Serasa ada yang hilang ketika dia pulang. Aku belum sempat mengatakan apapun padanya. Belum bercerita tentang bagaimana sekolah ku. Bahkan begitu banyak cerita yang ku tabung selama 5 tahun terakhir ini. Dan tak ada satupun yang tercurah padanya. Tapi, ada kalanya tabungan memang hanya untuk di tabung, bukan untuk di pamerkan. Maka dari itu, aku diam.
Ada sakit yang membekas. Terlebih ketika makan malam kali ini yang terasa begitu hambar. Tak ada yang membuka suara di meja makan. Pandangan kami hanya terfokus pada sepiring nasi yang di tumpuki dengan lauk pauk berbagai varian. Entah mereka sengaja mendiamkan ku karena sikap ku tadi pagi atau karena simpati dengan kondisi ku. Sunyi. Hanya dentingan sendok menyentuh piring yang mengisi kesunyian ruangan.
Makan ku selesai. Tapi tak secepat itu, ayah membuat ku kembali terduduk.
"Kemana kamu akan lanjut sekolah, Dania. Apa kamu sudah punya gambaran, dimana kamu akan sekolah nantinya ?"
Pertanyaan ini lagi. Jarak rumah ke sekolah SMA cukup jauh. Butuh perjalanan hampir satu jam. Ayah tak mungkin mengantar ku tiap hari. Ayah juga punya kesibukan dan tanggung jawab. Terlebih ayah ku adalah pegawai kecamatan.
Kini aku mulai menimbang. Jika ayah mengizinkan aku membawa motor sendiri, itu lebih meringankan. Tapi sayangnya, ayah selalu menolak. Meski dia tahu aku sudah mahir mengendarainya. Karena usia ku belum memenuhi syarat cukup untuk semua itu. Ayah selalu memastikan agar anak-anak nya tidak pernah melanggar hukum yang berlaku baik di masyarakat atau dimana pun. Kembali lagi ke perihal sekolah. Aku tak mungkin menebeng motor teman ku. Paling tidak, jika aku memilih sekolah disini, cukup merepotkan juga. Kaka Melani kuliah di kota. Jika ada dia, setidaknya dia bisa jadi sopir pribadi ku tiap harinya.
"Bukannya sekolah diluar sekarang semakin bebas, pak. Ibu takut Dania akan terjerumus ke pergaulan yang salah. Kita sekolah kan Dania di asrama saja, pak."
Ibu angkat bicara. Tapi tidak. Hari ku berteriak. Itu bertolak belakang dengan keseharian ku. Aku yang suka Travelling, harus tinggal di asrama.
"Tapi, Bu. Dania bisa jaga diri."
Hasut ku agar ayah tak menanggapi usulan ibu. Tapi ayah rupanya lebih mengerti tentang diriku.
"Tinggal di asrama tidak seburuk yang kamu pikirkan, Nak. Ibu hanya lebih tenang kalau kamu tinggal disana. Iya kan, pak ?"
Tidak semudah itu mengelabui ibu. Dan yang ku pikirkan sekarang bagaimna kehidupan disana. Bagaimana aku bisa menyesuaikan diri dengan mereka. Kali ini ibu berhasil membuat ku bungkam dan beradu argument dengan pikiran ku sendiri. Aku tak suka dengan peraturan.
"Kira-kira di asrama mana, Bu ?"
Ayah mulai bersuara. Benar ayah mulai memahami kekhawatiran ibu.
"Disini juga banya asrama, pak."
Ibu memandangi ku yang terus memandang lantai.
"Dania...!"
Ayah memanggil ku. Aku tetap menunduk. Aku kesal. Kenapa hari ini keberuntungan tidak berpihak padaku.
"Dania septian Rajasa."
Aku mulai memperlihatkan wajah ku. Jika ayah memanggil ku dengan nama panjang ku . Itu tandanya serius.
"Aku tak mau sekolah disini. Jika aku harus tinggal di asrama maka, aku memilih sekolah di kabupaten."
Ibu tersentak. Aku tahu itu akan berpengaruh padanya.
"Itu terlalu jauh, Nak."
Ibu merasa keberatan. Tapi ini seperti mempermainkan ku.
"Itu mau ku. Jika aku di haruskan di asrama. Maka, aku hanya mau sekolah disana."
