Chereads / Airplane Crash / Chapter 5 - Hectic Morning

Chapter 5 - Hectic Morning

Hari ini merupakan hari terakhir bagi tujuh sekawan itu tinggal, di salah satu tempat camping paling terkenal di Bogor, yaitu D'Jungle Private Camp. Mereka hanya tinggal dua malam, untuk itu hari ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Berbeda dengan kemarin, mereka baru sampai saat matahari sudah mulai tenggelam di ujung barat.

Mereka membangun tenda berjam-jam karena tidak ada yang berpengalaman, mencari kayu bakar, dan juga memasak. Sebenarnya mereka tidak perlu repot-repot menyiapkan hal itu, tapi mereka sepakat untuk meminta pihak yang terkait tidak menyediakan keperluan mereka. Mereka ingin merasakan camping yang sesungguhnya dengan menyiapkan semuanya sendiri.

Tidak ada yang spesial untuk mereka selain bercerita tentang masa lalu sambil mengelilingi api unggun dan memandangi jutaan bintang yang menghiasi langit malam. Karenanya, mereka bertekad untuk bangun pagi keesokannya dan memulai aktivitas seperti hiking ke Curug Kembar dan juga mengikuti outbound.

Namun ekspektasi tidak bisa sesuai dengan realita. Karena sudah lama tidak sekolah, mereka jadi jarang sekali bangun pagi bahkan sudah tidak pernah lagi. Kebiasaan itu juga terbawa sampai hari ini. Matahari sudah lama bangun, tapi ketujuh sekawan itu belum juga.

Beruntungnya, Sera tidak mematikan ponselnya dan mendapat telepon pagi itu. Awalnya ia kesal mengapa di dunia ini masih saja ada orang yang suka menelepon orang lain pagi-pagi. Namun ternyata itu adalah telepon penting dari asrama yang akan ditinggalinya nanti. Setelah melihat layar ponsel, ia pun buru-buru bangun dan menjawab telepon itu.

Sekitar sepuluh menit lamanya, sambungan telepon mereka akhirnya terputus. Awalnya Sera berniat tidur kembali, tapi matanya langsung membelalak keluar ketika melihat jam di layar ponselnya yang sudah menunjukkan pukul 11 siang.

Dengan cepat ia membangunkan Rayena, walaupun tidak ada pergerakan sama sekali dari teman satu tendanya itu. Karena tidak direspon, Sera memilih keluar untuk membangunkan yang lain. Betapa terkejutnya Sera ketika melihat Samudera sudah bangun dan sedang asyik meneguk teh hangat dengan buku bacaan di tangannya. Astaga, apa Sera harus merusak bukunya lagi?

Sera pikir mengapa Samudera tidak membangunkan yang lain kalau dia sudah bangun lebih dulu sejak tadi. Orang itu benar-benar tidak bisa dimengerti.

"Sam, udah bangun dari jam berapa?" tanya Sera kesal. Dari nadanya, Samudera tahu kalau Sera sedang berusaha menahan emosi, tapi ia tahu Sera itu salah satu penyabar yang paling sabar. Namun jika berhadapan dengan Samudera, tidak bisa dipastikan apakah kesabaran itu akan tetap ada atau tidak.

"Dari jam 7," jawab Samudera singkat tanpa menoleh sedikitpun.

"Lo tau kan kita harusnya hiking jam 8?"

Samudera hanya mengangguk singkat lalu tidak menggubris sama sekali. Sera sudah terlanjur kesal. Pagi ini harusnya ia terbangun dengan suasana hati yang senang, tapi ini malah sebaliknya. Ia memutuskan untuk masuk ke tenda milik Binar dan Janina. Ah, dua orang itu sama saja. Tubuh keduanya sama-sama masih terbalut dengan sleeping bag.

"Bi, Nin, bangun yuk. Kita kesiangan. Ini udah jam 11," ucap Sera lemas seolah sudah kehilangan tenaga dan semangat.

Pergerakan mulai muncul dari keduanya, butuh waktu lebih dari lima menit untuk membuat mereka bangun dan duduk. Sera masih disana, menceritakan apa yang terjadi membuat Janina kesal. Binar, seperti biasanya merasa bersalah karena ia bangun terlambat.

"Ih kenapa sih si Sam itu? Maunya apa coba? Tau gitu mending dia nggak usah ikut aja daripada bikin kita semua emosi," oceh Janina.

Setelah mengumpulkan niat, akhirnya mereka bangun dan keluar dari tenda. Janina memilih membangunkan Atlan dan Malik dengan suara teriakannya. Tidak peduli mereka berdua sakit kuping dan kepala yang penting mereka harus bangun. Sera sendiri kembali ke tendanya dan membangunkan Rayena yang posisinya masih sama seperti semalam.

