"iya, Dania. Mereka baru saja tiba tadi sore. Mereka menanyakan mu begitu tidak melihat mu di rumah. Ibu juga menceritakan nya pada mereka. Saat mereka tahu, ibu akan mengunjungi mu. Bibi Hamidah menitipkan semua ini. Sayangnya, mereka tidak bisa ikut. Mungkin masih terlalu kecapean."
Terasa biasa saja saat ibu menceritakan hal itu. Aku tak lagi ingin mendengar kelanjutannya. Dengan segera ku kantongi lagi cemilan-cemilan yang ibu bawa. Jam istirahat sebentar lagi usai. Akan ada kegiatan. Ibu harus pulang.
"Ibu bawa lagilah cemilan ini. Lagipula di dalam masih banyak. Aku disini untuk ikut kemah bukan lomba makan."
Ibu tak menolak. Tak lagi bersuara. Ibu orang yang paling tahu kondisi hati ku. Sehabis mengecup kening ku, ibu pulang. Kini kondisi ku tak lagi nyaman. Pikiran ku tentang perlombaan kemah kini teralihkan.
****
Untuk apa dia kembali. Untuk memenuhi janjinya. Lalu alasan apa yang akan menjadi senjatanya untuk menghadapi ku nantinya. Dia tahu betul bagaimana aku. Aku akan menuntutnya akan hal itu.
Malam nanti adalah malam puncak. Besok para penggalang akan kembali ke rumah masing-masing. Perasaan ku masih tak karuan. Ada rasa yang tertambat. Antara rindu yang di belenggu kecewa. Lupakan. Aku harus fokus sekarang. Besok pagi-pagi sekali akan ada upacara pelantikan khusus tepat saat upacara penutupan. Aku bertugas menyiapkan segala keperluannya bersama anggota regu khusus lainnya.
Tepat di denting yang ku dengar lebih mengena. Ku lirik jam tangan ku. Sudah malam. Sudah terlalu lama aku menyalin catatan untuk adik-adik penggalang di regu ku. Aku terlupa bahwa besok aku harus bangun lebih awal. Saat aku menaruh topi Pramuka ku di rak depan.
"Ka Dania..."
Ka Mirza memanggil ku tak jauh dari posisi ku berdiri. Aku menghampirinya. Pakaian ku masih rapi lengkap dengan atribut Pramuka saat aku mendekat.
"Iya, ka."
"Besok pelantikan khusus. Sudah tahu kan ?"
Aku mengangguk. Aku termasuk anggota regu khusus sekolah. Dua tahun sebelumnya, sudah banyak perlombaan yang aku ikuti. Ada juga persahabatan dengan sekolah-sekolah lainnya. Sekedar adu yel-yel dan hal lainnya. Aku masih penggalang Ramu. Dengan 2 centang tanda kecakapan umum yang terletak di bahu kiri ku tepat dibawah nama regu ku.
"Kemana kamu akan lanjut sekolah, Dania ?"
Aku belum kepikiran untuk lanjut kemana. Ayah juga sering menanyakan hal itu tapi, aku sama sekali tak punya gambaran. Kali ka Mirza menanyakan hal yang sama.
"Rencana, ingin lanjut sekolah di kabupaten, ka."
Aku tahu jawaban ku sedikit memberi kekecewaan. Tapi itu yang sekarang terlintas di benak ku. Ka Mirza hanya manggut-manggut mengerti.
Tak lama aku berbincang dengan ka Mirza. Di menit ke 30 ka Mirza menyuruh ku kembali ke tenda. Kanti ku tak tertahankan. Masih ku dengar suara anak-anak di tenda lain yang bercerita banyak hal. Lama-lama hilang. Dan aku terlelap.
****
Tepat dugaan ku. Di pagi yang terik ini. Aku masih terpilih menjadi anggota regu khusus. Bagaimana lagi, tak baik jika aku berkomentar di tengah acara. Upacara penutupan usai. Ayah sudah menghampiri ku. Ada hal lain yang ku harap tak jua berlalu. Kecewa itu mulai hilang. Menyisakan ketidaksabaran akan pertemuan yang bertahun-tahun tertunda.
