Ku buka tirai yang menjadikan kamar ku remang. Ku lihat bentangan indah alam sungai dari balik jendela. Disana banyak anak-anak seusia 6 tahunan menangkap ikan, berenang, bermain air. Hiruk piruknya, gelak tawanya terdengar hingga kamar kost ku. Maka tak jarang di sore hari begini suasana begitu ramai. Para ibu-ibu berlalu- lalang melakukan aktivitas. Bahkan keadaan diluar gerbang pun demikian. Banyak orang hendak pulang dari tempatnya mengais rezeki. Gemuruh bunyi motor sayup-sayup terdengar dari dalam kamar ku. Ku hempaskan tubuhku di bibir ranjang. Kuliah hari ini cukup melelahkan.
Sedikit ku pejamkan mata. Tika melempar tas kuliahnya ke arah ku. Sontak kelopak mataku terbuka. Enggan mengatup. Ku lihat mimik wajahnya yang tak bersahabat. Di angkot, dia baik-baik saja. Tapi kenapa setibanya disini malah berubah. Sudahlah, mungkin ada unek-unek yang belum siap dia lontarkan. Marah padaku karna kejadian kemarin ? Tak mungkin selama itu. Kami juga sudah membahasnya pas makan siang tadi.
Ku balikkan tubuhku. Ku biarkan, membelakanginya yang sedang berkacak pinggang di belakang ku. Ekspresinya saat ini, menakutkan. Bak singa membutuhkan mangsa. Ku lirik dirinya dari pantulan kaca. Dia mulai mendekati kursi. Kemudian, pasrah memilih duduk. Kondisinya sedang tidak baik-baik saja. Bukan saatnya ikut campur. Bila sudah waktunya dia akan menceritakan sendiri padaku.
Untuk saat ini raga ku, begitu lelah. Kembali ke posisi awal. Ku pejamkan mata perlahan. Eh,,, aku teringat sesuatu. Kenapa aku harus ingat sebagian materi yang diberikan dosen pagi tadi. Membuat ku kembali enggan mengistirahatkan diri. Andini ? Ku ingat, Andini teman sekelas ku. Satu angkatan dengan ku. Tadi pagi, dia mengejar jalan ku. Berusaha menyamai langkah ku. Dia menyodorkan amplop merah tanpa nama. Tak sempat ku buka. Langsung ku simpan di dalam tas ku. Berhubung saat itu kami berada di lorong kantin, dan banyak mahasiswa yang hilir mudik menuju kantin. Ada baiknya, membukanya nanti saja.
Dan kali ini, aku teringat dengan amplop itu. Benar tanpa nama. Ku lirik Tika yang masih termangu di kursi belajar. Dengan kepala menempel di meja, tangan kirinya di jadikan alas. Matanya menatap ke arah sungai. Ku lanjutkan, membuka amplop. Sepucuk surat. Andini mengirimi ku surat. Jika ada sesuatu dia bisa mengatakannya langsung padaku. Tak perlu dengan surat. Ku buka lipatannya. Tidak. Ini bukan tulisan Andini. Aku seperti pernah melihatnya. Atau mungkin aku mengenalinya. Ah,,, ini hanya firasat saja. Tulisan bisa saja sama. Tapi siapa ?
Dania, Rajasa.
Jakarta.
Assalamualaikum.
Apa kabar ? Bagaimana kuliahnya ? Betahkah disitu ?
Dania, aku sudah kembali. Aku yakin kamu tahu siapa aku, Dan-dan.
Salam sehat untukmu, disana. Cepat pulang.
Wassalam.
Hamba Allah.
Singkat saja. Dengan bahasa yang sederhana. Hanya berbagai tanya. Yang mengisyaratkan surat itu menunggu balasan. Tidak. Bukan waktunya untuk menilai isi suratnya. Ada satu yang terasa janggal. Hanya ada satu orang yang tahu nama masa kecil ku. Dia...
Tapi apa hubungannya dengan Andini. Bukankah dia tidak sekampung dengan ku. Tapi kenapa surat itu lewat Andini. Dan bagaimana dia bisa tahu kalau Dania yang di maksud adalah aku.
****
Kedatangan surat itu menjadi kunci pembuka pintu gerbang besar menuju masa lalu. Cukup terhitung lama aku menguncinya dengan ketegaran. Dan tak ku biarkan seorangpun berani mengoreknya. Meski itu sahabat ku sendiri. Mata ku tertuju kearah Tika. Dia tertidur. Dengan posisi yang ku jabarkan. Nyenyak kelihatannya. Sengaja ku biarkan. Entah, ini sebuah masalah atau kesialan. Aku bahkan tak ingin mengenalkan dirinya lagi kepada sang waktu. Kenapa sekarang, dia sendiri yang menyalami ku. Kejadian beberapa tahun yang lalu, benar-benar membunuh ku.
