Mobil travel yang pernah mengantarkan mereka kemarin sudah terlihat di halaman parkir. Akhirnya setelah melewati hari-hari tanpa tidur di kasur kesayangan, mereka bisa pulang juga. Samudera, sebenarnya ia yang harusnya naik pertama kali ke mobil, tapi nyatanya tidak. Ia sudah selesai mengemasi barang-barangnya dan sedang duduk di bawah pohon menunggu teman-temannya.
Janina masih sibuk berfoto, gadis itu bahkan sudah tiga kali berganti pakaian. Sang fotografer, Atlan sudah mengeluh ingin cepat naik ke mobil. Semakin siang matahari semakin menyengat. Berbeda dengan pagi tadi yang mendung. Ternyata hujan tidak jadi turun.
"Nin, kasian Atlan sampe keringetan gitu," ucap Malik dengan ransel di pundak kirinya sambil memakan keripik kentang. Laki-laki itu berjalan menuju Samudera yang terlihat sedang melamun sendirian. Setelah berdiri di sampingnya, Malik memilih untuk jongkok. Tadinya tidak ada percakapan, Malik hanya pengin menemani sahabatnya itu.
"Lik," panggil Samudera tanpa menoleh sedikitpun.
Malik masih sibuk menjilati sisa-sisa bumbu keripik kentang yang menempel di jari-jarinya. Samudera pikir laki-laki itu tidak mendengar, maka ia menyenggol Malik sampai terjatuh. Malik memang berjongkok sambil membawa beban berat yang tidak lain adalah tasnya sendiri. Wajar jika ia mudah kehilangan keseimbangan walaupun hanya sekadar disenggol sedikit.
"Apa? Gue tuh denger tau," protes Malik.
"Kayaknya Ray suka sama gue." Kalimat yang keluar dari mulut seorang Samudera, laki-laki yang dikenal dingin dan cuek itu membuat Malik tersedak. Ia batuk-batuk tidak berhenti sambil membuka ranselnya mencari botol minum. Berlebihan memang reaksi Malik, tapi ia benar-benar kaget. Ia tidak pernah membayangkan Samudera membicarakan soal cinta atau apapun itu apalagi menduga Rayena menyukai dirinya. Astaga, apa Samudera ini kemasukan hantu penunggu disini, pikir Malik.
"Lo kok bisa ngomong gitu?"
"Feeling aja," balas Samudera tanpa berpikir.
"Have you ever had a feeling?"
Samudera menoleh lalu menatap wajah Malik yang benar-benar terlihat seperti orang bingung dan kehabisan kata-kata. Sedikit tersinggung dengan pertanyaan Malik barusan namun ia tidak bisa mengelak. Wajar jika orang-orang berkata ia tidak punya perasaan. Seharusnya ia lebih banyak bercermin, ia tidak pantas marah dengan Malik.
"Sam, sorry, tapi—"
Samudera hanya mengangguk singkat lalu menepuk pundak Malik dan pergi dari sana. Tentu saja menuju mobil yang hanya berjarak seratus meter dari sana. Malik sendiri masih menatap punggung Samudera yang semakin menjauh itu tanpa menutup mulutnya. Cengo, bahasa gaulnya mungkin seperti itu.
"Lik, ngapain disini? Ayo buruan ke mobil. Nggak enak ditungguin bapak supirnya," ucap Rayena yang kemudian menyusul Sera dan Binar di depannya.
Malik menoleh ke belakang, Atlan masih sibuk dengan kamera dan Janina terlihat mengoceh di sampingnya. Entah karena hasil foto Atlan jelek atau apa, tapi Malik tidak peduli. Yang ia pedulikan saat ini adalah bagaimana caranya ia bisa mengobrol lebih dalam lagi hanya berdua dengan Samudera. Pastinya membicarakan masalah tadi. Bisa-bisa Malik tidak tidur malam ini kalau masih dihantui rasa penasaran.
"Sam, kenapa duduk di depan?"
"Di belakang pasti berisik jadi gue nemenin bapak supir aja," jawab Samudera lalu diangguki oleh Sera.
