Chereads / Blue Aloe / Chapter 36 - 35 - Dried Flower III

Chapter 36 - 35 - Dried Flower III

"Woah!" Rei dikejutkan dengan keberadaan BJ yang tiba-tiba muncul di dapur rumah lantai bawah.

Malam itu sudah pukul 12 malam. Semua alat penerangan sudah dimatikan, termasuk area pesta di halaman belakang. Jika sudah gelap-gelapan begini, beberapa anak-anak pasti sudah pulang atau mereka telah masuk ke ruang kerja Rei untuk tidur ataupun mengobrol.

Ketika anak muda bersama-sama di tempat yang sama pada malam hari, tidak mungkin suasananya tenang. Pasti ada kegaduhan di sana.

Dan Rei membiarkan mereka untuk bersenang-senang.

BJ menengok ke sebuah pintu karena mendengar teriakan perempuan dari sana. Suaranya kecil dan cempreng, seperti anak yang manja.

"Itu suara Clafita. Ada beberapa perempuan menginap di sini."

"Oh. Apakah tak apa-apa?" tanya BJ sedikit khawatir.

"Tentang apa? Mereka hanya bermain-main saja. Mungkin bermain monopoli. Clafita tidak begitu pantai memainkannya dan sering kalah, dan suka begitu juga kalau dicurangi."

BJ tak yakin kalau itu hanya bermain-main saja. Baginya, tidak ada yang namanya 'tidak terjadi apa-apa' ketika laki-laki dan perempuan dijadikan satu ruang.

"Kau ingin bergabung dengan mereka? Ada Jason juga di sana." Kata Rei.

Rei baru saja kembali dari mengantarkan Keiza pulang. Dia menyelinap ke dapur untuk mengambil minuman sebelum menemui beberapa temannya yang berada di ruang kerjanya.

"Tidak perlu." BJ langsung membalasnya. Terlihat bahwa BJ merasa kurang nyaman.

"Rin sudah tidur?"

"Ya. Setelah meminum obatnya, dia langsung tidur sambil tersenyum."

Itu terdengar konyol.

"Serius?!" Rei memang tak percaya mendengarnya. Memangnya kembarannya itu putri tidur?

BJ hanya mengangguk.

"Dia suka menutupi wajahnya saat tidur jika ada seseorang di dekatnya. Dan kau melihatnya tersenyum?" Rei menggeleng-gelengkan kepalanya.

Mereka berdua sama-sama tahu tentang ini. Tentang obsesi Rin yang berlebihan terhadap Brandon. Untuk mengontrol emosi anak itu sesaat, mereka berdua bekerja sama secara tidak langsung.

"Ini!" Rei memberikan sekaleng bir pada BJ. "Minumlah untuk bersantai."

"Thanks."

BJ memutar-mutar kalengnya untuk melihat kadar alkohol yang ada di dalam minuman tersebut.

"Kau tidak minum alkohol?" tanya Rei yang tersadar.

"Bukan begitu. Aku butuh membatasi diriku dalam minum. Seseorang sudah membuatku mabuk dalam minggu ini."

Rei menjadi penasaran akan sesuatu.

"Anggap saja selebrasi, Brandon. Minumlah, itu tidak akan jadi masalah. Apa kau tidak pernah minum dengan Kelly untuk anniv atau perayaan apapun?"

"Kami hanya jalan-jalan dan menikmati banyak sekali makanan penutup." Jawab BJ sambil membuka kaleng birnya.

Dari sorot matanya, Rei bisa membaca bahwa Brandon sedang tidak berniat untuk menceritakannya. Mungkin karena membosankan.

"Apakah hubungan kalian hanya berjalan-jalan saja?"

BJ menaikan alis sebelahnya. Dia tidak mengerti apa maksudnya.

"Kau tahu, untuk memikirkan masa depan antara kalian berdua."

Karena pengaruh alkohol, BJ menjadi tidak ingin berpikir lebih jauh. Dia minum lagi dan tak mau menjawab pertanyaan yang susah.

"Seperti, masa depan hubungan yang naik satu tingkat lebih jauh."

Tiba-tiba BJ tersedak setelah mendengarnya. Untung dia tidak menyeburkan minumannya langsung dan mengenai Rei di depannya.

