"Gue nggak yakin, ah. Mereka berdua tuh nggak cocok, berantem mulu lagian," ucap Janina setelah Malik menceritakan apa yang baru saja ia ketahui tadi siang.
"Nin, lo tau sendiri kan, Sam itu irit banget kalo urusan ngomong, tapi kalo sama Ray dia ngomong terus nggak abis-abis," jelas Sera.
"Emang lo tuh paling top deh, Ra. Paling peka, paling segala-galanya," sambung Malik.
Benar memang apa yang dikatakan Malik tadi saat mereka menumpang taksi. Malam ini akan menjadi malam yang panjang untuk mereka. Ketiganya duduk sepanjang malam di pendopo belakang rumah Janina. Tentunya membicarakan satu hal, tentang Ray dan Sam. Tidak disangka-sangka mereka membicarakan sahabat sendiri di belakang. Belum pernah terjadi seperti ini masalahnya.
Tapi toh mereka bukan membicarakan keburukan atau ke arah negatif. Mereka justru berencana untuk mendekatkan kedua sahabat itu. Entah bagaimana caranya, tapi kalau dipikir-pikir mereka berdua itu banyak kesamaan. Mulai dari anak rumahan, suka membaca walaupun Ray lebih memilih menggunakan aplikasi di ponsel sedangkan Sam langsung dari buku. Selain itu, mereka juga sama-sama menguasai bidang sains. Dan banyak kesamaan lainnya yang selama ini tertutup karena mereka terlihat tidak pernah akur.
"Kalo beneran jodoh, lucu banget sih astaga," ucap Sera.
Merasa tidak ada yang menanggapi, ia menoleh ke samping kanan dan kirinya. Tidur, itulah yang dilakukan Malik dan Nina saat ini. Padahal Sera masih ingin mengobrol. Jarang-jarang lagi mereka akan punya waktu sebanyak ini. Ditambah minggu depan Nina sudah berangkat ke Bali. Hanya tersisa dirinya, Ray, dan Malik yang memilih bekerja di Jakarta. Atlan sama dengan Nina, kuliah di Bali namun mereka beda kota juga universitas. Binar mendapat beasiswa di Singapur. Samudera sendiri paling jauh. Di benua amerika sana. Perbedaan waktu paling terasa pastinya dengan laki-laki dingin itu.
Sebenarnya waktu Samudera mengatakan ia akan kuliah di Amerika, keenam sahabatnya tidak ada yang terkejut. Dari dulu sebenarnya laki-laki itu memiliki keinginan untuk menyendiri. Pergi jauh merantau dan tidak pengin ada orang yang ia kenali berada di dekatnya. Entah alasannya apa, tapi begitulah Samudera. Terwujud memang, ia diterima di salah satu universitas paling bergengsi di Amerika.
Satu hal yang mereka tahu, bukan hanya jarak dan waktu yang memisahkan keenam yang lain dengan Samudera, tapi juga ego. Samudera tidak mungkin mau berkorban untuk sekadar menanyakan kabar yang lain. Memberi kabar pada ibunya saja belum tentu ia lakukan. Bukan bermaksud kurang ajar, tapi jika sudah serius dan fokus, laki-laki itu bisa melupakan segala hal.
Selain kepergian Samudera yang begitu jauh, mereka juga mengkhawatirkan Binar. Gadis itu akan berada sendirian di luar negeri. Walaupun Singapur itu terbilang sangat dekat, tapi tetap saja rasa cemasnya tidak bisa hilang. Untung saja perbedaan waktu tidak jauh jadi bisa selalu saling berkabar. Binar memiliki keterbatasan. Itulah yang sahabat-sahabatnya cemaskan. Binar selalu mengatakan kalau orang baik tidak hanya satu dan pasti ada di setiap kita melangkah.
Gadis itu terlampau polos dan positif. Itulah yang membuat Sera dan yang lain sulit melepaskan Binar sendirian. Namun apa yang bisa mereka lakukan, ini keinginan Binar sendiri. Lagipula ia mendapatkan beasiswa. Kesempatan emas seperti ini siapa yang mau melewatkan? Walaupun orangtua angkatnya sangat mampu dalam hal finansial, Binar juga tetap tahu diri. Jika bisa berkuliah secara gratis, kenapa tidak? Lagipula biayanya tinggal di Singapura juga besar. Jika ditambah biaya kuliah, ia tidak enak dengan orangtuanya. Walaupun sebenarnya tidak ada yang keberatan.
