Chereads / Tentang Aku Kau dan Dia / Chapter 14 - Ambisi

Chapter 14 - Ambisi

Mentari membumbung tinggi. Panasnya memberi tangis di setiap pori-pori tubuh ku. Keringat memandikan ku saat ini. Sesekali ku kipas kan tangan di leher. Cuaca memang sulit di tebak. Paginya mendung. Bisa jadi siangnya berubah haluan menjadi terang.

Andai aku tidak kehabisan baju ganti hari ini, aku tidak akan memilih hijab pashmina hitam yang ku kenakan sekarang.  Gerah rasanya, memakai nya di siang hari begini. Angkot yang biasa membawa ku dan Tika pulang belum juga lewat. Sementara keringat-keringat ini terus saja menetes membanjiri tubuh ku.

"Pake Ojol aja ya, Tika !"

"Tapi aku mau naik angkot, Dania."

Aku tak mungkin meninggalkan Tika sendiri disini. Meski aku sedikit jengkel dengan tingkahnya hari ini. Mungkin aku harus bersabar sebentar lagi. Tak lama lagi angkotnya pasti datang. Aneh saja nih anak, seperti orang ngidam saja. Biasanya juga naik Ojol.

"Tunggulah sebentar lagi, Dania !"

Rengek nya membuat aku luluh. Ku jawab dengn senyum tipis. Benar, tak lama menunggu, angkot merah yang kami tunggu menunjukkan wujudnya. Sudah ku duga, di jam begini pasti penuh dengan penumpang. Saat aku naik, hanya tersisa tiga kursi kosong di belakang. Sempurna sudah derita ku hari ini. Selain berjejal tempat duduk. Aku harus bersabar dengan gerah ku. Keringat terus mengucur semakin deras. Lihatlah tubuh mungil disebelah ku. Dengan begitu tenangnya dia menyandarkan punggungnya di kursi. Kabel headset tercantol di kedua telinganya. Kalau bukan karna maunya aku tak akan membiarkan diriku terbakar seperti ini.

****

"Ibu hakim ku, lagi sibuk ?"

Begitu Arya menggoda ku. Aku melirik kearah layar ponsel yang ku sandarkan di samping laptop merah ku.

"Tidak. Aku hanya merevisi  bab penutup saja. Kamu ingin mengatakan sesuatu ? Dari tadi kita video call, tapi kamu hanya memandangi ku saja."

"Iya."

"Katakan !"

"Kamu tahu bagaimana perasaan ku waktu itu, Dania ? Saat aku dengar orang kesayangan ku menyimpan perasaan kepada orang lain."

Jari ku berhenti menari di atas keyboard. Aku sendiri tak bisa melukiskan apa yang Arya rasakan. Tapi, aku tahu itu cukup sakit. Seperti saat dia bermain semak liar waktu itu. Durinya pun mengenai ku.

Aku berusaha terlihat baik-baik saja.

"Aku sakit, Dania."

"Maaf."

Hanya kata itu yang mampu keluar dari rongga mulut ku.

"Aku sudah memaafkan. Bukan tentang aku yang ingin aku bahas."

Arya menghentikan bicaranya. Menarik nafas.

"Kamu pastinya tahu bagaimana perasaan Eliza jika, dia tahu semuanya. Tentang hubungan gelapmu dengan Fathur. Kamu mencintai kejujuran, Dania. Makanya, kamu berani mengakuinya padaku. Tapi, kenapa kamu tidak mengakuinya juga pada Eliza ?"

"Situasinya berbeda, Arya. Jika aku melakukannya hubungan mereka akan terancam."

"Lalu bagaimana jika Fathur lebih dulu mengakuinya. Bahkan fathur bisa saja mengarang cerita seolah kamu yang bersalah."

"Aku tak punya keberanian."

"Bukan. Tapi, karena kamu terlalu mencintai Fathur. Tanpa kamu sadari dia hanya menjadikan mu alat."

"Ini bukan soal cinta, Arya."

"Sampai kapan kamu akan menyembunyikannya. Esok, dia pasti tahu. Aku akan membantu mu, Dania. "

"Tapi ini beresiko, Arya."

Aku memegangi kepala ku yang mulai pening. Keputusan yang sulit bagi ku.

