Chereads / Airplane Crash / Chapter 4 - A Promise

Chapter 4 - A Promise

"By the way, kita belom pernah liburan bareng loh," ucap Janina.

"Sekarang kan lagi liburan bareng," jawab Sera.

"Maksudnya yang beneran liburan, nginep di hotel, kulineran, pergi ke theme park, gitu loh," jelas Janina.

"Masalahnya di waktu aja sih, jadwal kita kan udah beda-beda karena nggak satu sekolah kayak dulu," sahut Rayena.

"Gimana kalo tahun depan? Jadi kita tahun baru barengan," usul Binar.

"Boleh tuh, sekalian bisa nabung kan dari sekarang," jawab Malik.

Setelah berunding, mereka bertujuh sepakat untuk pergi berlibur menyambut tahun baru di Singapura. Binar mendapat beasiswa disana jadi pastinya ia harus tinggal sampai lulus nanti. Pertimbangan ini diambil karena sebagian dari mereka pengin sekali berlibur ke luar negeri, selain itu Singapura juga dekat tidak memakan waktu lama saat naik pesawat jadi tidak akan tua di jalan.

"Jadi sepakat Singapur nih tahun depan?" tanya Atlan yang disetujui keenam yang lainnya.

"Iya, janji deh," balas Janina.

Masih ada satu tahun lagi, tapi Janina sudah heboh memikirkan outfit dan barang-barang apa yang akan ia bawa nanti. Sedikit terdengar norak memang, tapi Janina memang seperti itu. Walaupun orangtuanya kaya raya, Janina jarang diajak berlibur karena alasan ayah dan ibunya terlalu sibuk dan tidak punya waktu untuk berlibur.

Lain halnya dengan Malik, ia sepertinya tidak tega jika membiarkan ibunya sendirian bekerja sedangkan dirinya asyik berlibur walaupun hanya satu minggu. Maklum saja, dirinya dan sang ibu belum pernah menginjakkan kaki di luar negeri. Bahkan untuk luar kota saja, ibunya belum pernah. Tapi ini liburan dengan teman-temannya, pasti ibunya akan mengerti, pikir Malik. Ia hanya tidak tega bersenang-senang disaat ibunya harus banting tulang bekerja.

Kalau Sera sendiri, ia lebih pusing memikirkan budget. Mulai minggu depan, ia akan tinggal di asrama khusus penerima beasiswa di Jakarta. Gratis, tentu saja. Namun untuk uang jajan, Sera terpaksa harus mencari sendiri. Dari kemarin, setelah kelulusan ia sibuk mencari pekerjaan sampingan untuk mendapatkan uang jajan. Sera sendiri tidak boros, ia rajin menyisihkan uangnya untuk ditabung. Satu tahun lagi, Sera pikir waktu yang cukup lama untuk menabung jadi tidak ada alasan baginya untuk tidak ikut liburan bersama yang lain.

Untuk Atlan, yang ia pikirkan hanya satu. Mendapatkan izin untuk pergi ke luar negeri tanpa ditemani ibunya. Atlan itu adalah anak tunggal kesayangan kedua orangtuanya. Dia sangat dimanja, bahkan sebelum tidur pun harus memeluk ibunya kalau tidak nanti pasti mimpi buruk akan mampir mengganggu tidurnya.

Rayena dan Samudera, bukan tipe anak yang akan senang jika hendak pergi berlibur. Kalaupun sehari-hari hanya di rumah saja, itu sangat biasa untuk mereka. Anak rumahan, tentu saja. Sebenarnya Rayena senang bisa bepergian dengan teman-temannya, tapi ia belum tentu berenergi saat sedang berlibur nanti. Sama halnya dengan Samudera yang lebih menyukai rumah, bepergian belum tentu menyenangkan. Energi anak rumahan itu berbeda sekali, pastinya.

Binar sendiri, tidak perlu repot-repot membeli tiket pesawat. Namun itu juga kalau orangtua angkatnya tidak menyuruhnya untuk pulang. Orangtua Binar pernah bilang bahwa putri mereka harus pulang jika liburan tiba. Jadi mungkin Binar akan pulang sebentar, lalu berangkat berlibur bersama teman-teman yang lain dari Jakarta. Tidak menutup kemungkinan akan seperti itu.

Setelah hampir tiga jam mereka duduk mengelilingi api unggun yang mulai padam karena gerimis, mereka pun memutuskan untuk kembali ke tenda. Atlan, Malik, dan Samudera tidur di satu tenda yang sama. Binar dan Janina di tenda yang berada di tengah, sedangkan Sera dan Rayena di tenda yang paling dekat dengan jalan pintas menuju hutan.

Angin malam itu semakin dingin ditambah gerimis yang mulai menderas. Sera dan Rayena memilih menghangatkan diri dengan meminum secangkir kopi berdua, kalau masing-masing satu dipastikan mereka akan kesulitan tidur.

