Satu bulan lamanya berlalu, kini Sera sudah tinggal di asrama. Satu sampai pertengahan minggu kedua rasanya belum nyaman. Apalagi ia harus tidur sendirian. Melihat ke setiap sudut kamar sebelum memejamkan mata sudah jadi kebiasaan Sera belakangan. Sebenarnya, Sera itu bukan penakut. Namun kalau urusan di kamar sendirian dengan lampu yang gelap, bisa membuatnya sedikit merinding.
Bisa dibilang, Sera menyimpan trauma sejak kecil. Ia membaca sebuah buku cerita yang mengisahkan seorang anak kecil hidup berdampingan dengan monster di kamarnya. Dari sejak itu, Sera tidak pernah mau tidur duluan di kamar jika teman-teman yang lainnya belum masuk. Pernah mimpi buruk didatangi monster persis seperti di buku cerita membuat Sera tambah yakin jika makhluk sejenis itu ada.
Salah satu peraturan di asrama adalah mengharuskan setiap individu mematikan lampu kamar mulai dari pukul sebelas malam. Jika lebih dari jam itu dan ketahuan kamarnya masih menyala, maka akan dikenakan denda. Kecuali jika ingin mengerjakan tugas dan begadang, bisa melaporkannya kepada penjaga lantai sore harinya.
Namun karena Sera baru sekitar tiga minggu berkuliah, tugasnya belum banyak. Lagipula ia juga tidak biasa begadang. Ia lebih suka mengerjakan tugasnya selesai kelas. Walaupun lelah, tapi jika ditunda-tunda tidak akan kelar, pikirnya.
Drrt drrrt, ponselnya di nakas bergetar. Sera memang tidak pernah mematikan ponselnya. Ia belum sempat membeli jam alarm. Lebih tepatnya ia menunda-nunda membeli barang yang tidak terlalu penting. Semenjak keluar dari panti, Sera belum mendapatkan pekerjaan. Rencananya besok, ia akan diwawancara oleh manajer sebuah kafe yang baru buka selama tiga bulan terakhir. Dekat dengan asramanya, jadi ia tidak perlu khawatir kelelahan.
Biaya kuliah dan uang makan sebenarnya sudah ditutup semuanya oleh beasiswa yang ia dapatkan. Namun ia hidup bukan hanya untuk belajar dan makan saja, kan? Sera harus menabung juga untuk liburannya bersama keenam sahabatnya tahun depan. Walaupun Janina sempat mengatakan kalau Sera tidak perlu repot mengumpulkan uang. Ia akan meminta uang lebih untuk membayarkan tiket pesawat. Namun Sera menolak. Ia pikir ia bisa mencari uang dan tidak mau mengandalkan orang lain walaupun Nina adalah sahabatnya sendiri.
'Gue temenin wawancaranya di kafe besok, gimana?' Pesan singkat itu dari Rayena. Sera pikir sahabatnya itu sedang sibuk-sibuknya karena kalau orang akan bekerja dari senin-jumat saja, tidak dengan Rayena. Ia bahkan hampir setiap hari mengajar. Tidak kenal kata istirahat, bisa dibilang. Awalnya Sera ingin menolak, tapi ini wawancara kerja pertamanya. Jika ada Ray mungkin ia akan lebih tenang, lagipula Ray juga pasti bisa membantunya untuk mempersiapkan diri.
'Kalo nggak ngerepotin lo, gue mau banget ditemenin, Ray. Makasih ya ;)' Kurang lebih begitu jawaban dari Sera. Ada rasa senang sekaligus lega karena ia tidak harus sendirian besok. Sebenarnya Ray juga tidak mungkin ikut masuk ke ruang manajer, tapi paling tidak Ray menunggu di luar sambil mendoakan sahabatnya di dalam.
Delapan jam berlalu, bukan matahari saja yang sudah bangun, tapi Sera juga. Ia sudah mandi dan memakai kemeja rapihnya. Ia terus berkaca takut-takut penampilannya buruk atau terkesan sangat santai. Namun sepertinya ia sudah pantas berhadapan dengan manajer kafe. Setelahnya, ia turun ke lantai lima untuk sarapan. Sera terkenal ramah, semua penghuni asrama baik yang baru ataupun senior ia sapa. Tanpa sama sekali terlihat sok kenal dan sok akrab.
"Ra, gue boleh duduk disini?"
"Boleh dong, kenapa gue harus ngelarang?"
Arella duduk di depan Sera yang kebetulan duduk di meja yang hanya muat untuk dua orang. Ia pikir ia akan makan cepat-cepat pagi ini jadi tidak mau bergabung dengan yang lain karena pasti akan banyak mengobrol. Namun ia tidak bisa menolak Arella yang ingin duduk bersamanya.
