Chereads / Airplane Crash / Chapter 9 - The Last Blue Morning

Chapter 9 - The Last Blue Morning

Sinar matahari pagi ini tidak secerah biasanya, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Namun tetap, semangat mereka untuk menjalani pagi ini tidak luntur. Semalam memang kurang tidur, tapi mereka harus pulang sebelum makan siang. Mau tidak mau bangun pagi untuk membereskan semuanya.

Binar dan Atlan sibuk menyiapkan sarapan sekaligus makanan ringan untuk dimakan saat perjalanan pulang nanti. Berbeda dengan Sera dan Malik yang sibuk merapikan tenda. Janina sendiri, ia baru saja bangun dan memutuskan untuk mandi.

Samudera, orang yang pertama kali bangun itu duduk di sekitar tumpukan kayu bakar yang tidak menyala. Seperti biasa, rutinitas membaca buku di pagi hari. Entah ada berapa banyak buku yang ia bawa dalam tas. Mungkin melebihi jumlah pakaiannya sendiri.

"Ray belom bangun, Ra?" tanya Malik.

"Belom. Tadi gue mau bangunin, tapi matanya keliatan sembab gitu," balas Sera sambil menahan mual. Ada satu tempat makan besar berisi nasi putih yang sudah basah dan menimbulkan bau tidak sedap.

"Ini punya siapa sih?"

"Atlan," jawab Malik singkat lalu mengambilnya dan membuangnya ke dalam plastik hitam besar khusus sampah. Sera tidak habis pikir bagaimana bisa ketiga laki-laki itu tidur dengan tenang di tenda yang sangat berantakan dan berbau seperti ini. Apa laki-laki secuek itu? Sera tidak bisa membayangkan jika Janina masuk ke dalam sini. Muntah-muntah sudah pasti.

"Ih ini punya siapa?!" teriak Sera sambil melemparkan pakaian dalam yang ia temukan di salah satu tumpukan barang.

"Ra, makanya gue bilang jangan bantuin beresin tenda gue. Udah tau kan sekarang kenapa daritadi gue nggak mau dibantuin?" terang Malik.

"Ya udah deh, gue bangunin Ray aja," ucap Sera lalu keluar dari tenda itu.

Sambil berjalan kembali menuju tendanya, Sera melewati Binar dan Atlan yang sedang memasak lalu berkata, "Jangan terlalu rakus makanya, sayang kan nasi kebanyakan jadi basi." Ucapan Sera itu langsung membuat Atlan ingat kalau ia tidak pernah memakan nasi yang dibawakan ibunya. Ia langsung meninggalkan Binar sendirian dan kembali ke tenda.

Tepat setelah itu, Rayena keluar dari tenda sendirian. Sera lebih memilih untuk membereskan tenda. Tidak ada waktu santai pagi ini, pikirnya. Pemandangan Rayena pagi ini membuat dirinya teringat tentang semalam. Hanya ada Binar dan Samudera di luar. Walaupun mereka berjauhan, tapi tetap saja membuat hati Rayena kacau. Sampai detik ini pun Rayena tidak percaya dengan apa yang terjadi pada hatinya.

"Good morning," teriak Janina yang baru saja kembali dari kamar mandi. Gadis itu terlihat sangat senang, entah karena apa. "Air pagi ini dingin banget loh, terus gue keramas deh. Rasanya seger dari ujung kepala sampe ujung kaki," ucap Janina lalu kembali ke tendanya.

Tidak ada yang menyahuti gadis itu, mungkin ia sekadar ingin memberitahu apa yang sedang ia rasakan saja pada ketiga temannya itu.

"Ray, sini cicipin makanannya," pinta Binar.

Rayena dengan berat langkah menghampiri dan duduk di samping Binar. Ia pun mencicipi sup ayam racikan Atlan tadi. Rasanya enak, tidak mungkin masakan Atlan hambar. Namun kali ini Rayena tidak bisa memberikan ekspresi yang berlebihan.

"Udah mateng, Bi? Yuk semuanya makan," teriak Atlan.

Mereka bertujuh pun duduk melingkar dan sudah siap dengan alat makan masing-masing. Tidak ada yang spesial pagi itu, sesekali mereka mengobrol, sesekali menikmati makanan. Namun sikap Rayena ini sangat asing bagi Sera. Gadis itu tidak hanya paling sabar, tapi juga termasuk yang paling peka di antara yang lainnya.