Binar sendiri, ia tidak tahu harus apa selain menyiapkan alat-alat dan bahan-bahan masakan. Agar ketika Atlan bangun nanti, ia bisa langsung memasak sarapan sekaligus makan siang.

Mata Binar tidak fokus pada bahan-bahan masakan saja, ia sesekali melirik ke arah Samudera yang asyik membaca buku di samping tendanya. Binar ingin meminta bantuan untuk mengambilkan air, tapi tidak memiliki keberanian sama sekali. Yang Binar tahu, Samudera tidak pernah menyukai kehadirannya. Hal itu tidak membuat Binar sakit hati, ia hanya takut.

"Bi, kok nyiapin sendirian?" tanya Atlan yang baru saja dipaksa keluar dari tenda oleh siapa lagi kalau bukan Janina.

"Nggak papa," jawab Binar seadanya.

Atlan langsung melihat ke arah Samudera yang asyik dengan dunianya sendiri. Janina dan Malik pun sama dengan Atlan, rasanya kesal sekali melihat makhluk dingin itu.

"Kenapa sih dia nggak ada bantunya banget," protes Janina.

"Udah lah, emang gitu anaknya. Nggak usah dipikirin, mending kita masak bantuin Binar sama Atlan," balas Malik.

Setelah hampir tiga puluh menit, masakan mereka akhirnya selesai. Mereka semua juga sudah membersihkan diri. Diawali dengan Sera dan Rayena, kemudian Binar dan Janina, terakhir Malik dan Atlan. Mereka saling bahu membahu bergantian memasak dan menyiapkan alat makan. Menyiapkan apa saja yang akan mereka bawa untuk hiking, mengisi persediaan air dan mengumpulkan kayu bakar untuk nanti malam. Karena mereka pikir tidak akan sempat lagi jika dilakukan sepulang dari curug.

Samudera sendiri, dia membantu, tapi hanya karena dimintai tolong oleh Malik. Selebihnya ia hanya membaca buku. Tidak tahu hati dan pikirannya terbuat dari apa, tapi begitulah Samudera.

Waktu sudah menunjukkan pukul 12.45, saatnya mereka berangkat. Rencana awal, jam segini itu harusnya mereka sudah kembali dari curug untuk makan siang. Realitanya mereka baru akan berangkat. Hiking di siang bolong seperti ini sepertinya akan menguras tenaga dua kali lipat. Belum lagi mereka butuh banyak air, jadi bawaan mereka bertambah.

Ah, tidak ada orang lain yang patut disalahkan kecuali Samudera. Mungkin isi pikiran mereka sekarang sama, ingin menghujani si manusia dingin itu dengan kata-kata hujatan. Namun ada pengecualian untuk Binar, gadis itu tidak pernah menyalahkan orang lain. Ia justru menyalahkan diri sendiri karena tidur terlalu pulas.

"Capek ih, baru juga lima belas menit jalan," eluh Janina.

"Jangan buru-buru makanya," sahut Atlan yang berjalan paling belakang.

"Gimana nggak buru-buru sih? Kita aja kesiangan," balas Rayena sambil melihat Samudera sinis.

Samudera lalu mengalihkan pandangannya dan berjalan mendahului Rayena. Ia lebih memilih untuk menyusul Malik di depan sana. Satu-satunya orang yang mungkin bisa mengerti dirinya walaupun tidak sepenuhnya.

"Santai aja deh, jangan buru-buru. Kalo kayak gini kita tuh seakan-akan dikejar waktu," ucap Sera.

"Terus?"

"Nikmatin aja perjalanannya. Nggak usah ngejar waktu yang kenyataannya nggak bisa berhenti," jawab Sera.

"Bener sih, pemandangannya daritadi indah banget, tapi kita malah sibuk ngeliat ke depan biar buru-buru sampe," balas Atlan.

Setelah mulai tenang, mereka semua berjalan santai menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Melewati sungai, berjalan di pinggir hutan. Tidak jarang banyak yang terpeleset karena licin, maklum saja semalam hujan turun sangat deras.

Lelah mulai hilang ketika mata mereka melihat Curug Kembar yang berada tidak jauh dari pandangan. Sebentar lagi sampai dan ini saatnya mereka bersenang-senang. Tidak ada lagi yang memikirkan waktu yang terus berjalan. Mereka akan menikmati alam biarpun langit akan menggelap nantinya. Mereka memang tidak memikirkan waktu, tapi mereka memanfaatkannya sebaik mungkin.