Tika
Sudah tiga hari Dania tidak ikut kelas. Bahkan dia juga rada enggan menyentuh makanannya. Dia sangat terpukul. Patah hati menyiksa dirinya. Mengurung dirinya di kamar menjadi pilihan terakhirnya. Aku kehabisan cara membujuk nya. Keras kepala yang menjadi tabiat Dania membuat ku kewalahan mencari solusi. Aku gusar, bahkan saat aku mengikuti kelas hari ini, pikiran ku masih bertandang di rumah kost kecil itu.
Kira-kira apa yang di lakukan Dania disana ya, tidur atau masih berteman dengan tangisnya karna kejadian kemarin.
"Srrrttt,,,,"
Aku menoleh ke arah suara.
"Dania mana ?"
Anjas selalu menanyakan sesuatu di waktu yang kurang tepat. Kelas baru saja di mulai. Dia mau aku menjelaskan tentang Dania sekarang. Aku hanya menggeleng.
***
Kelas bubar. Anjas memotong langkah ku.
"Dania mana ?"
"Dania sakit dari kemarin."
"Why ?"
"Jangan berisik deh ! Entar aku ceritain kronologi nya, sekarang aku harus pulang. Aku takut Dania melakukan hal-hal aneh."
"Aku antar kamu pulang."
Tanpa basa-basi lagi. Aku dan tunangan ku bergegas pulang.
***
Saat aku membuka pintu. Aku tak menemukan tubuh Dania disitu. Tidak ada siapa-siapa di ranjang. Aku mencari ke setiap sudut. Kamar mandi bahkan dapur sekalipun.
"Dania...!"
Wajah ku pias. Aku berteriak memanggil-manggil namanya. Anjas ikut membantu mencari. Aku bertanya ke anak-anak kost lainnya. Apa mereka melihat Dania. Hanya satu orang yang belum ku tanyai. Laki-laki paruh baya yang menjemur pakaiannya di bawah terik matahari disana. Sebenarnya hati ku enggan untuk bertanya. Tapi, kecemasan ku mengalahkan rasa takut akan dirinya.
"Maaf. Anda melihat teman sekamar ku ?"
Laki-laki itu menoleh ke arah ku. Tangan ku meremas tangan Anjas yang berdiri di belakang ku.
"Dania ?"
Aku mengangguk.
"Cobalah cari ke taman belakang masjid. Aku tadi melihatnya membawa mukenah. Mungkin dia masih disana."
Aku berlari ke arah gerbang. Sebelum melanjutkan langkah, aku berbalik melihat ke arah laki-laki paruh baya yang masih mematung disana.
"Terima kasih."
Ucap ku. Dia mengangguk.
***
Dania
Aku lupa sudah berapa lama aku menikmati sakit ini. Yang ku ingat hanya saat tubuh ku mengambang kemudian terjatuh di lumpur yang mengerikan. Moment yang membuat ku jatuh lalu-lantak begitu saja. Itu yang tak bisa memudar di ingatan.
Saat seperti ini, aku merindukan suasana rumah. Anginnya yang bersahabat. Pepohonan rindang yang daunnya melambai Ria padaku. Tak terasa sudah dua tahunan lebih, aku jauh dari keluarga.
Air mata ku mengering lagi. Aku semakin betah berlama-lama disini. Tenang dan damai. Ku lipat mukenah yang menjuntai agar tak menyentuh tanah.
Ahh,,, aku ingat sesuatu. Sudah jam satu siang. Tika pasti sudah pulang.
"Dania..!"
Suara Tika. Aku tersenyum.
"Kamu hampir saja bikin jantung ku copot. Aku pikir kamu hilang atau mungkin kemana."
Aku bangkit berdampingan dengannya. Mengajak pulang. Di susul Anjas dari belakang.
***
Aku menatap wajah ku dikaca. Ada perubahan signifikan. Badan ku mulai mengecil. Wajah di Pantura cermin itu terlihat pucat dan satu lagi yang tak bisa ku sembunyikan, lingkaran hitam di bawa mata ku. Terlihat menyeramkan. Orang menyebutnya mata panda.
Berkat Tika, ada keinginan untuk kembali memulai. Dorongan darinya membuat jiwa ku kembali hidup. Saatnya untuk melanjutkan hidup. Meski lukanya masih menggetah. Sakitnya masih perih ku rasa. Menjalar di seluruh pembuluh nadi ku. Langkah yang ku ambil adalah berdamai dengan sakitnya.