Hampir tiga puluh menit sejak sarapan tadi, mereka mulai berpencar melakukan kegiatan masing-masing. Malik dengan gitar yang baru ia mainkan hari ini, Samudera dengan bukunya, dan Atlan yang sibuk membereskan alat masak milik ibunya. Atlan sangat teliti jika soal begini. Karena ibu-ibu mana yang rela kehilangan alat masak ataupun alat makan miliknya.

Sedangkan yang perempuan masih sibuk membereskan tenda. Binar dan Janina di tendanya, begitupun juga Sera dan Rayena.

"Ray," panggil Sera.

Rayena tidak mengeluarkan satu kata pun, ia hanya menoleh dan menatap Sera seolah bertanya kenapa. Tatapan mata Rayena seperti orang yang sedang sakit hati, pikir Sera. Sebenarnya, Sera sendiri bukan tipe anak yang akan bertanya kenapa kalau seseorang apalagi temannya sendiri seperti sedang memiliki masalah. Sera lebih suka menemani mereka dan membiarkan mereka bercerita padanya begitu saja.

Sera bukan orang yang akan sangat penasaran dengan masalah orang lain, tapi ia siap mendengarkan jika orang itu mempercayai dirinya untuk mendengar cerita mereka. Seperti saat ini contohnya. Rayena terlihat sedih dan kelihatannya sedang tidak mood untuk bicara.

"Everything's gonna be okay," ucap Sera lalu memeluk Rayena yang duduk di depannya.

Rayena tidak bisa menahan air matanya lagi, semalam sudah keluar banyak padahal. Ia sungguh tidak mengerti apa yang sedang terjadi, tapi hatinya tidak bisa bohong. Rayena menangis di pelukan Sera, ia menangis untuk hal yang sama sekali tidak bisa dimengerti.

"Makasih, Ra," lirih Rayena. Sera pun menghapus semua sisa air mata di pipi Rayena lalu menepuk bahu gadis itu kuat-kuat. "Ray, gue nggak tau apa yang bikin lo nangis, tapi inget, nangis itu wajar. Jadi jangan pernah ditahan lagi ya. Satu lagi, lo punya gue. Kalo terlalu sakit nangis sendirian, lo bisa nangis di depan gue," terang Sera.

Mereka kembali berpelukan, hangat. Pelukan Sera sangat amat hangat. Rayena jadi kembali ingat dengan kata-katanya dulu. Sera itu ibarat lem yang mempersatukan mereka semua. Tanpa dirinya, mereka tidak bisa seperti ini sekarang.

"Ra, kayaknya di antara kita semua, lo harus mati paling terakhir deh," ucap Rayena asal.

"Udah selesai nangisnya terus kumat? Obat lo minum," balas Sera dengan kedua alis yang mengerut lalu keluar dari tenda, meninggalkan Rayena yang sudah cukup pulih pagi ini karena dirinya.

Tidak ada siapa-siapa diluar. Ah, Sera pikir pasti teman-teman yang lainnya sedang sibuk membereskan tenda untuk kesekian kalinya. Apalagi tenda Malik, Atlan, dan Samudera. Butuh waktu lama untuk bisa membuatnya terlihat seperti tenda baru yang belum pernah dipakai.

Karena penasaran, ia pun memilih untuk mendatangi tenda mereka satu persatu. Dimulai dari tenda Binar dan Janina. Hal pertama yang ia lihat adalah tendanya sudah rapih dan siap dibongkar. Janina sibuk dengan beberapa tumpukan baju. Gadis itu pasti pusing memilih baju mana yang akan ia pakai untuk pulang.

Binar sendiri, pipi kiri dan kanannya terlihat mengembung seperti hamster yang menyimpan makanannya disana. Ia sedang mencemili roti isi cokelat kesukaannya. Kalau soal makan, Binar memang sedikit, tapi terbilang sering. Tadi saja saat sarapan, ia yang makan paling sedikit.

"Foto-foto yuk, last day nih," ucap Sera sambil duduk di samping Binar.

Kedua pemilik tenda itu pun mengangguk, Janina bahkan menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena tambah pusing memilih baju untuk berfoto.

