Sudah tiga bulan lamanya Sera bekerja di kafe tempatnya melamar dulu. Awalnya, Sera ragu jika ia tidak bisa fokus kuliah jika harus sambil bekerja. Ia juga takut tugas-tugasnya tidak bisa diselesaikan dengan baik. Mengingat sering adanya kerja kelompok, Sera meminta teman-temannya untuk mengerjakan tugas di kafe tempatnya bekerja.
Ada beberapa teman yang menerima bahwa Sera akan mengerjakan tugas sambil melayani tamu kafe, tapi ada juga yang kesal bahkan sampai membentak Sera. Gadis itu tahu hal-hal seperti ini akan terjadi. Namun mau bagaimana lagi, jika tidak bekerja Sera tidak akan punya tabungan.
Disaat sahabat-sahabatnya sulit untuk dihubungi, Sera kerap mencurahkan isi hatinya pada Arella. Walaupun gadis itu tidak banyak membantu, setidaknya Sera lega karena memiliki teman yang mau mendengar keluhannya. Tidak jarang juga bahkan Sera menangis di depan Arella. Namun gadis yang sering dijuluki manja itu tidak menertawai Sera sama sekali justru menenangkannya.
Sera harus bersyukur ia masih diberikan teman yang baik. Sera tidak bisa mengeluh setiap saat pada perubahan hidupnya ini. Ia tidak bisa bersama sahabat-sahabatnya setiap hari seperti dulu. Ia tidak bisa lagi hanya bersekolah kemudian pulang lalu diberi makan dan tempat nyaman untuk tidur. Sekarang, Sera harus mandiri. Mencari ilmu sekaligus mencari uang adalah jalan hidup yang Sera pilih.
"Ra, kalo lo nggak makan martabaknya nanti gue abisin nih," ucap Arella sambil memandangi martabak manis yang hanya tersisa kurang dari setengah kotak.
"Makan aja, Rel. Gue kan udah bilang gue nggak suka martabak cokelat."
Sera masih sibuk dengan kertas-kertas di tangannya. Berulang kali ia menyusun paper, tapi tidak bisa urut juga. Lelah, sudah pasti. Ia diminta lembur karena tamu kafe pada hari weekend datang lebih banyak. Sekarang sudah pukul 1 dinihari. Dan Sera masih sibuk dengan tugasnya yang bahkan belum setengah jadi.
"Gue bikinin mie goreng, mau?"
"Kebetulan gue laper sih, Rel. Tapi emang lo berani turun ke dapur sendirian tengah malem gini?"
"Enggak sih, cuma gue kasian aja sama lo."
"Ya udah, nggak usah. Mending lo balik ke kamar lo gih. Tidur. Besok ada kelas pagi, kan?"
"Belom ngantuk. Lagian kamar gue belakangan ini aneh deh. Jam 3 pagi gue suka denger anak kecil nangis sama ada yang suka ketok-ketok jendela padahal kita kan di lantai 7," jelas Arella dengan santainya.
"Yang kayak gitu mah biasa kejadian di asrama manapun. Tapi gue agak kaget sih jujur kok lo bisa-bisanya santai banget kayak nggak takut sama sekali?"
"Kalo kita takut bukannya mereka makin seneng?"
Sera tersenyum, sebenarnya ingin tertawa, tapi ia takut menertawakan hal semacam itu. Lagipula ini sudah tengah malam. Dan bagaimana jika Arella benar-benar kembali ke kamarnya dan meninggalkan dirinya sendirian? Sera pasti akan merinding.
Setelah sekian lama menyusun paper yang sudah ia tulis, sekarang tinggal membuat penutup. Tinggal satu halaman lagi, tapi jujur Sera sudah mengantuk. Ia tidak bisa sepenuhnya membuka mata, kedua matanya otomatis menutup sewaktu-waktu. Bahkan Sera tidak menyadarinya sama sekali.
Sera terpaksa menyeduh kopi dengan menggunakan air termos. Hanya kopi mungkin yang bisa membuatnya terjaga. Walaupun hanya butuh menulis satu halaman lagi. Ingin mencuci muka, tapi ia tidak berani ke kamar mandi. Mengingat saat ini sudah pukul 4 pagi. Sera bahkan tidak sadar jika Arella sudah tidak berada di kamarnya lagi.
Mungkin gadis itu pamit disaat Sera sedang memasuki masa kritis alias sangat-sangat mengantuk. Semua orang tidak peduli sekitar jika sedang dilanda kantuk berat, bukan?