****
10 tahun yang lalu.
"Abang, lihatlah ! Istana pasir yang ku buat. Indah bukan ? Aku membuatnya sendiri. Kemarilah !"
Di sudut pantai yang membentang luas. Di lengkapi, rindangnya pepohonan Cemara di setiap sisi nya. Gadis kecil berusia 9 tahunan, tengah asyik memainkan tumpukan pasir. Tangannya yang mungil, memapah pasir demi pasir agar terbentuk seperti inginnya. Ramput panjang yang di kepang dua menambah aura manisnya. Sementara, disana tengah mendekat seorang anak laki-laki yang beranjak remaja berusia sekitar 12 tahunan. Dia mendekat ke arah gadis itu. Gadis kecil itu adalah aku.
"Cepatlah sedikit, Abang!"
Aku terlihat begitu semangat memamerkan istana buatan ku.
"Iya, Dan. Kmu memang paling ahli membangun istana."
Dia tersenyum melihat istana ku. Mengacak rambut ku. Tinggi ku hanya sebahunya. Kami lebih terlihat seperti kakak-beradik. Tapi sejatinya tidak. Aku memanggilnya Abang, karena usianya lebih dewasa dariku. Begitu yang ibu bilang saat dia pertama kali datang dan memilih tinggal di kampung ku. Ya, dia hanya pendatang. Yang kebetulan menyewa rumah kakek Joseph tepat di samping rumah ku. Rumah kami berdempetan. Jendela kamar ku tepat bersebelahan dengan jendela kamarnya. Halaman rumah ku juga memanjang dan menjadi satu dengan halaman rumahnya. Sejak saat itu, tak hanya ibu dan ayah yang memiliki teman baru tapi, aku pun begitu.
"Aku ingin membuatnya lagi."
Sebelum aku berhasil menjamah tumpukan pasir lagi. Dia lebih dulu menangkap pergelangan tangan ku. Membawaku mendekat ke arah ombak yang berkejaran. Dia membasuh lengan ku yang terluluri pasir.
"Apa yang Abang lakukan ?"
"Kamu sangat cerewet, Dan. Tak bisakah kamu diam sebentar. Aku sedang membersihkannya."
Dia terus menggenggam tangan ku. Kali ini, kami menuju bangku yang memanjang di bawah pohon Cemara.
"Duduklah !"
Aku menurut. Bagaimana tidak, dia punya tugas melindungi ku. Ibu dan ayah sangat mempercayainya. Bahkan meski seharian aku menghabiskan hari dengannya di pantai, ibu tak akan khawatir. Ayah tak akan mencari ku. Ketika pulang petang pun, ibu tak akan mengomel. Takkan memukuli ku dengan rotan lagi. Kecuali, kalau aku diam-diam mengambil uang logam lima ratus rupiah yang ibu selipkan di bawah kain di atas lemari baju ku. Ibu tak akan mengampuni ku. Dia tak akan berhenti memukuli ku sebelum aku bilang akan jera. Tak akan mengulanginya. Menurut ibu itu sama saja mencuri. Sejak saat itu, aku tak berani memanjat lemari menggunakan bak karet yang ku susun bertumpuk-tumpuk lagi. Atau ibu tak akan mengampuni ku. Cukup sekali.
"Berapa usiamu ?"
"9 tahun."
"2 Minggu lagi pelulusan, Dan."
Ku lihat raut mukanya tak semangat hari ini.
"Iya, aku tahu kamu akan tamat sekolah dasar. Dan akan memasuki sekolah baru. Tak apa, bang. Hanya beda sekolah. Rumah kita kan tetap berdampingan. Toh sekolah kita tetap dekat, hanya beberapa langkah saja."
Dia tersenyum. Bukan itu yang dia maksud. Ada hal lain. Dan hal yang ingin dia katakan nantinya, yang akan mengubah semuanya termasuk diriku. Ini masih bukan tentang perasaan atau bahkan tentang nyaman. Masih begitu konyol dengan segala tindakan. Tapi pasal tenang, aku sedikit mengerti. Kala aku mengitari jalan sendiri, ada kegusaran yang menghalau. Tapi, kala bersamanya, aku tenang. Begitu devinisi singkatnya. Selebihnya, baru ku mengerti di tahun-tahun berikutnya.