Mobil yang mereka tumpangi berisi 16 seat untuk penumpang. Dua seat di depan untuk supir dan satu lagi yang ditempati Samudera saat ini. Di belakang masih luas jadi Sera menanyakan mengapa Samudera memilih duduk di depan dengan sang supir. Lagipula sebenarnya perjalanan mereka tidak begitu panjang, hanya saja pasti berhenti satu kali di tempat peristirahatan untuk makan, ke toilet, atau sekadar belanja sesuatu.
"Ray," panggil Malik.
"Kenapa? Lo nggak mau turun? Mau nitip sesuatu?"
"Lo lagi suka sama orang?"
"Kalo suka ya sama orang lah masa sama binatang," jawab Rayena.
"Tunggu sebentar kenapa," protes Malik saat Rayena ingin turun dari mobil.
"Gue laper, Lik. Mau cari makan. Lo tau sendiri cemilan abis sama Binar, Atlan, lo juga."
"Lo suka sama Sam?" tanya Malik yang lebih memilih to the point.
"Ngaco," balas Rayena dengan sedikit pukulan pada jidat lawan bicaranya lalu turun begitu saja meninggalkan Malik yang sedang penasaran sekaligus kebingungan itu sendirian di mobil.
Setelah beres dengan urusan rest area, mereka semua kembali ke mobil. Sudah dua puluh menit perjalanan tidak ada suara sama sekali. Berbeda dengan saat sebelum ke rest area tadi. Mungkin mereka semua lelah. Atlan tidur di jok paling belakang sambil memeluk boneka beruang kecil yang dibawa Binar. Janina di depannya memakai headphone dengan mata yang terpejam. Binar sendiri duduk di sampingnya, menyenderkan kepalanya di bahu Janina. Sepertinya hanya mereka bertiga yang pulas.
Malik dan Rayena duduk di satu baris yang sama. Malik terus mengunyah keripik kentang kesukaannya sambil menatap ke jendela. Rayena sendiri sibuk dengan ponselnya, entah apa yang dilihat. Sera duduk tepat di belakang supir, dari kecil ia lebih merasa nyaman jika duduk berdekatan dengan supir. Bukan tanpa alasan, ia sangat peka terhadap keadaan. Ia juga bisa mengawasi sekaligus mengingatkan jika supir mengantuk atau berkendara dengan kecepatan diatas maksimal.
Samudera, tetap di posisi awalnya. Duduk tenang di sebelah supir dengan buku bacaan di tangannya. Sera yang merasa pusing itu pun bertanya, "Sam, nggak pusing baca buku di mobil?" Tidak ada jawaban. Menoleh pun tidak. Sabar, Sera harus sabar. Mendengar pertanyaan Sera tidak dijawab, Rayena pun ikut membuka suara, "Kayaknya baca buku sama main hp itu sama aja deh, Ra. Kalo udah biasa mah nggak pusing."
Malik mulai tertarik dengan pembicaraan ini. Rayena terlihat seperti mewakilkan Samudera untuk menjawab pertanyaan Sera. Rasa penasaran Malik mulai muncul kembali. Apa benar dugaan Samudera kalau Rayena menyukai laki-laki dingin itu? Dan adu mulut mereka selama ini hanya kedok untuk menutupi kalau sebenarnya mereka saling menyukai? Astaga, Malik tidak mau ketinggalan kisah cinta dua sahabatnya ini.
"Baca buku sama main hp ya jelas beda lah," protes Samudera.
"Gue juga baca, Sam. Bedanya gue digital dan lo enggak," balas Rayena tidak mau kalah.
Pas sekali memang Malik membeli tiga bungkus keripik kentang tadi. Jika mereka berdua sudah adu mulut pasti memakan waktu lama. Awalnya jika Sam dan Ray berdebat, tidak ada yang mau peduli atau mendengarkan. Tapi kali ini Malik penasaran.
"Lik, kok lo kayak nikmatin debat mereka sih jadinya?" bisik Sera yang kini duduk menyamping dan menatap Malik di belakangnya.
"Nanti deh kalo udah sampe rumah gue ceritain."
"Gue kan nggak serumah sama lo ya."
"Lo udah nggak di panti. Minggu depan baru pindah ke asrama. Lo mau tidur dimana, say? Hotel? Punya duit?" balas Malik panjang lebar.
