Chereads / Airplane Crash / Chapter 2 - Lie Under The Stars

Chapter 2 - Lie Under The Stars

"Nggak kerasa ya kita udah selesai sekolah," ucap Sera.

"Hampir 15 tahun berarti kita ngabisin waktu di sekolah," sahut Atlan.

"Kalian pernah mikir nggak sih, kita tuh sekolah buat apa?" tanya Rayena.

Samudera yang awalnya menatap api unggun yang mulai menyala semakin besar mengalihkan pandangannya ke samping, tepat ke wajah Rayena. Ia pikir pertanyaan barusan itu sangat bodoh.

"Kalo nggak sekolah, lo mau jadi apa, Ray?" balas Samudera.

"Sebenernya ya, sekolah bukan cuma buat dapetin ilmu doang tau. Sekolah tuh tempat kita kenal sama orang lain, bersosialisasi. Bener, kan?" jawab Sera.

"Iya, sih. Lagian banyak juga orang nggak sekolah bisa sukses. Tapi kita termasuk beruntung bisa sekolah," balas Janina.

"Udah, udah. Nggak usah bahas gituan. Mending kita throwback aja ke masa waktu kita pertama kali ketemu, gimana?" usul Malik.

Binar tersenyum lebar, memamerkan gigi rapihnya lalu mengangguk berkali-kali. Ia paling suka sekali mendengarkan orang bicara. Sebenarnya bukan mendengar, tapi membaca mulut. Dari kecil, Binar sudah biasa dengan hal seperti itu. Ia terlatih untuk cepat dalam membaca mulut lawan bicaranya. Jadi, ia bisa tahu apa yang dikatakan orang lain walaupun ia tidak bisa mendengar.

Kalau orang lain menatap lawan bicaranya dengan mata, lain halnya dengan Binar. Jika Binar menatap mata lawan bicaranya, maka ia akan kesulitan memahami kalimat apa yang dilontarkan orang itu. Tapi syukurlah, orang-orang yang sudah mengenalnya mengerti kondisi Binar.

"Kalo gue sama Binar, jelas-jelas kita udah kenal sejak bayi. Kalo sama kalian, ada yang dari smp ada juga yang pas sma," ucap Sera.

"Kalo gitu, lo duluan deh yang cerita, kita dengerin," balas Janina sambil merebahkan badannya.

"Kok lo rebahan sih, mager amat," sahut Malik.

"Enakan gini tau, sambil liatin bintang. Liat tuh ke langit, jarang kan di kota kita liat bintang bertebaran kayak gitu," jelas Janina.

Sera, Binar, Malik, Rayena, Atlan, dan Samudera pun mengikuti jejak Janina. Mereka semua merebahkan badannya di tempat masing-masing. Dengan pemandangan sejuta bintang di langit dan api unggun di tengah-tengah mereka yang mampu menghangatkan malam yang cukup dingin itu.

Dimulai dari Sera, ia menceritakan kisahnya dulu saat tinggal di panti asuhan. Binar sendiri, ia menghadap ke samping untuk membaca mulut Sera. Sang pencerita pun paham, ia kemudian menghadap ke samping. Sera dan Binar, saling berhadapan. Binar ingin tahu cerita Sera, untungnya sang pencerita sangat pengertian.

Sera pikir, ia tidak peduli jika tidak melihat jutaan bintang saat bercerita. Menurutnya, Binar dan Bintang itu sama saja, sama-sama cantik. Mungkin itu sebabnya ibu asuh mereka menamai Binar dengan nama itu. Melihat mata Binar yang berbinar-binar seperti bintang, mungkin itu alasannya.

Sera dan Binar tinggal di panti asuhan yang sama sejak bayi. Mereka menjalani masa kecil bersama, tumbuh bersama, juga belajar bersama. Semuanya mereka lakukan berdua, tapi suatu saat tepat satu hari setelah ulang tahun Binar yang kesepuluh, sepasang suami istri datang untuk mengadopsinya.

Pilihan mereka tepat, Binar adalah anak paling baik, penurut, penyayang, juga pintar. Ia juga bisa dibilang sangat cantik dengan dagu runcing dan mata yang bulat bersinar. Siapa yang tidak suka dengan anak itu? Tentu tidak ada.

Binar berusaha menolak, ia menangis. Tentu saja Binar tidak mau meninggalkan Sera sendirian. Ia mau bersama-sama sahabatnya itu selamanya, tapi takdir berkata lain. Mereka harus dipisahkan bahkan disaat mereka masih terbilang anak-anak.

