Chereads / Tentang Aku Kau dan Dia / Chapter 15 - Benci

Chapter 15 - Benci

Aku masih bisa mengingat nama akun Eliza waktu itu. Berhubung aku tak punya kontaknya sama sekali. Aku akan mencoba terhubung dengannya lewat messenger. Ada rasa canggung tapi sakit ku semakin menuntun untuk terus maju. Tak lagi ku pikirkan tentang resikonya. Emosi kembali berkobar. Setiap kata yang ku dengar jernih di pendengaran. Sebuah pengakuan menakutkan. Itulah yang menjadi patokan ku untuk mengibarkan api kebencian ini. Sudah ku pikirkan dengan baik. Sudah ku pilah antara suka dan benci. Aku tak akan mundur hanya dengan pikiran simpati ku.

Messenger.

"Kamu pikir, orang yang akan menikah denganmu itu benar-benar mencintai mu. Apa tak terbesit rasa curiga akan dirinya. Atau bahkan mungkin kamu belum tahu banyak hal tentang dirinya."

Aku tak beralih dari aplikasi lain. Ku tahan jemari ku yang tak ingin diam. Ku lihat, dia sedang mengetik. Bulu Roma ku berdiri. Aku tak bisa mengira-ngira apa yang akan dia tulis.

"Siapa ya ? Dan yang anda maksud itu siapa ?"

Masih terdengar biasa-biasa saja. Tak ada kekhawatiran. Tapi justru pertanyaan itulah yang menjadi sebab semakin mendalamnya rasa keingintahuan. Jemari ku terus menekan tust-tust abjad. Menyusunnya dengan perlahan. Sesekali ku baca ulang. Takut typo menyergap.

"Tunangan mu, Fathur."

"Kamu kenal Fathur ?"

"Iya. Dia laki-laki yang memberi harap di setiap penghujung mimpi ku. Dia menjanjikan bahagia di setiap jalan ku. Hingga pada akhirnya aku mengetahui sebuah kebenaran. Dan semuanya berangsur sirna."

"Siapa kamu ?"

Aku bisa merasakan aura kecemasan mulai hinggap di kepalanya. Emosi mulai merembet di tebingnya.

"Kekasihnya. Atau lebih jelasnya, orang yang telah dibuat nyaman tanpa sepengetahuan mu."

Bicara ku semakin tak terkendalikan lagi. Bukan begini yang ku rencanakan. Hanya sekedar memberi tahu kemudian cukup. Tapi kali ini, sudah terlalu jauh dari dugaan.

"Apa kamu tak tahu jika dia sudah punya tunangan ?"

"Bagaimana aku bisa tahu, Nona ? Sedangkan dia selalu menyembunyikannya dariku."

"Apalagi yang dia katakan ?"

"Fathur bilang, dia sudah tak ada ikatan dengan mu."

Aku sudah menyalakan api di bagian tepinya. Hanya tentang waktu. Mereka yang akan terbakar atau justru aku yang akan hangus dengan kobarannya.

Tak ada jawaban. Aku punya firasat berbeda. Ah,,, aku teringat sesuatu. Ada pesan lagi, tapi kali ini bukan dari Eliza.

Fathur,,,,

Sudah kuduga.

WhatsApp.

"Apa yang kamu katakan pada Eliza ?"

"Sebuah kebenaran."

Aku mulai mengeras. jawaban ku sedikit menantang. Tapi entah kenapa kalimat itu yang keluar begitu saja.

"Kamu jahat, Dania!"

Hati ku ngilu. Ada sakit yang berdengung di dalamnya. Ada getaran hebat yang membuncah ruah. Tidak. Kali ini bukan getaran yang berefek pada jantung ku. Kalimat itu berhasil membuat ku bungkam tanpa bahasa. Tangis ku ingin pecah, untuk pertama kalinya kalimat itu terlontar untuk ku. Tidak. Aku harus kuat. Tekad ku lebih kuat daripada sakit ku.

"Lantas apa bedanya dengan dirimu ? Bukankah kita sama jahatnya ?".

Aku menahan tangis saat menyusun kalimat itu. Aku tak kuasa lagi menyusun lebih banyak kata. Hanya itu.

"Apa yang kamu katakan ? Aku emang ada masalah dengan Eliza. Tapi sekarang kami sudah baik-baik saja."

"Wah,,, hebat, Fathur. Kalimat itu yang ingin ku dengar."