Tidak mau membuang waktu, Sera pun segera pergi dari sana untuk mendatangi tenda terakhir berisi laki-laki jorok itu. Tanpa berpikir, Sera membuka tenda itu lalu berjongkok di depannya membuat Malik yang sedang bertelanjang dada kaget setengah mati.

Sera tidak menutup mata atau mengalihkan pandangan sama sekali. Wajar jika ia melihat tubuh polos laki-laki bagian atas. Ia juga tidak merasa bersalah sama sekali sudah mengagetkan mereka berdua di dalam sana. Ada Samudera juga, tapi dirinya tidak kaget. Laki-laki itu kan jarang sekali berekspresi, jadi begitulah.

"Siap-siap gih, kita mau foto bentar lagi," ucap Sera.

"Pake baju apa?" tanya Atlan.

"Apa aja, asal pake baju," sindir Sera lalu menjulurkan lidah ke arah Malik. Ucapan Sera itu otomatis membuat Atlan tertawa, begitupun dengan Samudera walaupun dirinya hanya tersenyum tipis. Sera melirik ke arah Samudera yang sudah kembali pada ekspresi datar mode itu lalu menggelengkan kepala.

"Kalo mau ketawa, ketawa aja Sam. Sesuatu yang ditahan-tahan tuh nggak enak," ucap Sera lalu pergi meninggalkan tenda mereka.

Sepuluh menit setelahnya, mereka bertujuh berkumpul di sekitar tumpukan kayu bekas api unggun. Entah kebetulan atau bagaimana, tapi Binar, Samudera, dan Rayena memakai baju bernuansa biru.

"Baju kalian senada sama warna langit hari ini deh, biru-biru kelabu gitu," ucap Janina.

Rayena percaya tidak ada kebetulan di dunia ini. Semua yang terjadi itu sudah dituliskan oleh takdir. Perasaan aneh di hatinya mulai muncul lagi. Ia tidak tahu cara mencegahnya. Rasa itu datang sendiri tanpa diundang.

"Karena kalian bertiga bajunya senada, kalian berlutut di depan ya. Kita berempat berdiri di belakang," usul Janina.

"Oke, yang cowok di tengah ya. Sam lo di tengah berarti," sahut Malik.

Mereka pun sudah berada di posisi masing-masing. Sera di ujung kiri, lalu Atlan di sebelahnya, disusul Malik dan Janina di pojok kanan. Sedangkan Binar dan Rayena berlutut di depan dengan Samudera di tengah-tengah mereka.

Ada dua orang karyawan yang membantu mereka berfoto, satu memegang kamera dan satu lagi membantu mengarahkan. Beruntungnya, sang pengarah ini sudah biasa membantu tamu-tamu yang datang untuk mendapatkan hasil foto yang bagus, terlihat menyenangkan, dan juga cantik.

"Yang di belakang heboh, tapi kalian yang di depan terlalu kaku say. Saling ngerangkul aja deh yuk," pinta sang pengarah.

Mendengar itu, Sera, Atlan, Malik, dan Janina langsung merangkul satu sama lain bahkan dengan ekspresi wajah yang sangat menggambarkan suasana hati mereka yang senang. Berbeda dengan Binar, Samudera, dan Rayena yang terlihat ragu-ragu untuk saling merangkul.

"Sam, ayolah, panas nih," protes Malik.

"Sebentar aja kok, om dokter," sambung Janina.

Akhirnya, sesi foto mereka selesai. Walaupun pasukan foto berdiri tidak bisa berhenti tertawa melihat Samudera yang sangat kaku saat merangkul Binar dan Rayena. Bahkan Malik mengatakan Binar dan Rayena terlihat sedang berfoto dengan robot.

Samudera sama sekali tidak peduli. Ia memilih kembali sendirian ke tenda untuk beristirahat sebentar. Dua jam lagi mereka akan kembali ke rumah. Ini adalah hari yang sangat ia tunggu-tunggu.

"Senar gitar gue kok copot satu?!" teriak Malik sesampainya di tenda.

Suaranya terdengar oleh keenam temannya yang lain dan sepertinya mereka semua satu pikiran. Itu ulah Samudera. Salah sendiri ia tertawa puas di atas penderitaan sahabatnya itu.