Ikhlas perlahan berhembus. Pasrah mengikat kuat agar tak berontak. Kenyataannya, Fathur memang tidak ditakdirkan untuk berada di jalan yang sama dengan ku. Nama ku dan namanya tak ada dalam takdir Tuhan. Dan tak mungkin bisa berdampingan. Jalannya terlalu terjal. Dengan kondisi yang tak memungkinkan, mustahil untuk bisa melaluinya. Aku tak kan bisa berdiri disana. Membayangkannya saja begitu rumit apalagi menjejalinya di tengah lebatnya badai.
Penopang tubuh ku juga enggan mengayun. Terlalu sulit menjangkaunya. Tak ada yang mustahil memang. Tapi memaksakan kehendak diri sendiri adalah hal bodoh. Aku tak ingin menyerang sebelum di serang. Bukan pengecut. Aku hanya tak ingin memulai perkara. Bukan penakut. Hanya saja aku lebih suka tantangan daripada menantang tapi justru membahayakan diri sendiri.
Aku menerima siapa saja yang ingin menetap. Dan aku takkan memaksa siapapun yang ingin pergi. Itu sebuah hak. Tapi, aku sendiri tak suka dengan seekor nyamuk yang memanfaatkan ku untuk menyerang segerombolan nyamuk lainnya. Karna yang aku tahu, cinta dan manfaat hanya beda tipis. Banyak orang menjadikan cinta sebagai senjata untuk menjatuhkan orang sekitar. Menjadikan tameng untuk pelindung hidup bahkan memanfaatkannya sebagai pemuas ambisi. Dan kelemahan terbesar ku adalah mudah terpengaruh oleh orang lain.
***
Suasana kelas pagi ini ramai. Ada yang mulai menebak - nebak seperti apa wajah dosen baru yang akan menggantikan prof. Guntur. Kabar usianya yang masih muda memberikan daya tarik pada mahasiswi di kelas pagi ini. Aku sama sekali tak tertarik. Bahkan aku sudah mengantuk di jam sepagi ini.
"Dania, baru jam sembilan pagi tapi mulut singa mu tidak ada henti-hentinya menguap."
Tika memukul jidatnya sendiri.
"Aku sendiri tak tahu, tika. Tiba-tiba aku mengantuk."
"Aku lupa. Setelah beberapa hari kamu mengurung diri, baru semalem kamu bisa tidur nyenyak."
Ku cubit pinggangnya. Tak mau kalimatnya di teruskan. Dia cekikikan sembari menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Lima belas menit terlewati. Dosen baru itu belum juga datang. Aku semakin tak kuat menahan kantuk. Penat rasanya.
***
"Assalamu'alaikum."
Ada suara dari pintu yang menganga lebar. Tak ada suara setelah jawaban salam terucap serentak. Aku menjawab dalam hati saja. 3 menit kemudian, suasana kelas mulai riuh. Mahasiswi berbisik-bisik satu sama lain. Ku lirik Tika di sebelah kursi ku. Lihatlah tingkahnya. Matanya melotot lurus ke depan tanpa mata berkedip. Sempurna dengan mulut menganganya.
"Srrrttt...Tika. kamu ileran tuh."
Tingkahnya gelagap mengusap dagunya cepat. Aku menahan tawa.
"Ih, Dania. Lihatlah dia ! Tampan."
Sudah ku duga. Tika akan meleleh melihat yang berbau begituan. Jika aku terus meladeni Tika, aku takkan bisa mencerna materi. Anehnya, kelas baru saja di mulai dan mata ku serasa di gantungi benda-benda yang berat.
"Dania..."
Gawat. Aku ketiduran. Semua mata tertuju ke arah ku. Aku tak bisa mengelak dari pandangan mereka. Apalagi dosen baru itu. Aku menelan ludah. Pura-pura mencari pena ku.
"Siapa nama mu ?"
Kepala ku terangkat. Menatapnya aku tak berani.
"Dania septian Rajasa."
"Ulangi !"
"Dania septian Rajasa."
Aku menjawabnya lebih lantang.
"Keluar dari kelas ku sekarang ! Ini juga berlaku buat kalian semua, jika melakukan hal yang sama."
Aku beranjak keluar. Sial. Hari yang memalukan. Kali ini aku melakukan kesalahan. Entah apa yang akan di pikirkan dosen baru itu. Mungkin dia akan mengira aku tak suka dengan caranya mengajar atau apalah. Masa bodoh, sudah terlanjur tertangkap.
