"Jangan pernah bermain api, jika dirimu tak ingin terbakar, Dania ! Setelah ini, laki-laki yang seperti apa lagi yang akan kamu biarkan menghancurkan hati mu semakin parah ? Kemarin Arya, sekarang Fathur, lalu esok siapa lagi, ha ?"
"Bahkan aku sudah pernah katakan, Dania. Orang yang benar-benar menyayangi mu adalah mereka yang menggambarkan keseriusan di kehidupan mu. Bijak lah dalam memilih, Dania ! Kita sudah dewasa bukan saatnya bermain-main lagi."
Isak ku mulai reda. Ada seseorang yang berusaha menahan tangisnya di hadapan ku. Menyembunyikan bulir berharganya dengan mengalihkan pandangannya dari ku. Aku paham, dia ingin menguatkan ku. Dia ingin mengembalikan semangat di jiwa ku.
"Siapa saja bisa mengkhianati kita. Bahkan saudara sendiri pun bisa melakukannya. Apalagi mereka yang kita sendiri belum kenal betul."
Aku menatap ke arah lantai. Yang Tika katakan benar. Aku terlalu mengikuti hasrat ku.
***
Jiwa keingintahuan ku tentan Arya malah membuat diriku terjebak di perangkap yang ku buat sendiri. Aku yang ceroboh. Tak pernah terlintas sebelumnya jika semuanya akan se pelik ini. Aku yang begitu pasrah membiarkan perasaan ku terhanyut semakin jauh. Semakin jauh dari jangkauan. Angin pun terus membawanya berlayar. Bodohnya aku gagal membaca situasi. Cuaca memburuk. Pertanda badai akan datang.
Angin berhembus semakin kencang. Kemudian gelap. Tak ada sedikit pun semburat cahaya yang menemani rasa ku berlayar. Aku tak takut dia berubah haluan, tidak. Karena aku sudah pastikan rasa itu berlayar ke arah yang tepat. Aku hanya takut badai menerjang nya. Membuatnya kehilangan keseimbangan. Di ombang-ambing oleh keadaan. Dan kali ini ketakutan itu terjadi. Benar-benar terjadi padaku. Rasa itu terhempas badai. Perahunya tak cukup kuat untuk menopangnya. Ia terjatuh. Tenggelam. Terjun menuju dasar nya. Tak ada yang bisa dia lakukan selain mengikuti arus yang membawanya tenggelam. Gelap. Tak berdaya.
" Ayo hentikan tangis mu ! Orang yang seperti itu tak pantas membuat air mata mu terkuras. Kamu harus kuat. Bangun, bersihkan dirimu ! Sebentar lagi sudah petang."
Aku mendongak. Ku raih handuk yang Tika sodorkan. Dia adalah sahabat sekaligus seperti Kaka bagi diriku sendiri. Usia ku dan usianya hanya terpaut satu tahun.
"Aku harap kamu akan berhenti melakukan hal sebodoh ini, Dania."
Bisik Tika tepat di daun telinga kiri ku. Tak ku jawab. Aku terus berjalan ke arah kamar mandi belakang. Aku tak berminat untuk mendengar apapun. Hati ku sedang tuli.
***
Madura, Rumah Dania.
"Aku sudah menelfon Dania kemarin."
Wanita paruh baya itu menghampiri laki-laki yang tengah asyik bergelayut dengan koran di genggamannya. Menyodorkan kopi yang dia buat tepat di meja persegi panjang dari kayu itu.
"Bagaimana tanggapannya ?"
Laki-laki paruh baya itu menghisap kopi yang dibuat kan istrinya dengan perlahan. Asap yang mengepul adalah bukti bahwa kopi yang laki-laki itu nikmati masih panas.
"Dia seperti menggurui ku. Harusnya kamu sendiri tahu bagaimana menghadapi sikap Dania yang keras kepala itu."
"Jangan terlalu di pojok kan, Bu ! Bicarakan baik-baik. Dia masih belum paham saja."
Ibu Dania menoleh.
"Tapi, Yah. Di tradisi kita jika, usia seperti Dania sudah waktunya menikah. Aku tak tahu bagaimana tanggapan tetangga kita nantinya jika Dania terus menolak untuk menikah."
"Kamu terlalu memikirkan omongan teman-teman mu itu, Bu. Dania juga punya hak untuk mengatakan keinginannya. Dan kita juga harus menghargai maunya. Dania lah yang akan menjalaninya, nanti."