"Kau baik-baik saja?" Rei sedikit bingung untuk membantu BJ, tapi dia sedikit senang karena mendapatkan jawabannya juga.

"Fine! Aku baik-baik saja." Jawab BJ setelah berhasil mengontrol tubuhnya. Dia sudah berhenti terbatuk-batuk dan dapat bernafas dalam.

Minuman ini... pasti ada tujuannya.

"Aku tak mau memikirkan apapun yang terlalu jauh sekarang. Itu terlalu merepotkan!" Katanya.

"Maafkan aku." Kata Rei.

"Apa tujuanmu menanyakan hal itu?"

Mungkin karena alkohol, BJ bisa langsung menanyakan niatnya Rei.

"Aku baru saja menemui papa Kei."

"Dan?"

"Itu hal yang menakutkan. Kan?"

BJ tentu saja dapat merasakan niatan tersembunyi dari Rei, tapi dia tidak tahu apa tujuannya sebenarnya. Dan dia selalu melemparkan sesuatu yang seharusnya membuatnya untuk bercerita.

"Lalu?" BJ sedikit ketus membalasnya.

"Apa kau tak merasakannya? Dengan papanya Kelly?"

Kalau dipikir-pikir, BJ seharusnya dapat merasakannya. Papa Kelly, bukanlah seorang sembarangan. Hal itu tidak bisa dibandingkan dengan orang tua yang lainnya. Rasa takut untuk menghadapi orang itu jelas berbeda dengan apa yang dirasakan oleh Rei.

Bandingkan saja, BJ sudah terlebih takut jika sewaktu-waktu tanpa sengaja membawa nama buruk atas keluarganya di depan orang tua Kelly. Apa yang akan dilakukan? Pikirannya sudah memikirkan kehancuran nama keluarganya dalam sekejap.

Itupun bukan satu-satunya ketakutan yang dialaminya.

Sedangkan Rei, dia hanya takut karena dikira memperlakukan Keiza kurang baik. Apalagi...

"Ya, itu menakutkan." Jawab BJ akhirnya. Dia meminta penjelasan dengan menaikan alisnya.

Hanya dengan gestur sederhana, Rei langsung memahami apa yang diinginkan oleh BJ.

"The girls... sebut saja begitu, dan beberapa orang, akhir-akhir ini membahas komitmenku terhadap Kei. Aku masih bingung soal itu. Dan jika dibayangkan, kurasa aku tak siap."

"Apa yang membuatmu tak siap? Kalau dilihat-lihat, kau terlihat sudah mapan dengan segi ekonomi dan..."

"Mental. Mentalku belum siap. Aku masih 20, BJ."

Lagi-lagi menyebut nama panggilan itu. Karena rasanya dia semakin dekat dengannya lagi, dan pembicaraan mereka semakin dalam.

"Kau tahu kalau mentalmu belum siap, lalu apa yang kau bingungkan tentang komitmenmu itu?"

"Mereka sedikit mendesak untuk mematangkan komitmenku itu. Dan mereka berharap kalau hal itu terjadi besok."

BJ seperti berpikir sebentar. Dia mengingat-ingat tentang sesuatu yang pernah dia dengar dari seseorang. Itu sudah sangat lama, jadi dia tidak ingat siapa yang memberitahunya.

"Mereka hanya halu saja." Jawab BJ sinis. "Dan bodoh."

Rei terdiam. Dia sedikit tidak menyukai dengan jawaban Brandon padanya.

"Mengapa kau menjawab itu?"

"Orang-orang pasti berharap lebih padamu. Apalagi Kei. Dia pasti sangat menginginkanmu menjadi satu-satunya miliknya. Dia tidak ingin kau digoda perempuan lain, apalagi diam-diam dengan perempuan-perempuan itu. Faktanya, itu perempuan. Ketika harapan tersebut terlalu tinggi, ketika kau mengecewakannya, dia pasti marah padamu."

BJ berbicara seperti dia sangat expert dalam urusan sebuah hubungan, apalagi tentang perempuan.

"Jika kenyataannya kau tidak memberikan harapan apapun, kau hanya ingin memiliki hubungan itu dan dijalani saja, tandanya Kei itu yang berlebihan."