Untuk Atlan dan Janina. Kedua anak manja itu bagaikan sudah disatukan takdir. Mereka ditempatkan di pulau yang sama walaupun beda kota. Sebenarnya mereka berdua juga patut dikhawatirkan karena hidup mereka sama-sama tidak bisa lepas dari bantuan orang lain. Atlan yang selalu berlindung di bawah ketek ibunya dan juga Janina yang apa-apa minta tolong pada pelayannya. Rayena bahkan sempat menyuruh mereka berdua untuk berpikir berkali-kali sebelum mengambil keputusan itu. Namun Malik bilang, jika tidak keluar dari zona nyaman, Atlan dan Nina tidak akan pernah berubah.
Sedangkan yang masih bertahan di Jakarta, tiga orang dari mereka. Sera, Rayena, dan Malik. Dua diantaranya memutuskan untuk tidak berkuliah melainkan bekerja. Rayena diterima di salah satu foundation yang bergerak menangani anak-anak disabilitas dan kurang mampu. Ia menjadi guru honorer disana, tentunya mengajar ilmu sains dasar. Jika boleh jujur, Rayena ingin sekali bersekolah tinggi, mendapatkan gelar, lalu menjadi ilmuwan. Namun jiwa sosialnya lebih tinggi. Selagi ia masih sanggup, ia ingin mengutamakan orang lain, apalagi yang sangat membutuhkan.
Kalau Malik, sebenarnya tidak sengaja. Satu hari setelah ujian nasional, ia mengikuti casting di salah satu rumah produksi yang sedang booming. Tidak pernah ia sangka jika ia lolos dan diminta menandatangani kontrak. Berkat, ini benar-benar berkat untuk Malik. Menjadi aktor bukanlah impian utamanya, tapi kesempatan ini tidak boleh ia lewatkan. Walaupun harus mengorbankan impian sesungguhnya yaitu menjadi atlet renang kebanggaan negeri.
Sedangkan Sera, ia juga mendapat beasiswa. Jurusan Sastra Bahasa Inggris di salah satu universitas negeri di Jakarta. Bersyukur, sudah pasti. Lantaran jika tidak mendapat beasiswa, anak yatim piatu sepertinya mungkin akan sulit untuk menempuh pendidikan tinggi. Mempelajari bahasa asing merupakan salah satu hobinya. Dan menurutnya, ia harus memperdalam bahasa inggris, apalagi itu adalah bahasa internasional.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, keluar dari panti asuhan dan menjalani hari-hari ke depannya dengan tinggal di asrama sendirian. Sera tahu ia bisa, tapi sepertinya akan sulit beradaptasi. Mengingat ia takut jika harus tidur sendirian. Ditambah Sera memiliki ketakutan tersendiri jika harus melewati lorong panjang dengan banyak pintu. Astaga, tapi semua asrama kan seperti itu.
"Ra, kenapa bengong?" Pertanyaan itu sukses membuat Sera terkejut. Selain karena ia sedang melamun, ia pikir kedua orang di sampingnya ini sudah pulas sejak tadi.
"Ra, ke kamar yuk. Disini banyak nyamuk," eluh Nina sambil menggaruk-garuk leher dan tangannya yang kini sudah memerah.
"Malik gimana?"
"Ah, siapa peduli. Ayo cepetan," ucap Nina lalu menarik tangan Sera agar segera mengikutinya masuk ke dalam kamar.
"Nin, lo udah siap?"
"Siap ngapain sih?"
"Siap buat pisah sama yang lain," lirih Sera yang entah kenapa tiba-tiba menjadi emosional saat ini. Nina melirik jam dinding di kamarnya. Sekarang sudah hampir jam 2 pagi. Tidak lucu jika Sera menangis, takutnya ada yang penasaran lalu mengikutinya.
"Ra, please deh. Nangisnya besok pagi aja ya pas matahari udah terbit," ucap Nina lalu menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.
Sera lalu menghapuskan air mata di pipinya. Melihat Janina yang sebenarnya cengeng, tapi tidak peduli membuat Sera sadar. Harusnya ia tidak perlu terlalu emosional begini. Ia berlebihan, tentunya. Namun wajar saja, mereka berenam bagaikan separuh jiwanya. Sera tidak memiliki orangtua bahkan keluarga. Mendapat kasih sayang dari ibu asuh, sudah pasti, tapi harus berbagi dengan anak-anak tidak beruntung yang lain.
Memiliki keenam sahabat cukup membuat Sera sadar jika dunia tidak selamanya tidak adil. Sera memang tidak diberikan kesempatan untuk mendapatkan cinta langsung dari kedua orangtuanya, tapi Sera diberikan sahabat-sahabat yang begitu baik. Bersyukur dan berterimakasih pada Tuhan juga alam semesta yang begitu baik, mungkin itu yang bisa Sera lakukan saat ini dan hari-hari besok.