Sudah dua hari semenjak kejadian Sera dengan sengajanya menendang anak rektor sampai jatuh. Kalau Sera tahu laki-laki yang ia anggap tidak waras itu adalah anak rektor, mungkin Sera tidak akan mengambil tindakan sejauh itu. Bukan masalah takut ditegur atau diberi peringatan semacamnya, tapi Sera harus tahu diri. Ia kuliah dibiayai pemerintah. Seharusnya Sera bisa menjaga sikapnya sampai lulus nanti.
Namun mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Kalaupun hari ini, besok, lusa, atau kapanpun Sera dipanggil, ia bisa apa? Satu hal yang Sera mohonkan dalam doanya adalah agar beasiswanya tidak dicabut, itu saja. Kalaupun ia diusir dari asrama atau diberi hukuman lain, tidak masalah. Yang penting, Sera masih bisa berkuliah secara gratis.
"Ra, nanti sore mau ketemuan sama Malik, ya?" tanya Arella lalu menyodorkan sebungkus cokelat dengan pita merah pada Sera.
Sera sendiri masih sibuk menata buku di lokernya, ia sekilas melihat Arella yang entah mengapa kini pipinya bersemu merah.
"Cokelat buat siapa, Rel?"
"Malik," jawabnya singkat.
Sera menerima cokelat itu lalu menatapnya lekat-lekat. Ada sebuah sticky notes yang menempel disana, juga pita merah itu terkesan sangat berlebihan. Sera memang sering menceritakan tentang keenam sahabatnya pada Arella, entah disengaja ataupun tidak. Sera bahkan tidak tahu jika hanya lewat cerita saja, Arella bisa langsung jatuh hati. Katanya sih karena kepribadian Malik yang unik dan sederhana itu.
Sera sendiri belum pernah menunjukkan keenam wajah sahabat-sahabatnya. Namun ia memajang satu pigura lumayan besar di dinding kamarnya. Ada tiga laki-laki disana; Atlan, Samudera, dan Malik. Jangan sampai Arella berekspektasi kalau Malik adalah Samudera yang mana adalah yang paling tampan diantara ketiganya. Semoga saja sih tidak, pikir Sera.
"Lo mau kemana, Rel?" teriak Sera.
Arella yang tengah berlari itu menoleh ke belakang sebentar lalu menunjuk jam tangannya, "Ada kelas."
Sera kemudian memasukkan cokelat itu ke dalam tasnya. Setelah dipikir-pikir cokelat yang diberikan Arella ini adalah cokelat yang sering sekali Malik beli, brand favoritnya. Mengapa gadis itu bisa tahu? Apa Sera tidak sengaja bilang, ah ia lupa. Lagipula mengapa harus memikirkan hal ini sih, pikirnya.
Setelah menutup rapat dan mengunci lokernya, Sera berjalan menuju pintu keluar. Ia sudah harus bekerja sekarang. Untungnya tidak ada tugas sama sekali untuk besok jadi sore nanti memang rencananya ia ada janji dengan Malik. Sesampainya Sera di gerbang, ia berhenti sebentar bermaksud mengecek ponselnya. Bukan tanpa alasan, Sera sering sekali meninggalkan ponselnya di loker. Daripada ia bulak-balik nanti, lebih baik ia memastikannya sekarang.
"Ra," panggil salah satu temannya.
Sera yang masih sibuk mengobok-obok isi tasnya pun hanya menjawab seadanya. Sampai temannya itu memanggil ia sekali lagi. Sera menoleh, sedikit kesal karena kegiatan mengecek tas yang ia anggap kegiatan penting ini diganggu.
"Apa sih, Ca?"
"Liat deh ke parkiran, ada yang ngeliatin lo daritadi," ucap Ica lalu meninggalkan Sera begitu saja. Dan saat Sera berbalik, temannya itu sudah tidak terlihat. Awalnya Sera pikir ia dikerjai atau semacam itu, tapi setelah Sera memastikan sekali lagi, ia tahu kalau Ica tidak berbohong.
Laki-laki yang ia temui dua hari lalu itu sedang menatapnya tajam. Ia duduk di atas motor sambil memegang helm. Sera pikir ia tidak seharusnya mendengar perkataan Ica tadi, tapi jika dipikir lagi ini adalah kesempatan untuknya agar bisa meminta maaf. Entah apa yang ada dipikiran Sera, ia malah melengos begitu saja. Mungkin takut jadi bahan perbincangan karena dengan beraninya menghampiri anak rektor yang ia celakai beberapa hari lalu.