Rei menangkap setiap kata-kata dari BJ dan mencernanya dengar perlahan-lahan. Masalah perempuan memang memusingkan dan begitu rumit. Tentang ambisi mereka akan sebuah hubungan, menetapkan harapannya sendiri, dan terlebih tentang sesuatu yang 'lebih'. Imajinasinya pasti sangat liar. Apalagi yang dipikirkannya tentang hubungannya bersama laki-laki?

Urusan masalah Rei dan Kei sebenarnya sudah selesai. Tapi beberapa teman Kei yang seharian berada di rumah ini sudah memanas-manasinya.

Ini akan berat.

"Apa kau bilang bahwa Kei itu yang salah?"

"Bagaimana bisa aku menyalahkan sifat alami perempuan?"

Rei terkejut mendengarnya.

"Kita juga memiliki sifat alami kita sendiri. Dan menurutku..." BJ tiba-tiba teringat terakhir kali dia menginap di apartemen Kelly. Benar. Kelly sedang dalam fase fans girl yang membuatnya hampir kehilangan kendali. "Menjaga satu sama lain."

"Huh?" Rei bertanya karena tidak mengerti.

BJ sepertinya salah berucap. Itu karena waktu itu.

"Maksudku, memahami satu sama lain. Ya. Saling memahami."

Rei membayangkan kemarin malam saat mereka akhirnya berbaikan. Keiza mengatakan bahwa dia mengerti situasinya dan meminta maaf dengan apa yang terjadi. Dan begitupun dengan Rei, dia yang tak peka akan harapannya Kei juga meminta maaf kalau dia belum bisa memberikannya.

Karena yang terpenting adalah sekarang. Hari ini. Esok. Dan yang jauh-jauh bisa dipikirkan bersama-sama sambil berjalan.

"Entah siapa yang mendesakmu dan membuatmu menjadi ragu-ragu. Tapi, pilihan itu ada di kalian." BJ mengakhiri nasihatnya.

"Thanks." Rei akhirnya merasa lega. "Dan ngomong-ngomong, yang memberitahuku tentang itu adalah Jason. Kau tahu."

BJ hampir saja memuntahkan minumannya. Padahal itu tegukan terakhirnya, dan dia berhasil menelannya kembali.

"Kau percaya dengan kata-katanya?" BJ terkejut.

"Ya, mengapa?"

"Kau percaya pada kata-kata playboy sepertinya? Dia selalu mengencani perempuan setidaknya tiga dalam seminggu!"

"Ya, aku tahu."

"Daripada membantumu untuk lebih serius, dia terlihat seperti membuatmu sepertinya."

"Apa maksudmu?"

"Memberikan harapan palsu."

Rei memikirkannya ulang. Niat Jason pasti baik padanya, tapi dia tidak memungkiri apa yang dikatakan BJ padanya. Bagaimana bisa dia mau mendengarkan kata-kata dari seseorang yang selalu bermain dengan perempuan banyak?

"Sialan b*ngs*d itu. Kau mau bantu menghajarnya?"

"With my pleasure." Jawab langsung BJ. Dia sangat suka menghajar seseorang seperti Jason.

Maksudnya, memberikannya pelajaran padanya.

Sementara itu di ruang kerja Rei yang berisikan lima orang, mereka semua sedang bermain board game dengan cahaya hologram sebagai medianya. Di antara mereka, ada yang sangat tidak menikmatinya karena telah bangkrut dan memiliki hutang banyak dalam permainan monopoli itu. Siapa lagi kalau bukan Clafita. Di depannya, ada Jason yang menguasai permainan itu karena memiliki jumlah uang dan lahan yang paling banyak.

Tiba-tiba dia terbersin tanpa sebab yang membuatnya tidak fokus dalam memutar dadu. Sehingga angka yang keluar tidak sesuai dengan yang diinginkannya. Dan dia berhenti di sebuah bangunan hotel yang hanya dimiliki Clafita.

"Oh yes! Money money!" Kedua mata Clafita akhirnya menghijau.

"Sialan!" Dia berniat untuk membuat Clafita selesai dalam permainan itu, tapi malah dia memberikannya modal bertahan untuk beberapa game.

Perasaan Jason tidak enak. Apalagi bersinnya itu seperti sedang menandakan sesuatu yang buruk terjadi padanya nanti.

.

Bab 35

Dried Flower III