"Tika, Arya menghubungiku. Dia menelfon ku berulang kali tapi, tak terjawab."
"Iya kah ? Saatnya kamu memperbaiki semuanya, Dania. Sudah cukup berhari- hari kamu mengurung diri. Menyesali perbuatan mu sendiri. Tak ada senyum dari bibir mu lagi. Aku merasa kecewa pada diriku sendiri. Disaat teman ku berada di titik paling hancur, aku tak bisa berbuat apa-apa. Kali aja dia benar-benar orang yang kamu cari."
Tika mengusap air matanya. Aku telah membebaninya. Bahkan saat aku sendiri yang berulah. Dia malah menyalahkan dirinya sendiri. Tak akan aku dapati sahabat seperti dirinya di diri orang lain.
"Sudah ! Sekarang Dania mu ini baik-baik saja. Tak ada yang perlu kamu khawatirkan lagi. Mulai sekarang kamu akan melihat senyum manja dari ku lagi."
Sekuat tenaga aku tersenyum. Meski bertolak belaka dengan apa yang aku utarakan.
"Besok ada kelas. Dan aku dengar, ada dosen baru yang akan menggantikan prof. Guntur buat beberapa bulan ke depan."
"Oh iya ?"
"Iya. Dia lulusan terbaik dari Kairo. Orangnya tampan, Dania."
"Kamu sudah pernah melihatnya ?"
Tika menggeleng.
"Lalu ?"
"Katanya sih,,,"
Kali ini dia nyengir seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tawa kami pecah. Ini tawa pertama ku setelah berhari-hari ku ikat dengan kuat.
***
"Kamu menelfon ku ?"
"Iya."
"Kenapa ?"
"Aku ingin mengulang semuanya dari awal. Itu pun kalo kamu sendiri punya kemauan."
"Aku tak salah dengar ? Kamu sudah tahu kebenarannya. Dan kamu masih memilih ku."
"Aku bisa apa, Dania ? Saat hati ku menolak melupa, kamu pun selalu menghantui mimpi ku."
"Hanya sebatas mimpi, Arya. Ketika kamu terbangun, kamu akan melupa dengan sendirinya."
"Jangan mencoba menguji ku. Atau kamu ingin menyiksa ku dengan perasaan ku sendiri ?"
Diam mencekam. Aku takut. Ini hanya siasat. Sebuah cara baru untuk memenangkan hati ku. Lalu mengelabui ku. Siasat balas dendam atas apa yang telah aku perbuat.
"Aku sudah memaafkan mu, Dania."
"Sudah. Kita jalani saja dulu."
Aku tak punya jawaban lain. Perasaan bersalah kembali terngiang. Dengan mudah dia memaafkan aku begitu saja. Setelah perbuatan ku yang menghancurkan masa depan hubungan ku dengannya.
"Thanks, Dania ."
Malam ini, aku di temani Arya. Mengobrol banyak hal hingga larut. Rutinitas yang sama yang Tika lakukan setiap malam dengan Anjas. Hanya bercengkrama lewat telepon seluler. Suasana menghangat. Luka ku berangsur tak berbau menyengat. Semoga tak memakan waktu lama untuk sembuh. Semoga lekas mengering.
"Dania..."
"Emmm..."
"Jangan terlalu berharap pada siapapun. Hal yang paling menyakitkan adalah menaruh harap pada sesama manusia."
Aku mengangguk. Ku tarik selimut untuk menyelimuti tubuh ku. Waktunya tidur.
"Selamat tidur, Tika."
"Selamat tidur, Dania."
Hening. Terlelap dalam dunia mimpi.
***
Sekarang aku lebih dari paham dengan apa yang memang di takdirkan untuk ku. Aku pernah mencoba melawan takdir, dan ternyata aku gagal. Aku mengangkat tinggi senjata ku. Takdir malah dengan mudah membaca serangan ku. Semakin ahli pula mempermainkan ku. Aku memilih diam. Pasal menerima, aku belum mempelajarinya. Bagaimanapun egois itu pasti ada. Mengendalikannya tak cukup hanya dengan berontak atau pun belagak. Melainkan dengan keikhlasan dan hati yang cukup lapang.