Tiga puluh menit berlalu, Sera kini tengah sibuk melayani pengunjung kafe yang kebanyakan adalah orang kantor. Ia jarang melihat ada mahasiswa yang datang ke kafe tempatnya bekerja siang bolong seperti ini. Kalau malam hari, memang sering.
"Ra, ada cowok duduk di luar, tapi dia mau yang ngelayanin itu lo," bisik Oding, salah satu rekan kerjanya.
"Anak kampus?" Sera bertanya begitu karena tahu kalau Oding, mahasiswa semester 7 itu sangat mengenal hampir sebagian besar mahasiswa. Namun Oding bilang ia tidak pernah melihat laki-laki itu sebelumnya. Kejadian Sera menendang anak rektor sampai jatuh saja Oding tidak tahu. Maklum sajalah, Oding sudah jarang masuk kampus karena sibuk bekerja dan menyusun skripsi.
Sera membawa buku menu dan juga note kecil yang selalu ia simpan di kantungnya. Sera berjalan ke arah meja yang ditunjuk Oding. Saat Sera sudah disana dan siap mencatat pesanan, laki-laki itu membuka topi dan maskernya. Hampir saja Sera ingin melarikan diri, tapi percuma juga kakinya terlanjur kaku. Sera tidak tahu bagaimana ia harus bersikap. Lidahnya juga kelu, tidak bisa bicara.
"Nasi goreng spesial sama air putih dingin aja," ucap laki-laki itu sambil memandangi wajah Sera yang sedang menunduk sambil mencatat pesanan.
"Kayaknya lo udah tahu kalo gue anak rektor, ya?"
Aksara Elok Gardapati, putra pertama dari empat bersaudara. Usianya sama dengan Sera, hanya saja laki-laki itu tidak memilih untuk berkuliah. Dari sejak SMP dulu, darah seninya sudah sangat terlihat. Bermain di berbagai teater, entah itu menjadi orang di balik layar ataupun talentnya. Laki-laki itu juga kerap mengikuti kemanapun sang paman saat membuat film. Bidang fotografi juga ia kuasai. Bisa dibilang, anak ini sangatlah berbakat.
"Maaf, gue udah keterlaluan. Gue tuh— lagi emosi aja. Pokoknya gue minta maaf banget ya. Terserah lo mau laporin ke Pak Garda, itu hak lo, asal lo maafin gue," ucap Sera tanpa menatap lawan bicaranya.
"Kalo lo disini terus, kapan makanan gue dateng?" balas laki-laki itu tanpa menyinggung ucapan maaf Sera.
Sera hanya menunduk singkat lalu segera pergi dari sana. Kalau didengar dari nada bicaranya, sepertinya dia laki-laki yang baik, tidak seperti saat mereka bertemu tempo hari hanya saja Sera terlalu takut karena mungkin tahu laki-laki itu adalah anak rektor. Dan bisa saja bertindak seenaknya kalau tidak punya perasaan.
Karena merasa sudah meminta maaf, Sera tidak mau mengantarkan makanan yang dipesan laki-laki itu melainkan meminta tolong pada Oding. Tidak ada penolakan, mungkin memang Elok hanya ingin bertemu Sera sekali. Entah untuk apa, mungkin ingin mendengar Sera meminta maaf langsung padanya.
"Ra, gue nggak yakin dia anak rektor. Beda banget sama Pak Garda," ucap Oding.
"Beda apanya? Mukanya mirip gitu kok. Dan sialnya gue baru sadar sekarang. Kalo aja dari kemaren pasti gue nggak bakal nendang kakinya," balas Sera.
"Bukan mukanya, tapi kelakuannya. Pak Garda kan lemah lembut, baik, sabar, sedangkan anaknya, kayaknya nggak ada satupun sifat bapaknya yang nyangkut deh."
Berbeda dari yang Oding lihat, Sera justru berpikir bahwa laki-laki itu baik. Walaupun penampilannya terlihat seperti preman, tapi perasaan Sera mengatakan dia tidak jahat. Walaupun pertemuan pertama mereka terkesan sangat tidak menyenangkan.
"Ra, kenapa bengong?"
"Nggak papa."
"Jangan-jangan lo suka, ya?"
Sera menatap Oding dengan pandangan yang cukup mengerikan sebelum akhirnya teman kerjanya itu memilih untuk kabur. Sera kembali menatap Elok dari jauh, tidak ada rasa apa-apa. Lagipula mereka tidak saling kenal dan Sera tidak percaya jika orang bisa jatuh cinta secepat kilat menyambar saat hujan deras.