"Bagaimana jika waktu mulai menjauhkan kita ?"
Dia memulai pembicaraan setelah cukup lama bungkam.
"Kamu percaya bahwa waktu tak pernah memihak siapapun ?"
Dia bertanya lagi.
"Bukan waktu yang harus memihak. Tapi kita yang harus bersahabat dengan setiap dentingnya."
Aku menjawabnya ngasal. Perut ku mulai mengusik. Menjadikan tenang ku berontak.
"Kamu tahu hukum alam ?"
"Ah,,, sudah berapa kali Abang selalu mengatakan hukum alam."
Aku mendengus bosan dengan arah pembicaraannya. Masih belum ku tahu arah bicaranya kemana dan apa yg dia maksudkan.
"Baiklah. Ayo katakan !"
"Di setiap kali ada pertemuan disitu pula pasti ada yang namanya perpisahan."
Aku sedikit tertegun dengan kalimatnya itu. Tapi masih tak ku pahami jalan pikirnya.
"Ku lihat kamu tak seperti biasanya hari ini. Sedikit murung. Kenapa ? Apa paman dan bibi ingin pindah rumah ? Atau kamu sudah bosan menjahili ku. Sudah lelah mengobrol lewat jendela. Sudah tak mau menyapu halaman kita yang panjang itu."
Mulut ku terus saja menghamburi nya dengan banyak tanya.
"Tidak, Dan. Bukan begitu. Bahkan aku sangat suka menimpuk mu dengan bola karet ku setiap kali kamu malas bangun pagi."
"Lalu ?"
Aku menunggu dia melanjutkan kata-katanya.
"Aku sendiri tak tahu, sampai kapan waktu berbaik hati membiarkan kita menghabiskan hari bersama."
Aku tak bersuara.
"Aku akan ke kota. Tak sengaja, kemaren malam aku mendengar ayah dan ibu ku membicarakannya. Mereka ingin aku melanjutkan sekolah ku disana."
Ada rasa hampa saat kalimat itu ku dengar seluruhnya. Tapi aku tetap diam. Menetralisir hati dengan keadaan. Sejatinya aku geram. Kenapa waktu selalu berhasil mengubah mimpi menjadi lautan yang tak berhaluan. Ku tatap istana pasir yang belum lama ku buat. Tatapan ku mulai kosong. Hanya pikiran yang tak pernah ku biarkan berlabuh.
Lama aku mendiamkan diri. Abang tak lagi meneruskan kalimatnya. Mengetahui ada perubahan padaku yang tiba-tiba diam tanpa kata. Aku ingin marah. Tapi pada siapa. Inilah permainan waktu.
"Aku akan kembali, Dan. Setiap libur semester, aku akan mengunjungimu disini."
****
Kalian tahu ? aku sangka, itu kalimat yang paling ingin ku dengar saat ini. Hati ku sedikit luluh. Tangan ku terus menggulung ujung kain baju ku. Untuk mengalihkan kegusaran ku agar tak terbaca olehnya. Dan kalian ingin tahu kebenaran ? Kalimat itu, hanyalah penenang. Ya, seperti yang biasa ibu lakukan untuk meredam tangis ku kala aku meminta ini dan itu. Untuk menjadikan ku kembali baik-baik saja.
Aku tak perlu memberi tahu ibu tentang semuanya. Bibi Hamidah tentu sudah menceritakan kebenarannya. Aku sering melihat mereka selalu bersama. Saat waktu senggang pun mereka terlihat seperti saudara yang tengah asyik berbincang di teras depan rumah. Dan untuk hal ini, ayah dan ibu ku pasti lebih tahu.
****
Ibu memanggil ku. Aku sengaja tak menjawab. Aku tetap berbaring di ranjang ku.
"Dania. Abang mu akan berangkat ke kota hari ini, apa kamu tak ingin mengantarnya sampai depan ?"
Ku tutup telinga ku dengan bantal. Menarik selimut ketus. Berbalik membelakangi ibu. Itu jawaban ku. Ku rasa ibu bisa mengerti. Lamat-lamat ku dengar langkah kaki ibu mulai meninggalkan kamar ku. Entah apa yang ibu katakan pada mereka tentang diriku. Beberapa menit kemudian, ku lihat rombongan mereka mulai pergi meninggalkan halaman rumah.