Saat matahari sudah bersinar, Sera langsung menyiapkan pakaian dan bergegas ke kamar mandi. Ia baru tidur dua jam, tapi tidak apa. Lagipula hari ini hanya ada dua kelas setelah itu ia bisa pulang dan kembali tidur. Hari Senin ini adalah hari libur Sera, jadi ia tidak bekerja di kafe. Kalau Senin biasanya menjadi hari yang hectic untuk orang-orang, tidak untuk Sera. Hari ini justru menjadi satu-satunya hari dimana ia bisa beristirahat dengan tenang.
"Ra, rambut lo belom disisir? Kusut amat woi," sahut salah satu temannya saat Sera berjalan memasuki area kampus.
Sera tidak peduli, ia tetap berjalan sambil dengan sibuknya mengecek paper yang ia kerjakan mati-matian semalam. Sera memang seperti ini, ia bisa mengecek ulang apapun berkali-kali sampai ia benar-benar yakin. Namun sialnya, tumpukan paper itu jatuh saat Sera tidak sengaja menabrak orang lain. Atau bisa dibilang orang itu yang menabraknya.
"Kalo jalan pake mata."
Sera yang sedang mengambil papernya yang jatuh di atas aspal itu pun segera bangkit dan menoleh. Laki-laki itu sedikit lebih tinggi darinya. Sebenarnya bisa dibilang, semua perempuan akan terasa sangat mungil di dekatnya, tapi tidak dengan Sera yang memiliki kaki jenjang.
"Harusnya lo dong yang hati-hati, gue kan lagi ngecek tugas. Kalo lo jalan pake mata, lo harusnya bisa liat gue lagi sibuk. Lo kan bisa jalan lewat sana."
"Gue emang sengaja nabrak lo, biar lain kali, lo kalo jalan ya jalan aja nggak usah pake sok sibuk ngecek tugas kayak tadi. Nggak suka gue liatnya," ucap laki-laki itu dengan santainya.
Sera tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya, tapi kalau dipikir-pikir ia sudah kehilangan title sebagai orang paling sabar di dunia ini. Belakangan, memang ia susah menahan emosi. Dirinya ditabrak saja barusan ia langsung marah-marah dan membela diri. Padahal biasanya, Sera malas mengurusi urusan yang tidak penting seperti itu.
"Ya udah maaf," potong laki-laki itu disaat Sera masih sibuk mengoceh.
Laki-laki yang belum pernah Sera lihat itu melengos pergi begitu saja. Seolah-olah kata maaf saja sudah cukup. Sera berusaha menahan diri, seperti yang selalu ia lakukan dulu. Berhasil? Tidak. Sera mengikuti laki-laki itu dari belakang, semakin dekat, Sera menendang belakang lutut laki-laki itu dengan sangat kencang. Sera tidak tahu tendangannya akan menyebabkan laki-laki itu sampai terjatuh.
Namun dengan santainya, Sera berkata "Lemah." Walaupun dengan perasaan bersalah, ia pergi begitu saja tanpa menoleh ke belakang sama sekali. Sera tahu sebagian orang disana melihat dirinya begitu santainya mencelakai orang lain, tapi mau bagaimana lagi, ia tidak bisa menahan diri.
"Ra, lo gila ya? Ih bener deh gue rasa lo udah gila," ucap Arella setelah mendaratkan bokongnya di kursi.
Sera seolah tidak peduli, ia masih sibuk mengunyah makan siangnya. Ia tahu dirinya akan jadi sorotan orang-orang, tapi tidak akan lama sepertinya. Lagipula laki-laki itu juga sepertinya bukan mahasiswa.
"Ra, dia anak rektor, Ra."
Sera berhenti mengunyah. Tidak tersedak sama sekali seperti di kebanyakan drama. Ia tidak tahu apakah perilakunya akan diberi sanksi atau tidak, tapi yang Sera tahu, anak penerima beasiswa sepertinya harus selalu bersikap baik.
"Ra, kalo beasiswa lo dicabut gimana?"
Sera menaruh sendoknya. Ia cemas, tapi firasatnya mengatakan ia akan baik-baik saja. Ia akan melakukan apapun yang diminta rektor bahkan kalau harus berlutut di kaki laki-laki yang ia anggap tidak waras itu. Sera harus tenang, tidak boleh gegabah.
"Ra, lo pernah bilang lo tuh orangnya sabar banget, tapi kenapa sekarang cepet ilang kendali gitu sih?"
Sera juga tidak tahu jawabannya. Mungkin benar kata orang. Perubahan akan dialami setiap individu, tidak memakai pengecualian. Mungkin Sera cepat emosi karena ia sering kelelahan. Lagipula saat ini hidupnya cukup rumit. Wajar saja jika kesabarannya hilang perlahan-lahan.