"Ray, nggak seneng ya mau liburan?" tanya Sera.

Rayena masih sibuk meniupi kopi yang masih mendidih itu pun mengelak, "Happy kok, asal sama kalian."

"Gue tau Ray, lo sama Sam tipe anak yang nggak suka pergi-pergian gitu. Camping gini aja kita mesti minta tolong mamanya Sam buat bujukin dia biar mau ikut."

"Aneh banget emangnya ya orang yang nggak suka liburan?"

"Aneh dimata orang yang hobinya liburan iya, tapi buat gue biasa aja sih, Ray."

Rayena mengangguk singkat sambil tersenyum lalu meneguk kopinya yang mulai menghangat. Ia lalu memberikannya pada Sera, "Abisin ya Ra, gue ngantuk. Tidur duluan ya." Rayena pun sibuk memakai sleeping bagnya lalu tertidur. Sera sendiri melihat mug yang ia pegang, kopinya masih 3/4 gelas. Ia tidak mungkin menghabiskannya sendiri.

Sera akhirnya meneguk kopinya dan menyisakannya sedikit. Ia keluar dari tenda bermaksud untuk membuang kopinya, tapi matanya malah tidak sengaja bertatapan dengan mata Samudera.

"Kok keluar lagi?" tanya Sera.

"Malik sama Atlan tidurnya berisik," balas Samudera seadanya.

"Kalo nggak mau berisik, tidur sama Rayena tuh. Dia kalo tidur diem, nggak gerak udah gitu nggak bersuara sama sekali," jelas Sera sambil membersihkan mug bekas kopi miliknya.

"Nggak percaya," decak Samudera.

"Kalo belom pernah coba ya nggak bakal tau lah, Sam," ledek Sera.

"Jangan cari gara-gara deh Ra. Gue juga belom maafin lo soal buku yang lo rusak tadi sore," tegas Samudera sambil berjalan kembali ke tenda.

Sera diam seribu bahasa, mengingat apa yang ia lakukan pada Samudera sangat mencoreng martabatnya sebagai perempuan paling sabar di dunia. Bagaimana cara Sera minta maaf pada laki-laki dingin itu? Astaga, bodoh sekali sih dirimu, pikir Sera.

Setelah beres dengan mugnya, Sera tidak langsung kembali ke tenda. Ia sempat mengecek api unggun yang kayu bakarnya sudah mulai basah. Kalau sampai mati, ia dan teman-temannya pasti akan kedinginan sepanjang malam. Sera berusaha mengakali agar api itu bisa menyala besar lagi, tapi kemungkinan tengah malam akan hujan jadi percuma saja.

Ditengah-tengah Sera sedang berpikir, ia mendengar sebuah suara dari pohon-pohon di dalam hutan sana. Tidak ada binatang buas disini, tempat ini sudah sering sekali dipakai camping. Sera berdiri dan sedikit menjauh dari api unggun, ia berjalan ke belakang tendanya. Ia menggunakan senter untuk melihat ke dalam hutan. Tidak ada sesuatu yang mencurigakan, pikirnya. Untuk itu Sera memilih kembali ke dalam tenda.

Namun baru beberapa langkah, kakinya terhenti. Seekor burung kecil terbang rendah diatasnya. Ada darah menetes juga yang bahkan mengenai jaket yang dipakainya. Burung malang itu akhirnya jatuh ke tanah. Hati nurani Sera mengatakan bahwa ia tidak bisa meninggalkan burung yang terluka itu sendirian, tapi bagaimana cara mengobatinya? Sera benar-benar tidak paham dengan pertolongan pertama pada binatang.

Satu-satunya yang Sera tahu bisa dimintai bantuan adalah Samudera, tapi sepertinya tidak mungkin.

"Jangan cari kesibukan kenapa sih, ini udah malem," ucap Samudera yang membuat Sera kaget setengah mati.

"Sam, astaga. Tolong obatin ya, kasian. Kayaknya ada pemburu ilegal gitu deh salah manah burung," jelas Sera.

"Jangan sok tau," balas Samudera lalu mengambil burung yang jatuh di tanah itu.

Sera memperhatikan Samudera yang begitu telaten merawat burung malang itu. Tangannya begitu cekatan memegang alat-alat P3K, seperti ahli bisa dibilang.

"Pengen jadi dokter ya?"

Samudera mengangkat kepalanya, menatap Sera sebentar lalu berkata, "Gue kayak gini karena udah terlanjur janji sama nyokap bakal jadi orang baik. Karena gue bingung orang baik itu kayak apa jadi gue pikir pake kemampuan gue buat hal-hal kayak gini itu juga termasuk berbuat baik."

Sungguh, baru kali ini Sera memiliki rasa kagum pada laki-laki di depannya. Samudera memang terkenal dingin dan cuek, tapi ternyata jauh di lubuk hatinya, ia menyembunyikan kehangatannya seorang diri.