****
Aku telah menunggunya di setiap libur semester. Ayah dan ibu sering menemani ku duduk di ayunan kayu di halaman rumah. Ayunan yang khusus ayah buatkan untuk tempat bermain kami. Mata ku terus teralihkan menatap ke ujung jalan setapak yang terhubung langsung ke jalan raya sana. Berharap seseorang menyembul dari arahnya. Seseorang yang ku nanti-nanti sedari aku bangun pagi.
Hingga matahari tumbang di barat sana. Tetap tak ada siapapun yang melintas. Kecuali, para ibu-ibu yang pulang dari ladang masing-masing. Sekali lagi kalimat itu bohong. Mungkinkah keputusan ku untuk tidak menemuinya waktu keberangkatan nya beberapa tahun lalu telah mengubah janjinya.
Tahun ini, pelulusan ku. Aku sudah tamat SMP. Dan harusnya dia pulang hari ini. Tapi aku tak lagi menunggunya. Harapan ku tak lagi sama. Setelah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun harap ku dia hancurkan dengan janjinya sendiri. Ini hal yang paling menyakitkan. Sering kali tangan kosong ku dapati disetiap tahun menunggunya. Mungkin dia sudah lupa dengan hal itu. Menunggunya adalah rasa sakit yang ku sengaja. Maka, pagi-pagi sekali ku meninggalkan rumah. Menuju rumah Dinda teman sekelas ku. Ayah dan ibu sudah memberi ku izin untuk ikut perkemahan yang diadakan pihak sekolah. Sebagai agensi terakhir sebelum kami di nyatakan lulus. Sudah satu bulan penuh aku gigih mengikuti latihan. Banyak pula tetangga yang menanyakan ku pada ibu. Katanya aku jarang terlihat di rumah. Waktu keberangkatan ke arena masih siang nanti. Aku sengaja berangkat awal untuk menyiapkan peralatan yang akan di bawa. Dan titik temu regu ku di rumah Dinda.
****
Ada yang berkelimpungan di benak ku. Seketika bayangan rumah terlintas. Acara pembukaan baru saja usai. Aku sedang mengatur peralatan dapur. Menata letakkan Serapi mungkin. Agar cukup di tempatkan di tempat yang seadanya ini. Tak seperti biasanya aku mulai rindu rumah. Hey, ini hanya perkemahan, cuma 3 hari 2 malam. Tidak lama, bahkan sebelumnya, aku pernah ikut mendaki puncak selama seminggu lamanya. Tak ada masalah. Bahkan biasa-biasa saja. Kali ini berbeda.
Ayah dan ibu mengunjungi ku malam ini. Membawakan aku berbagai cemilan. Tak lupa pula, makanan favorit ku. Bakso kang Jojo. Setelah rampung berjamaah isya, waktunya makan malam. Aku segera membuka bungkusannya. Menuangkan ke mangkok alumunium yang ku bawa dari rumah. Perut ku semakin tak terkendali saat aromanya menyebar ke seluruh penjuru.
"Bu, ibu tak perlu repot-repot. Bekal yang ibu siapkan di tas ku sudah cukup. Bahkan belum satu pun ku jamah."
"Diamlah, Dania. Habiskan dulu makan mu ! Baru kamu boleh bicara."
Ibu terus menyuapi ku. Hingga suapan terakhir. Banyak wali murid yang datang ke arena. Ada yang menjenguk anak-anak nya. Ada juga yang hanya sekedar menonton acara. Sehabis mencuci mangkok yang ku kenakan, aku mengambil posisi duduk di dekat ibu. Sekarang, tugas ku berjaga di tenda.
"Sudah kenyang ?"
Ibu menanyai ku. Tentunya ibu tahu. Jika itu menyangkut tentang kesukaan ku, aku tak akan pernah merasa kenyang. Tapi untuk menghargai usaha ibu yang sudah membuat perut ku kembali tenang, aku mengangguk.
"Cemilan itu titipan dari bibi Hamidah."
Sontak mata ku lancang menatap bola mata ibu tanpa berkedip. Tidak. Tidak ada nama Hamidah lagi di kampung ku. Lagi pula ibu menyebutnya bibi. Berarti tak salah lagi.