pun dengan cepat menghampiri Samudera. Namun lebih dulu menyapa Binar dan Janina yang sedang membersihkan alat makan bekas mereka tadi.
"Mie darimana? Persediaan kita kan abis kemarin," tanya Atlan.
"Binar," jawab Samudera singkat.
Atlan langsung melirik ke arah Binar, tapi gadis itu tidak menatapnya balik. Tumben sekali hal ini terjadi, tapi pasti Binar yang menawarkan Samudera. Tidak mungkin Samudera yang meminta, mustahil.
"Atlan, Malik tidur?" tanya Janina yang sudah duduk di samping Atlan.
"Sejak tadi kita pulang. Nggak mau makan juga, langsung tidur gitu aja," jawabnya.
"Malik salah, tapi lo juga salah Nin. Maksud gue orangtua lo salah bikin Malik trauma," sahut Samudera.
Binar langsung memeluk Janina dari samping berusaha memberikan gadis itu ketenangan. Binar tidak mau lagi ada yang bertengkar malam ini. Samudera memang tidak pernah suka ikut campur masalah orang lain sekalipun itu temannya sendiri, tapi sekalinya ikut campur kalimat yang keluar dari mulutnya itu bisa menyakitkan orang lain.
Atlan sendiri langsung menoleh ke arah Samudera dan menggeleng. Ia bermaksud mencegah kalimat selanjutnya yang mungkin akan keluar dari mulut Samudera.
"Sam, Atlan, kalian dimana? Kok bau mie sih?"
Suara itu milik Malik, asalnya dari tenda tentu saja. Atlan langsung tersedak, ia baru saja menyendokkan mulutnya dengan mie dari mangkuk kedua yang harusnya menjadi jatah Malik. Samudera tahu Atlan masih lapar, tapi Malik pasti jauh lebih lapar. Karena itu, Samudera merebut mangkuk itu dan hendak berjalan menuju tenda.
Namun langkahnya terhenti ketika melihat Malik keluar dari tenda. Tidak ada pergerakan dari semua orang yang ada disitu. Malik melihat Samudera yang berdiri memegang mangkuk berisi mie instan, Atlan dan Binar yang duduk berdampingan terlihat sangat kaku. Juga Janina yang sedang menikmati cokelat panas tidak berani melirik ke arahnya.
"Sera sama Ray mana?" tanya Malik sambil berjalan menghampiri mereka seperti tidak ada yang pernah terjadi tadi. Anehnya lagi, ia memilih duduk di sebelah Janina dengan jarak yang mungkin hanya dua jengkal.
"Sam, itu mie buat gue kan? Laper nih," ucap Malik.
Lima menit berlalu, tidak ada percakapan sama sekali. Malik sibuk menyeruput kuah mie instan yang sudah mulai dingin itu. Janina di sampingnya berulang-ulang meneguk cokelat panas itu berusaha mencairkan suasana.
"Malik, udah nggak marah kan sama Nina?" tanya Binar yang sukses membuat Samudera mengalihkan perhatian dari buku bacaannya. Mungkin perseteruan temannya sendiri cukup menarik baginya.
"Nggak pernah marah kok, Bi. Tadi cuma keinget sama ibu aja," jawab Malik.
"Lik, maafin mama papa ya," lirih Janina.
Malik mengangguk lalu berkata, "Maafin gue juga ya, Nin." Tidak ada yang bisa mencegah mereka untuk berpelukan. Suasana setelah ini benar-benar akan menjadi suasana yang menyenangkan. Atlan pun sampai berbisik mengucapkan terima kasih pada Binar. Kalau tidak karenanya, mungkin suasana akan terus canggung.
"By the way, Sera sama Ray mana? Daritadi kalian nggak ada yang jawab," tanya Malik lagi.
"Coba gue liat tendanya ya," balas Atlan.
Setelah melihat tenda mereka yang bocor dan barang-barang yang basah, Atlan pun berteriak membuat semuanya panik. Kelimanya langsung mengambil senter dan mencari keberadaan Sera dan Rayena. Janina sendiri sampai berteriak histeris seolah kedua sahabatnya itu diculik padahal mereka berada di tempat yang aman.
"Itu mereka di pendopo," teriak Atlan.