"Alaah,,, Ta*k emang."

Fathur mulai merasa kesal. Sulit ku pahami kondisinya saat ini. Bahkan memahami kondisi ku saja, aku tak paham.

"Loh,,, kok ngegas Nj*ng !"

Untuk yang pertama kalinya pula, aku mengumpat kata kotor untuk orang lain. Bertolak belaka dengan karakteristik ku selama ini.

Tak ingin semuanya makin rumit, setidaknya mereka sudah saling tahu tentang kebenarannya. Mungkin sekarang mereka sedang beradu argument atau berperang atau apalah. Aku bodo amat. Ada sakit yang harus ku tata dengan baik. Agar bisa menentukan obat bahkan penawarnya satu persatu. Rasa sakit itu sendiri, ada banyak versi dan obatnya tak mungkin satu nama obat yang sama. Tak mungkin pula satu botol obat bisa menyembuhkan segala berbagai penyakit.

****

"Kau sudah puas, Dania ? Kau bilang tak akan menghancurkan kehidupan orang lain hanya karena rasa kecewa mu terhadap seseorang."

"Aku tak punya pilihan, Tika."

"Tidak. Bukan begitu kenyataannya. Kamu lebih terpengaruh dengan omongan Arya. Dia meracuni isi kepala mu. Menjadikannya rusak dan berpengaruh pada pemikiranmu. Daya pikirmu tak lagi jernih seperti sediakala."

Aku tak lagi menimpali. Butuh waktu untuk Tika mengerti maksud ku. Ini bukan untuk ku saja, tapi juga untuk mereka. Aku diam di sudut kamar. Kembali menatap temaramnya malam. Semburat cahaya rembulan menerpa wajah ku yang oval. Memberi pantulan indah di binar bola mata ku. Aku mencoba tenang meski sejatinya luka ku masih membiru. Di tambah lagi, tersembur panasnya air liur Hujatan Fathur.

Semenjak aku mengumpat dengan kalimat itu, pikirku pun menjadi gusar. Akankah dia benar-benar mengambil hati bicara ku. Kenapa serasa diriku tak ikhlas mengutarakan kata kasar itu. Aku merasa aku terlalu kasar padanya. Hanya karna dia mengatakan aku jahat. Aku pun menjelma menjadi orang jahat. Karena hati yang tak terima. Mungkin yang dia katakan, benar. Aku memang jahat.

Aku sudah memblok semua akses akun Fathur. Tak ada yang tersisa. Baik ponsel, WhatsApp, Dan juga Facebook. Aku tak ingin lagi terhubung dengannya. Meski aku akui, ada satu titik warna, yang jika semakin lama ku fermentasi kan maka, akan semakin berdampak pada diriku sendiri. Dan jika aku sendiri tak bisa mengendalikan warna itu maka, ia akan merusak segala tatanan warna yang telah lama terbingkai di siang malamnya hari.

Sudah. Aku tak ingin terlalu larut dalam perangkap yang menjadikan diriku sendiri sebagai umpan. Jika memang bukan bagian ku pastinya, bagian ku akan ku dapat di tempat lain. Bukan disana. Semoga saja, tempatnya tak jauh dari tempat ku berada. Dan semoga pula, aku pernah mengunjunginya atau hanya sekedar berlayar tanpa pijakan. Mungkin juga dari informasi yang tertangkap oleh kedua Indra pendengar ku dan yang belum pernah ku jadikan tempat untuk berteduh ataupun menetap.

****

"Kau masih marah padaku, Tika ?"

Aku mencoba merajuknya. Sedari tadi, dia tak mau membuka mulutnya untuk sekedar berceloteh dengan ku. Jelas saja ini bukan sifat Tika. Dia mendongak sekejab. Kemudian memulai lagi aktivitasnya mengunyah roti bakar.

"Tika ?"

"Ah,,, Dania. Aku tak marah. Hanya saja aku kesal denganmu."

"Iya aku tahu, maka maafkan aku."

Dia mulai berani menatap ku. Menghentikan goyangan mulutnya. Menaruh kotak bekalnya. Meneguk air secukupnya. Kemudian mengangguk padaku. Aku paham bagaimana Tika. Dan aku pastikan tak ada orang lain yang sepaham diriku akan dirinya.

"Kau tahu benar, aku tak bisa marah terlalu lama padamu."

Senyum ku mengembang. Dia memperlihatkan wajah manjanya padaku. Dia memang selalu begitu.