****

Perkataan Arya terus terngiang. Mencipta ketidaknyamanan tersendiri untuk diriku. Tidur ku tak nyenyak. Tapi setelah ku pikir-pikir,. Omongan Arya ada benernya. Eliza berhak tau bagaimana perilaku tunagannya. Tapi, niat ku ini hanya sebatas menghargai perasaan Eliza atau karena merasa tak terima dengan semuanya. Aku ambigu. Aku dilema besar. Aku takut ini hanya ambisi. Tapi, mengingat janji itu, kebohongan itu benar-benar membuat otak ku mendidih.

"Ada apa, Dania ?"

Ketidaknyamanan ku terbaca oleh Tika.

"Arya seperti menuntut keadilan. Dia meminta ku untuk menceritakan semuanya pada Eliza."

"Gila. Itu sama saja menjebak mu di kandang buaya."

"Aku bingung, Tika. Ini sangat beresiko. Tapi setelah ku pikir-pikir Arya ada benarnya juga. Bagaimana pun Eliza juga berhak tahu."

"Tapi bagaimana kalau malah kamu yang di anggap dalangnya ?"

" Aku yang memulai, maka aku juga yang harus tanggung jawab."

Tika berseru setuju. Keputusan ku membuatnya diam tak bergeming.

"Tidurlah, dania ! Besok kita bicarakan lagi."

Aku ikut menarik selimut. Sudah benar-benar larut.

****

"Sudah kamu pikirkan, Dania ?"

"Jangan bahas itu sekarang !"

Aku bergegas menyusuri lorong-lorong campus.

Buuuk...

Seseorang menabrak ku. Eh,, tidak. Mungkin, aku yang menabraknya. Kamus bahasa ku beradu dengan lantai.

"Pak Rayhan."

"Maaf, pak. Saya...saya...."

"Aduh,,,Dania. Makanya jangan Meleng. Maafkan teman saya ini, pak."

Tika sudah memulai aksinya yang menjijikkan. Dia memungut buku-buku ku yang berserakan di lantai. Sedangkan dosen itu, apa yang terjadi. Matanya tertuju padaku. Raut wajahnya datar. Tak ada ekspresi yang tergambar disana. Masalah apalagi ini. Aku berjongkok di samping Tika, ikut memungut buku ku.

"Ish,,, kemana perginya dosen tampan, itu ?"

Tika celingukan kesana kemari. Pak Rayhan sudah tak ada. Syukurlah, akhirnya aku bisa bernafas lega.

"Jangan-jangan dia hantu, Dania. Kok tiba-tiba hilang tanpa suara langkahnya."

"Mungkin dia punya keahlian terbang Tika."

Aku menjawab sembarang. Agar Tika tidak selalu menaburi ku dengan pertanyaan konyol nya. Jika tak begitu dia tidak akan berhenti menanyakan apa yang ada di kepalanya. Aku mempercepat langkah menuju perpustakaan.

Ting....

Ada pesan WhatsApp. Nomor tak dikenal.

jangan lupa sarapan !

Aku tak sempat bertanya. Aku terburu-buru mencari referensi untuk tugas Minggu ini. Tika bertandang di meja baca paling pojok. Sedang asyik mengobrol dengan anak kelas sebelah. Dia mana tertarik untuk meminjam atau membaca buku. Dia hanya terlatih menarik selimut dan bercengkrama dengan bantal beranjang.

Ku lihat lagi hp ku. Kali ini, aku penasaran dengan pengirimnya. Tak ada fotonya. Jiwa detektif ku mencuah. Hanya lambang kebesaran campus. Berarti sudah jelas dia dari campus sini. Tapi siapa ?

"Siapa ?"

5 menit. Hp ku berdenting  lagi.

"Manusia."

Ku abaikan.  Dia tak punya keperluan padaku. Hanya ingin main-main mungkin. Atau hanya ingin ngajak kenalan. Introgasi ini dan itu. Itu sudah lumrah. Ujung-ujung ada maksud tertentu nantinya. Bodo amat.

****

2 panggilan ku tak kunjung tersambung. Aku sudah memikirkannya baik-baik. Dan aku berambisi ingin mengatakan semuanya. Kejadian itu.  Dia juga berhak tahu seperti apa laki-lakinya. Mimpi ku siang ini memberikan dorongan untuk mengungkap kebenaran. Fathur bisa saja menceritakannya sendiri. Dan yang aku takutkan, Eliza hanya mendengarkan atau bahkan percaya pada satu pihak.

"Maaf. Tadi aku mandi. Kenapa ?"

"Aku sudah putuskan untuk mengatakannya."

Arya tersenyum. Aku sudah siap dengan segala resikonya. Meski diluar kendali ku sekalipun.

"Lakukan seperti yang telah kamu rencanakan !"