Kelas selesai. Dosen baru itu keluar lebih dulu. Pandangan ku tertuju ke arah lantai. Menatap keramik putih polos di ujung kaki ku. Ada kaki yang berhenti berderap di samping ku. Aku mengalihkan pandangan demi menyembunyikan rasa malu. Sungguh sial nasib ku hari ini.
"Ikut ke ruangan saya !"
Kata Ayah perintah gak boleh di bantah. Aku membuntuti di belakangnya.
***
Kaki ku memasuki ruangan prof. Guntur.
"Duduk !"
Aku mengikuti instruksinya. Merinding. Tak ada orang lain disini, hanya aku dan dosen baru itu. Aku bisa merasakan dia menatap ku.
"Siapa tadi namanya ?"
"Dania, pak."
"Kalo ada yang nanya liat mukanya dong !"
Aku mendongak perlahan.
"Kamu tahu apa yang kamu perbuat ?"
"Iya, pak. Sa-ya tidur di jam pelajaran bapak."
"Bagus. Sekarang tinggalkan nomor hp mu disini !"
Dosen itu menjulurkan kertas HVS kosong padaku. Apa yang sebenarnya dia inginkan. Hukuman untuk ku ? Tapi apa hubungannya dengan nomor hp. Tak banyak berpikir lagi. Ku tulis nomor hp ku di kertas itu.
"Kamu boleh keluar !"
Aku bangkit dari kursi di hadapannya. Tepat saat kaki kiriku menginjak di ambang pintu. Tiba-tiba...
"Tunggu ! Nomor nya 13 angka ?"
"Iya, pak."
Dia tak lagi bersuara. Aku berhasil pergi dari ruangan itu. Akhirnya aku bisa bernafas lega. Nasib buruk hari ini. Aku menggerutu di setiap langkah. Baru pertama kali ikut kelas dia sudah dapat masalah.
"Dania.. Ayo!"
Tika melambaikan tangan di parkiran. Rupanya dia sudah menunggu ku untuk pulang.
****
"Kamu sih, ngapain pake tidur segala."
"Tiba-tiba saja tertidur."
"Apa yang dia katakan tadi, dania ?"
"Engga. Bukan apa-apa."
"Awas nilai mu dalam bahaya, Dania. Awas saja kalo dosen itu macam-macam sama Dania ku."
"Sudah ih, bukannya kamu tertarik memandanginya saat dia baru tiba."
"Srrtt...jangan keras-keras nanti tunangan ku dengar."
Sikapnya membuat ku geli. Dia tertawa.
"Dosen Rayhan memang tampan kan, Dania ?"
Oh namanya Rayhan
"Aku tak tahu, Tika. Bagi ku hanya ada satu orang paling tampan di dunia."
Meski ku akui, dosen itu memang tampan. Oh tidak,,
"Arya ?"
Aku menggeleng.
"Fathur ?"
"Tidak."
"Lalu ?"
"Ayah ku."
Tika menyerang ku dengan tatapannya yang melotot. Tawa ku pecah. Menggodanya membuat ku lupa dengan beban yang ku pukul meski sejenak.
***
Setiap kehidupan punya berbagai rasa untuk di kecap. Jika tuhan mencipta wajib maka, pasti ada yang namanya mustahil. Jika ada sakit pasti ada obatnya. Rasa kehidupan juga demikian. Jika ada manis maka, ada pahit. Bagaimana dengan asam ?. Hanya pelengkap saja. Setuju atau tidak. Mau tidak mau. Tak seorang pun bisa menghindar dari jalannya. Tergantung diri kita sendiri nantinya mau mengecap rasa yang mana. Tergantung bagaimna proses yang di pilih. Jika ingin rasanya manis, maka perlu berproses dengan usaha menabur gula di setiap jalannya. Begitupun sebaliknya.
Apa saja bisa mengubah segala sesuatu. Yang mungkin menjadi tidak mungkin. Misalnya cinta. Cinta bisa mengalahkan apa saja. Ketakutan sekalipun. Sama halnya roti manis yang bisa mengalahkan manisnya teh. Di bumbui dengan partikel yang sama, hanya saja di bedakan oleh wujud. Menghasilkan sesuatu yang berbeda.