Chereads / Airplane Crash / Chapter 6 - A Bittersweet Moment

Chapter 6 - A Bittersweet Moment

"Malik sama Samudera kok udah nyebur aja sih. Kenapa nggak nungguin? Nyebelin banget," protes Janina.

"Lo terlalu princess jalannya, Nin," balas Rayena.

Benar memang, sejak awal Janina dan Atlan selalu jadi yang terbelakang. Walaupun mereka jalan santai, tapi langkah kaki yang lain lebih cepat sedikit daripada dua orang terbelakang itu. Sebenarnya bukan karena apa-apa, mereka berdua itu takut tergelincir ataupun jatuh. Kalau hal itu terjadi akan sangat merepotkan yang lain.

"Bi, ayo sini masuk ke dalam air," teriak Sera.

Malik, Samudera, Sera, dan Rayena sudah masuk ke dalam air. Udara siang hari disana tidak terlalu panas seperti di kota memang, tapi tetap saja jika habis terkena sinar matahari siang bolong paling enak jika menyebur ke air dingin.

Air di curug itu tidak terlalu deras cenderung tenang bahkan. Pas sekali untuk berenang. Binar sendiri masih duduk di atas batu, hanya kakinya yang masuk ke dalam air. Ia pikir tidak baik jika masih berkeringat dan langsung berenang.

Janina dan Atlan menyusul pelan-pelan menyusuri bebatuan yang licin berdua. Kenapa teman-temannya tidak ada yang peduli sih, padahal mereka berdua sama-sama manja dan tidak biasa menyusuri alam.

"Bi, kenapa nggak ikut berenang?" tanya Atlan.

"Masih keringetan," jawab Binar singkat.

Janina dan Atlan pun sama, mereka berdua duduk di samping kiri dan kanan Binar. Menikmati cipratan air terjun yang lumayan deras sudah cukup membuat mereka segar. Andai saja mereka bisa datang sejak pagi, pastinya lebih sejuk lagi dan bisa menghabiskan waktu berjam-jam disini. Sayangnya mereka tidak diperbolehkan berada disana sampai larut. Jam 7 malam paling lambat harus sudah kembali ke tenda.

Setelah cukup lama duduk di atas bebatuan besar, Janina pun siap untuk berenang. Binar dan Atlan sepertinya masih menikmati alam hanya dengan duduk saja.

"Nina baru berenang tuh, isengin yuk," usul Sera.

"Gimana caranya?" tanya Malik.

Disaat Sera dan Malik sibuk berbisik menyusun rencana untuk menjahili Janina, Rayena berenang ke arah air terjun. Ia belum pernah sebelumnya berada persis di bawah air terjun. Niatnya hanya ingin merasakan sensasinya, tapi ia tidak tahu kalau Samudera sudah lebih dulu ada disana.

"Ngapain sih kesini?"

"Gue nggak tau ya kalo lo ada disini. Lagian kenapa sih? Gue ganggu ritual lo?"

Samudera melirik Rayena sekilas tanpa menggubris pertanyaan temannya itu. Ia kembali memejamkan matanya. Entah apa yang ia lakukan, tapi terlihat seperti orang yang sedang bertapa. Rayena pun memaklumi, sepertinya Samudera memang butuh disiram ribuan liter air agar semua kesialan dan keburukan yang menempel di tubuhnya lenyap.

"AAAAAAAAH!"

Teriakan itu otomatis membuat semua mata tertuju padanya. Tidak ada orang lain disana selain mereka. Karena saat mereka datang, orang-orang sudah bersiap kembali ke tenda. Ada untungnya memang, mereka jadi memiliki privasi.

"Siapa sih, Sam?" tanya Rayena.

Samudera hanya menggeleng, tapi kali ini wajahnya menunjukkan ekspresi penasaran. Begitu juga dengan Binar dan Atlan yang masih duduk di atas bebatuan pun ikut panik. Beda halnya dengan Sera dan Malik yang justru tertawa puas karena berhasil menjahili Janina.

Benar, mereka berdua yang sedaritadi sibuk menyusun skenario terbaik namun tidak membahayakan untuk Janina berhasil dengan misinya. Janina tidak bisa berhenti berenang saat sudah masuk ke dalam air. Malik mengikuti dari belakang perlahan, berenang lebih dalam. Ia memanfaatkan kesempatan saat Janina sedang asyik mengambang dengan posisi menghadap ke langit. Lalu saat Malik merasa waktunya sudah tepat, ia menarik kaki Janina hingga tubuh temannya itu masuk ke dalam air sepenuhnya.

Sera tidak diam saja, dia berada di dalam air dan langsung memeluk Janina lalu membawanya ke permukaan air. Tentu saja agar gadis manja itu tidak panik berlebihan. Jujur, Sera dan Malik merasa sangat senang, tapi melihat Janina yang menangis kencang membuat mereka panik setengah mati.

Rayena tidak mau diam saja, hal seperti ini ia rasa perlu diluruskan. Ia segera beranjak dari bawah air terjun, hendak berenang menuju teman-temannya itu. Namun kakinya terantuk batu sehingga ia hampir saja tergelincir. Untung saja respon Samudera bagus, laki-laki itu segera menarik tangan Rayena dan membawa gadis itu ke pelukannya. Tidak sengaja memang, itu hanya refleks.