Sera sendiri tidak diam saja, ia terus membujuk Binar agar mau diadopsi. Sejak dulu, Sera tahu Binar ingin sekali memiliki orangtua. Mungkin sekarang waktunya tiba. Sera pernah berjanji pada Binar waktu itu kalau mereka masih bisa bertemu, walaupun tidak tinggal satu rumah. Kenyataannya memang benar, mereka tetap satu sekolah bahkan sampai lulus SMA. Dan nyatanya, mereka saat ini bukan hanya berdua saja, tapi bertujuh.

"Lo pasti nangis kan Ra malem-malem pas Binar udah gak tinggal sama lo lagi," potong Janina disela-sela Sera bercerita.

"Pasti lah, kalo nggak nangis berarti gue nggak sayang sama Binar," jawab Sera.

"Ya udah, sekarang cerita gimana kalian berdua ketemu sama si cungkring," pinta Atlan.

Hampir saja Malik ingin melempar kayu dari salah tumpukan kayu bakar ke perut melendung milik Atlan, tapi tertahan karena Rayena berbaring di antara mereka.

"Ah, kalo ceritain Malik, gue jadi nggak enak deh ih," lirih Janina.

Tidak lain karena Janina yang lebih akrab disapa Nina itu dulu tidak pernah bersikap baik pada Malik. Nina dan Malik tinggal satu rumah, bukan karena mereka saudara. Malik bukan apa-apa di mata Nina karena laki-laki itu adalah anak dari salah satu maid di rumah mewahnya. Nina selalu bersikap buruk, merasa dirinya adalah anak orang kaya yang bisa melakukan segala hal semau dirinya. Tidak ada kata menghormati sesama yang ia anggap lebih rendah dari dirinya, tapi untungnya Tuhan cepat menegur Nina sampai ia bisa menjadi seperti sekarang.

Sera dan Binar berteman dengan Malik saat memasuki tahun kedua di sekolah menengah pertama. Saat itu, Sera membela Malik habis-habisan lantaran laki-laki itu menjadi korban bully. Sejak itu, mereka semakin dekat dan menjadi akrab. Kemana-mana selalu bertiga, Malik juga selalu melindungi Sera dan Binar karena mereka berdua perempuan. Ia pikir, itu sudah menjadi tanggung jawab setiap laki-laki, melindungi, menjaga, juga menghormati setiap perempuan.

Suatu hari, Sera dan Binar mengunjungi tempat tinggal Malik karena dia sudah tiga hari tidak masuk sekolah. Malik bilang dirinya sakit dan akan sembuh dalam beberapa hari. Namun tetap saja, Sera dan Binar khawatir dengan kondisinya. Tapi satu hal yang membuat Sera dan Binar terkejut ketika sampai di rumah Malik adalah rumah itu sangat mewah. Padahal Malik selalu ditindas karena dirinya terbilang sangat miskin.

Sera dan Binar tentu belum tahu, kalau rumah mewah tempat tinggal Malik yang tertera dalam identitas dirinya di sekolah itu adalah rumah milik orangtua Janina. Saat itu mereka belum saling kenal, pastinya karena beda sekolah. Janina juga tidak mungkin bersekolah di sekolah biasa tempat Sera, Binar, dan Malik menimba ilmu.

Seiring berjalannya waktu, Sera dan Binar sering datang berkunjung. Entah itu hanya untuk main atau mengerjakan tugas bersama. Tempat tinggal Malik jelas tidak bersatu dengan Janina. Ia, ibunya, dan pekerja lain ditempatkan di satu paviliun sederhana di halaman belakang rumah.

Saat tiba waktunya mereka akan mengikuti ujian kelulusan, mereka memutuskan untuk belajar bersama di paviliun itu. Janina, gadis itu terus mengintip dari kejauhan. Malik tahu, ada yang tidak beres dengan anak dari majikan ibunya itu. Ia mengumpulkan keberanian untuk bertanya pada Janina, walaupun sebenarnya ia tidak layak untuk tahu.

Janina awalnya tidak enak, tapi ia sedih melihat persahabatan mereka yang luar biasa. Senyum tulus yang terpancar dari wajah mereka terlihat begitu sempurna. Dari situ Janina merasa sadar. Semua yang ia miliki selama ini hambar tanpa adanya kebahagiaan. Teman-teman sekolahnya selama ini hanya memakai topeng, ayah dan ibunya juga hanya bekerja, tidak pernah memikirkan dirinya. Janina sedih, sangat sedih.

Mulai dari situ, Janina mulai bergabung bersama mereka bertiga. Entah itu untuk belajar bersama, atau sekadar main saja. Dengan mereka, Janina bisa mengerti apa itu bahagia dan bagaimana mewujudkannya.

Satu kalimat Malik yang selalu Janina ingat, "Tujuan hidup kita bukan buat nyari harta, tapi kebahagiaan. Karena kebanyakan orang bertahan hidup ya karena mereka bahagia bukan karena mereka banyak uang."