Saat bagian bawah sepatu ku menyentuh tanah. Aku mendengar suara gelak tawa dari dalam rumah. Ku lepas ikatan sepatu ku. Mulai memasuki ruang tamu, tak lupa memberi salam. Dia tak terlihat disini. Hanya bibi seorang. Atau memang dia tak ikut pulang. Saat aku hendak menaiki tangga menuju kamar ku, Bi Hamidah menghentikan ku.
"Abang mu menunggu mu di sungai, Dania."
Aku tahu tempatnya. Sungai tempat aku dengannya bermain. Sebelum pipi ku bersemu merah, aku melanjutkan menaiki tangga. Bergegas berganti baju. Ku kenakan jilbab pink muda sebagai penutup kepala. Sejak aku duduk di bangku SMP, ibu sudah mewajibkan Ki mengenakan penutup kepala. Awalnya, hanya saat hendak sekolah saja ku mengenakannya. Lama kelamaan aku mulai nyaman mengenakannya.
Aku hampir tiba di sungai. Ada suara yang mulai terdengar ke arah ku yang terus mengayuh sepeda. Aku menyandarkan sepeda ku di pohon pisang yang sudah menua. Aku mulai mendekat ke arah sungai. Lamat-lamat mulai terlihat laki-laki dengan baju basah berenang disana. Hati ku semakin gentar untuk mendekat, namun langkah ku tak tercekat. Eh,, tidak. Tidak hanya seorang. Ada orang lain disana selain dia. Perempuan. Jelas rambutnya mengambang di permukaan air sungai. Sekitar sebahu panjangnya. Aku mendekat selangkah lagi. Pemandangan yang tak mengenakkan tergambar. Dia menggendong gadis itu. Membawanya berenang dengan tangan kirinya yang terus mengapit pinggangnya. Sesekali mereka menyelam bersamaan kemudian, muncul di permukaan dengan tawa yang begitu lepas.
Keinginan untuk mendekat lagi hilang. Lutut ku mulai lemas. Bibi bohong. Dia tidak menunggu ku. Bahkan hadir ku tak lagi di butuhkan. Aku kembali mengayuh sepeda gunung ku menuju rumah. Air mata mulai merembes jatuh. Siapa gadis itu. Jelas dia bukan anak kampung sini. Kulitnya yang begitu putih berbeda dengan ciri khas kampung ku.
"Cepat sekali pulangnya, Dania ?"
Ku sandarkan sepeda ku sembarang di samping tembok rumah. Tak menjawab pertanyaan ayah yang menatap ku keheranan. Aku langsung menuju kamar. Semua mata memandang ku. Aku tak ingin bersuara atau di ganggu siapapun hari ini. Rasanya cukup lelah.
****
Ibu memanggil ku untuk makan malam. Aku menolak, dengan alibi akan turun nanti kalau sudah lapar. Ibu tak lagi mengoceh. Dan untuk kedua kalinya ibu menaiki tangga menuju kamar ku.
"Kamu belum makan, Dania. Turunlah !"
"Dania masih kenyang, ibu."
Tak ada suara lagi. Ibu mengunjungi ku lagi. Kali ini bukan tentang makan.
"Dania, di bawah ada abang mu. Dia ingin bertemu dengan mu. Besok mereka akan kembali ke kota."
Ibu mengelus kepala ku lembut.
"Aku tak mau menemuinya, Bu. Biarkan saja mereka kembali. Aku sedang tak ingin di ganggu."
Aku sudah tak punya kemauan untuk menemuinya lagi. Entah perasaan apa yang ku rasakan saat pertama kali melihat mereka. Harusnya, aku tahu. Dia pasti sudah punya teman baru. Bukan lagi aku yang akan menghabiskan hari dengannya. Tapi seakan aku tak rela melihat apa yang di lihat Indra penglihatan ku di sungai tadi. Ini bukan soal teman atau sahabat. Tapi ini tentang cemburu.
Esoknya. Mereka benar kembali ke kota. Dan aku tetap mengurung diri di kamar ku. Ibu sudah berulang kali meminta ku turun untuk menemuinya seperti pertama kali dia pergi dan menjadikan semuanya seperti ini. Aku bersikeras menolak dengan alasan pilek.