"Berarti gue harus nginep di rumah Nina?" bisik Sera yang dijawab anggukan oleh Malik. Karena Malik dan Janina notabene tinggal di satu rumah, maka interaksi di antara mereka lebih mudah. Namun jika ditambah Sera, biasanya kecanggungan akan hilang begitu saja. Sebenarnya kalau di rumah, Janina tetap menganggap Malik sebagai sahabatnya bukan sebagai anak pelayan. Tapi tetap saja orangtua Janina sedikit tidak suka jika putrinya bergaul dengan Malik.
"Nin, Bi, bangun yuk, udah sampe," ucap Sera.
"Atlan, bangun. Udah ditungguin mama tuh," sambungnya.
Rayena, Malik, dan Samudera sudah lebih dulu keluar dari mobil. Mereka segera mengeluarkan barang-barang dari bagasi. Mempersingkat waktu, alasan tepatnya. Setelah mereka semua turun dan sudah mengambil barang milik masing-masing, disitulah perpisahan dimulai.
"Minggu depan, kita udah masuk kuliah. Ada yang kerja juga. Good luck ya buat jalan yang udah kita ambil masing-masing," ucap Rayena.
"Pokoknya harus selalu ngasih kabar ya. Apapun yang terjadi, inget, kalian semua punya gue, gue juga punya kalian," lanjut Sera.
"Ih, kenapa harus pisah, sih. Luar kota, luar negeri. Beda waktu lah, nggak bisa sama-sama lagi. Sibuk sendiri. Ah— jadi cengeng kan gue," rengek Janina.
"Tenang, kita bakal tetep liburan bareng. Inget, tahun baru nanti di Singapur," balas Atlan.
"Bertujuh, harus bertujuh," sambung Malik yang langsung diamini mereka, kecuali Samudera. Laki-laki itu tidak bisa menjamin akan ikut atau tidak, tapi mereka semua malah jadi marah dan terpaksa, Samudera mengucapkan kata amin di depan keenam sahabatnya.
"Binar sayang kalian," ucap Binar. Janina langsung memeluknya, diikuti oleh mereka semua yang ada disana. Samudera hanya diam sendirian, tapi tangannya ditarik oleh Rayena, dipaksa bergabung. Tidak ada penolakan, lebih tepatnya tidak sanggup menolak.
Setelah itu, mereka semua kembali ke rumah masing-masing. Beristirahat dan menyiapkan diri untuk mempersiapkan masa depan, mengejar mimpi masing-masing.
Atlan dijemput oleh ibunya, tentunya dengan salah satu koleksi mobil mewah milik sang ayah. Samudera sendiri menumpang karena kebetulan tetangga. Tidak lama lagi juga laki-laki itu dan ibunya akan pindah rumah. Jadi Atlan dan ibunya harus memperlakukan tetangga mereka dengan sangat baik sebelum mereka benar-benar pindah.
Binar sendiri, sama. Dijemput oleh kedua orangtua angkatnya. Terbilang kaya, tapi kehidupan mereka sederhana. Sebenarnya itu yang membuat Binar betah tinggal bersama keluarganya. Tidak pernah pandang bulu, semua orang dianggap sama.
Untuk Rayena, ia dijemput sang abang. Awalnya Malik sempat terkejut karena baru pertama kali melihat penampakan abang Rayena yang sangat terlihat seperti gangster itu. Ditambah dengan motor trill yang ditumpanginya. Mungkin isi keluarga Rayena preman semua, pikir Malik.
Tiga sisanya, Sera, Janina, dan Malik pulang menggunakan taksi. Awalnya Nina sempat marah-marah karena supirnya mendadak sakit dan tidak bisa menjemput. Untungnya ada Sera yang bisa menenangkan dan memberi nasehat agar Nina tidak manja seperti itu. Nina akan kuliah di luar kota, jadi seharusnya dari sekarang sudah belajar mandiri.
"Ra, Nin, malam ini bakal jadi malam yang panjang buat kita," ucap Malik ketika mereka sudah dalam perjalanan menumpang taksi.
"Ih, apa coba maksud lo?" protes Janina.
"Gue ada cerita seru, tentang Ray sama Sam."
"Kayaknya gue tau deh, Lik," balas Sera.
"Udah gue duga, soalnya lo yang paling peka di antara kita, Ra."
"Ih, apaan sih? Kok gue doang yang nggak tau?" protes Janina lagi yang malah disambut kekehan dari dua sahabatnya.