Wanita itu melamun. Menatap ke arah luar jendela. Sudah di pastikan kala lamunan merenggut sadarnya, dia hanya merindukan masa kecil Dania. Mengingat kenangan lamanya yang begitu kelam. Tak tahu seperti apa dia sekarang jika dulu dia tidak pernah mengambil jalan ini.
Dalam benaknya hanya ada Dania dan Dania. Anak gadis keduanya yang dia rawat sepenuh hati. Yang tak pernah dia biarkan siapapun menyakitinya, termasuk Kaka kandungnya sendiri.
Sifat dan sikap Dania yang membuat nya terlihat berbeda dari saudaranya, Melani. Usianya 34 tahun. Tapi keangkuhannya dan ketertarikannya pada dunia membuat dirinya sendiri terlupa harus membawa dirinya ke arah mana.
Berbeda dengan Dania. Tak jarang dia mengalah demi Kaka nya. Selalu mengutamakan keluarga di banding dirinya sendiri. Saat kakanya sendiri membentak ibunya, maka Dania tidak akan tinggal diam. Dia akan mengangkat kepalanya di depan kakanya. Di akan melakukan hal yang sama seperti yang kakanya lakukan terhadap ibunya.
Maka dari itu, Dania selalu punya tempat tersendiri di hati ibunya. Selain itu, Dania adalah anak yang penurut. Sedari kecil dia tak pernah merengek meminta di belikan mainan seperti pada kebanyakan anak lainnya. Dia memahami keadaan ibunya yang hanya seorang diri membanting tulang demi menghidupinya dan kakanya. Ibu sekaligus bapak baginya.
Itu alasan mengapa Dania tak pernah menentang kemauan ibunya. Dia selalu patuh akan titah nya.
***
Jakarta, Kamar kost.
Tika melirik ke arah ku duduk. Aku lebih banyak diam sekarang. Tak ada tenaga untuk menyuarakan apapun. Aku Aldi sibukkan dengan pikiran ku. Tragedi sore ini, benar-benar memberikan penekanan padaku. Adakalanya , dulu aku tak memberanikan diri untuk mendekat. Ah,, nasi sudah menjadi bubur. Percuma. Yang tersisa hanya penyesalan.
"Besok kita berangkat pagi kan, Dania ?"
Tika memutar kursinya menghadap ku. Mencoba memecah kesunyian. Mengajak ku bicara. Aku menggeleng. Dia menatap ku tanpa bersuara.
"Aku tidak akan ikut kelas besok. Keadaan ku masih tidak baik."
Tika hanya bisa berseru pelan. Siapa yang akan bisa menghentikan kemauan ku. Ku rasa Tika juga kehabisan cara membujuk ku. Atau dia memang ingin aku istirahat dulu. Tapi , biarlah . Aku benar-benar tak ingin kemana-mana . Suasana hati ku masih buruk.
Aku saja belum memastikan aku bisa tidur nyenyak malam ini atau tidak tidur sama sekali. Setelah mengetahui kebenarannya , Arya pun belum mengabari ku sejauh ini. Dia butuh waktu buat sendiri. Mungkin saja, dia tidak akan pernah bisa memaafkan ku. Bahkan mungkin dia telah membenci ku.
Aku sangat lelah hari ini. Hati ku juga begitu. Andai ruangnya tak kedap suara, aku pasti bisa mendengar rintihnya kala pusaka itu mengiris ulunya. Sayangnya, aku hanya bisa merasakan sakitnya. Tiap kali aku teringat tentang pengkhianatan itu, rasanya sesak. Dada ku sakit. Tapi bibir ku diam. Mata ku lah yang bersuara lewat bahasanya sendiri.
***
"Dania, kau berjanji mengajak ku makan malam ini."
Tak ada cela bagi Tika untuk mengajak ku bicara. Dia tak membiarkan aku tenggelam dalam lamunan ku.
"Aku lagi malas keluar, Tika. Jika kamu mau, aku akan ambilkan uangnya untuk mu, kamu bisa membelinya sendiri."
"Tidak, Dania. Bagaimana kalau tetangga sebelah membuntuti jalan ku. Lalu menculik ku dan membawa ku ke suatu tempat. Siapa yang akan menolong ku ?"
Aku tersenyum. Tika tak pernah gagal membuat senyum ku tergambar. Setiap dia menyebut tetangga sebelah entah mengapa aku ingin terus tertawa. Sikap kekanak kanakannnya membuat aku tak pernah berhenti menahan tawa. Dimana akan ku temui sahabat yang seperti dirinya
Tika melompat ke ranjang. Memeluk ku. Menenangkan ku. Hanya dia satu-satunya yang paham tentang perasaan ku.