Kedua mata mereka beradu, hanya beberapa detik, tapi sukses membuat jantung Rayena berdetak lebih cepat. Dengan cepat Samudera melepas pelukan mereka dan berenang lebih dulu menuju tepi. Rayena sendiri masih kaget, jika tidak ada Samudera tadi, bisa saja kepalanya terantuk batuan besar dan berdarah.

"Ceritain sejelas-jelasnya," pinta Atlan saat mereka semua sudah duduk melingkar di atas batuan besar, tidak jauh dari air.

"Sera, dia yang punya ide," jawab Malik.

"Tapi lo yang ngusulin buat narik kaki Nina, kan?" balas Sera tidak mau kalah.

"Udah, udah. Gini aja, intinya kalian salah. Gue nggak bisa bilang keterlaluan, tapi kalian harusnya mikir resikonya. Nina mungkin bukan orang yang pas buat dikerjain kayak tadi," jelas Rayena.

"Bener tuh," ucap Atlan sambil menepuk-nepuk bahu Janina yang bersender padanya.

"Gue minta maaf ya, Nin. Maaf banget," ucap Sera. Ia berusaha menggenggam tangan Janina, tapi gadis itu menolak. Sera semakin merasa bersalah dan takut. Biasanya Janina terkenal mudah memaafkan, tapi kali ini tidak. Mungkin benar, Sera dan Malik sudah keterlaluan.

Malik sendiri menunduk, melihat Sera yang ditolak permintaan maafnya membuat dirinya semakin takut. Ia bahkan tidak berani membuka mulut untuk sekadar mengucapkan maaf. Astaga, pengecut sekali sih dirimu Malik.

"Minta maaf cepetan," bujuk Sera.

Lagi-lagi Malik menggeleng, melihat mata Janina pun ia tidak berani. Setelah dipikir-pikir, ia memang keterlaluan. Ia jadi kembali mengingat masa lalu dimana Janina tidak pernah menyukainya sebagai anak pembantu. Seharusnya memang dari dulu Malik tidak boleh melewati batas. Ia tidak pantas berteman dengan Janina yang jelas-jelas adalah putri tunggal dari majikan sang ibu.

"Kenapa diem aja? Nggak berniat minta maaf? Nggak berniat nanyain gue baik-baik aja apa enggak? Gitu?" tanya Janina dengan nada tinggi.

"M-maaf, Non. Saya nggak sengaja," ucap Malik sambil terisak.

Semua orang disana mengalihkan pandangan mereka pada Malik. Sera yang duduk di sebelahnya pun langsung memeluk Malik dari samping. Non? Saya? Itu panggilan Malik untuk Janina dulu. Kenapa ia memakainya lagi sekarang?

Memori di dalam otak Malik kembali memutar disaat ibunya direndahkan oleh orangtua Janina. Walaupun Janina sendiri tidak pernah berlaku seperti itu, tapi gadis itu tetap angkuh dulu. Rasa trauma dalam diri Malik seperti datang kembali. Apalagi kali ini ia berbuat salah pada Janina.

"Malik, jangan nangis, udah-udah," bujuk Sera.

Tidak ada yang berbicara sama sekali, lebih tepatnya mereka bingung. Belum pernah Malik menangis di depan teman-temannya. Hal itu membuat yang lain bingung harus melakukan apa.

"Lik, maaf. Gue terlalu kasar ya? Gue kelepasan," cicit Janina.

Tidak lama setelah Janina berbicara, Malik kembali menegakkan kepalanya lalu menghapus air matanya yang mungkin mengalahkan derasnya air terjun.

"Gue cuma keinget pas orangtua lo ngebentak ibu gue, Nin," lirih Malik.

Janina tertegun. Ia merasa sangat bersalah, tapi mau bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur.

"Gue ngerasa sedih, ngerasa derajat gue sama ibu gue rendah banget," sambungnya.

Tidak ada yang membuka suara, suasana begitu hening. Hanya ada suara alam yang terdengar di telinga mereka. Rasa bersalah Janina yang membesar, rasa sesak di dada Malik yang semakin menjadi-jadi membuat suasana menjadi tidak enak.

Rintikan air hujan yang mulai turun, membuat Binar tersadar dari lamunannya. Ia sangat perasa, ia akan menangis jika melihat orang lain menangis, ia akan tertawa jika melihat orang tertawa. Kali ini ia harus mengungkapkan isi hatinya.

"Teh pahit kalo ditambah gula yang banyak bakal jadi manis," ucap Binar yang membuat semua mata menatap matanya bingung.

"Kalo kalian ngerasa hidup kalian pahit, itu wajar, tapi harusnya nggak didiemin gitu aja. Kalian mestinya nambahin gula yang banyak biar jadi manis," jelasnya lagi.

Tidak ada yang membalas perkataan gadis yang langsung tersenyum manis saat sudah menyelesaikan kalimatnya itu. Seakan-akan mereka semua paham apa yang dikatakan Binar. Semua orang pasti memiliki masa pahit dalam hidupnya. Kepahitan itu bukan untuk didiamkan begitu saja, tapi seharusnya dikubur dengan hal-hal yang manis. Bagaimana caranya? Memperbaiki diri, memaafkan orang lain, bersyukur, dan berjuang bisa menjadi solusi terbaik untuk mengubur kepahitan itu dalam-dalam.