Belum ada keputusan dari ayah. Aku tak bisa menahannya lagi. Aku langsung melangkah meninggalkan mereka.
****
Tiga hari setelah kelulusan. Aku semakin yakin untuk sekolah di kabupaten. Dengan begitu tidak setiap semester aku bisa pulang. Terkadang waktu libutlran berjarak beberapa hari dengan sekolah di laut asrama. Itu akan menyelamatkan ku dari pertemuan ku dengan Abang ku. Tapi jangan tanyakan bagaimna mengenai sakit di waktu itu sekarang. Karena jawabannya masih sama, masih basah dengan darah.
Pada akhirnya, ibu setuju aku sekolah di kabupaten meski baginya mungkin memberatkan. Dan dari sinilah aku belajar lebih dalam tentang lupa. Dari sini pula semuanya terasa benar-benar hilang. Termasuk perasaan suka ku padanya yang baru ku mengerti sejak kepulangannya kemarin itu. Dan lahirlah sikap tak ingin tahu di diriku yang terus mengental di setiap harinya.
Benar. Tinggal di asrama tdak seburuk yang ku bayangkan. Hanya pikiran ku saja yang nethink. Sejatinya banyak teman itu sudah seperti saudara. Dan dari asrama inilah, aku mengenal teman ku yang antik ini. Dia satu kamar dengan ku. Satu sekolah. Satu jurusan di MIPA. Ah,,, kata anak lainnya bagai pinang di belah dua. Itu karena kemana pun, aku selalu bersamanya. Dimana ada aku, disitu pasti ada Tika. Dan persahabatan kita awet hingga ke jenjang berikutnya dan berikutnya. Bahkan saat aku memilih kuliah di ibukota, dia juga ikut kuliah di ibukota. Bahkan satu kamar kost.
****
"Dania...hey, Dania !"
"Hmmm"
"Kamu tidur atau tidak sih ? Mata mu memejam tapi kaki mu menari tak bisa diam."
"Kau memperhatikan ku, Tika ?"
"Ya, takut tiba-tiba kamu kesurupan."
"Oh ya ? Aku malah takut kamu yang kesurupan. Seperti yang lihat sejak pulang dari campus, muka mu seperti harimau yang sakit gigi. Hilang selera makan."
Sebelum Tika beraksi. Aku melompat meraih handuk yang menggantung tak jauh dari tempat ku berbaring. Berlari menuju kamar mandi. Benar saja. Tika sudah mengejar ku. Untung saja, aku sigap menutup pintu kamar mandi dengan cepat. Kalau tidak, dia bisa saja mengacak-acak diriku sepuasnya. Aku tertawa lepas di dalam saat aku mendengar Tika menggerutu di depan pintu kamar mandi. Bisa ku bayangkan muka cemberut nya saat ini.
Sudah seperti yang ku tahu tentang Tika. Kalau kegalauan menyapa, dia hanya butuh tidur untuk berdamai. Setelah itu, tak akan ada yang namanya kegaduhan. Bahkan dia akan terlihat lebih baik-baik saja dari sebelumnya.
Coba lihatlah. Dia sedang berbaring tengkurap di lantai. Tertawa keras melihat tingkah konyol Anjas, tunangannya di seberang layar. Aku memperhatikan dari kursi ku. Baru ku tahu setelah beberapa hari kemudian. Bahwa kegalauannya itu karna tak sengaja dia melihat Anjas berpose dengan gadis lain di beranda Facebook nya. Tanpa bertanya, dia langsung merasa cemburu. Membuat dirinya sakit dengan pemikirannya sendiri. Ternyata, gadis itu adik sepupunya yang cuma beda 2 tahun dengannya. Aku tak bisa menahan tawa saat Tika bercerita. Sekaligus aku teringat sesuatu. Kejadian ini, mengingatkan ku pada sesuatu, tapi apa.
Malam ini aku tertidur lebih awal. Setelah chat ku di biarkan begitu saja oleh Arya. Sudah tak bisa di elak lagi. Jika sudah begitu dia pasti nge-game bersama temannya. Aku memilih tidur saja. Menunggunya bukan keputusan yang baik. Dia tak akan pernah puas hanya dengan sekali kemenangan. Butuh waktu lama. Dan aku tak ingin membuang waktu sia-sia hanya untuk menunggunya.