"Lo mau kemana, Ra? Rapih banget udah gitu wanginya beda nggak kek biasanya," tanya Arella sambil memilah-milah duri dari daging ikan di piringnya.
Berbeda dengan Sera yang hanya mengambil dua potong roti cokelat dan segelas susu hangat, Arella mengambil sarapan seperti layaknya sedang makan siang.
"Wawancara kerja, Rel," jawab Sera singkat.
"Wah, keren sih lo. Gue aja nggak kepikiran buat cari kerjaan sampingan. Keburu males duluan," puji Arella.
"Kalo gue tinggalin lo makan sendirian, nggak papa, kan? Gue takut telat nih," ucap Sera ragu.
"Ih santai aja kali. Udah sana berangkat. Jangan lupa kalo udah gajian traktir gue makan di mcd ya. Disini nggak pernah ada menu ayam krispi, huh," eluh Arella.
Sera hanya tertawa menanggapi teman satu lantai asramanya itu. Ia berjanji pada gadis itu untuk mentraktirnya makan, tapi nanti. Sebenarnya Arella mengingatkan Sera pada Janina. Kedua gadis itu hampir mirip, bukan secara fisik, tapi sifat dan perilakunya. Belum apa-apa, Sera sudah kembali rindu dengan sahabat-sahabatnya. Ah, tapi mau bagaimana lagi? Mereka harus mengejar impian masing-masing. Hidup tidak selalu harus berdampingan, tapi seharusnya saling mendoakan, itu sudah cukup.
Namun Sera tidak bisa mengelak jika rasa rindu itu ada. Apalagi tiba-tiba ia membayangkan Binar yang kesulitan berkomunikasi dengan orang asing disana. Bagaimana jika hati sahabatnya yang polos itu terluka? Perasaan Sera jadi campur aduk sekali pagi ini. Harusnya ia semangat dan menunjukkan wajah cerianya pada sang calon manajer, tapi sepertinya ia tidak bisa. Andai saja ia bisa seenaknya mengundur waktu untuk wawancara, sudah pasti akan ia lakukan.
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih dua puluh menit menggunakan jasa ojek online, Sera sampai. Ia melihat sebuah kafe yang tidak bisa dibilang kecil, tapi tidak bisa juga dibilang besar. Kalau beruntung, Sera akan bekerja disini selama satu tahun ke depan. Namun kalau tidak, sepertinya memang bukan rejeki.
Lamunan Sera terhenti saat melihat sebuah tangan melambai dari sosok yang sangat ia kenali. Dia Rayena, masih sama seperti dulu, kaos dan celana jeans panjang, sepatu converse, juga rambut sebahu yang sepertinya tidak bisa panjang.
"Ra, kafenya enak banget tau. Gue sih bakal betah kalo disuruh kerja disini. Gue denger juga disini rame loh. Customernya banyak yang suka sama desain interior kafenya, ditambah wifinya kenceng banget," ucap Rayena panjang lebar.
Sera duduk di depannya dengan raut wajah yang bisa dibilang tidak senang. Rayena pikir, Sera belum siap bekerja, tapi ia hanya terpaksa saja karena didesak keadaan.
"Ra, lo nggak suka sama kafenya atau lo emang nggak siap kerja?"
"Bukan gitu, Ray. Ada temen asrama gue yang mirip banget kelakuannya sama Nina. Gue tadinya semangat mau wawancara, tapi jadi keinget temen-temen kita yang lain. Rasanya jadi sedih banget nih," jelas Sera.
"Ra, gue ngerti kok seberapa berharganya kita berenam buat lo, ditambah lagi lo sayang banget sama kita. Tapi ada satu hal yang perlu lo tau, kita nggak bisa terus ngelewatin jalan yang sama. Rindu itu pasti mampir, wajar, nggak papa banget. Tapi please inget ya, kita pasti terus saling mendoakan," ucap Rayena lalu bangkit dan duduk di samping Sera, memeluk gadis yang sedang dilanda kesedihan itu erat-erat.
"Makasih, Ray," ucap Sera sambil terisak.
"Nangis dulu sekarang. Nanti kalo udah mau masuk ke ruangan manajer, cuci muka dulu tapi ya. Soalnya muka lo jelek Ra kalo abis nangis," ledek Rayena yang justru membuat Sera tertawa lalu mendorong tubuh gadis tomboy di sampingnya.
Memang tidak ada lagi yang bisa mengerti hati Sera selain sahabat-sahabatnya itu. Makanya, Sera merasa paling kehilangan saat ini. Padahal keenam yang lain masih sama-sama tinggal di dunia.