Esoknya, tepat saat jam pulang kerja. Arya menelfon ku. Semoga apa yang ku lakukan kemarin belum tercium oleh nya.
"Sedang apa ?"
"Duduk saja, kamu sudah pulang kerja ?"
"Iya."
Hanya percakapan datar. Lebih banyak diam dalam lamunan masing-masing. Seperti orang asing pada lazimnya. Cukup bertegur sapa.
"Masih komunikasi sama Fathur ?"
Aku kaget. Dia membahas Fathur. Topik yang ku hindari sedari tadi. Dan tentang sesuatu yang ku tutup-tutupi.
"Tidak. Biasa saja."
Jawab ku sedikit gugup. Rambut halus di lengan ku mulai berdiri. Aku benar-benar takut dia curiga.
"Aku sudah pernah bilang, jangan terlalu dekat dengannya. Takut tunangannya tahu, nantinya yang ada malah salah paham."
"Iya engga kok."
Aku bingung. Antara percaya dan tidak. Bagaimana pun Arya temannya. Sedikit banyak dia pasti tahu banyak hal. Apalgi, tentang Fathur. Seperti yang Fathur tahu tentang dirinya juga. Aku ingin melontarkan sesuatu tapi, aku takut nantinya malah mencelakai diriku sendiri.
"Tapi bukannya mereka sudah gak ada hubungan. Katanya sih,cincin tunangan Eliza sudah di kembalikan padanya."
Aku mengumpulkan keberanian untuk membahas hal ini. Ya, aku tahu namanya, Eliza. Karena beberapa hari yang lalu aku melihat nama itu di messenger Fathur. Percakapan lama yang sudah di blokir. Tapi aku tahu isinya. Fathur tidak menghapusnya.
" Kamu tidak tahu kebenarannya, Dania. Karena tidak dekat dengannya. Kemarin malam mereka jalan berdua."
***
Semilir angin berhembus begitu kencang. Membuat mata ku terpejam beberapa saat. Ketika aku membuka mata, perlahan ada bulir merangsek ingin jatuh. Ada belati yang menyentuh salah satu sisi hati ku. Dari arah yang tak di sangka-sangka. Menggores perlahan tapi pasti. Pengakuan Arya telah menenggelamkan ku dalam lautan yang cukup dalam. Aku hilang keseimbangan. Hanya berpegangan pada apa yg telah aku yakini. Tapi, aku mencoba kuat di depan Arya. Agar tak ada kecurigaan. Agar aku tak menyakiti perasaannya. Aku harus tenang. Kebenaran belum dipastikan. Masih ada satu harapan. Semoga apa yang di katakan Arya berbeda dengan yang akan di katakan Fathur nantinya.
"Waktu itu, aku menginap disana, Dania. Jadi aku tahu betul saat mereka pergi keluar."
Benar. Setiap hari Minggu Arya menginap di kontrakan Fathur. Apa yang harus ku lakukan kali ini. Bulir itu jatuh. Aku tak bisa lagi menahannya. Aku seperti mendengar suara belati yang mengiris hati ku. Sakit. Siapa yang kejam disini. Arya dengan sikap tak pedulinya hingga menyebabkan aku lebih nyaman dengan orang lain. Fathur yang dengan kebohongannya berhasil membuat hati ku porak-poranda. Atau aku yang dengan bodoh nya mempercayai hal yang tak tahu kebenarannya.
"Kenapa, Dania ?"
Aku mulai terisak. Mulut ku tetap saja bungkam. Aku menikmati sakit ini. Ku telan pahit-pahit racunnya. Biarkan darah ku berhenti mengalir.
"Dania.."
"Apa yang terjadi ?"
Aku mencoba tenang. Mengatur nafas agar tak tersengal. Kemudian aku beranikan diri mengakui kebodohan ku. Aku menceritakan semuanya tanpa ada yang terlewat. Arya tenang mendengarnya. Saat aku selesai bercerita. Air mata ku makin tumpah tak terhitung tiap tetesnya. Arya memutuskan sambungan secara sepihak. Aku paham perasaannya. Tapi tak mungkin bagi ku untuk menyembunyikan hal sebesar ini darinya semakin lama lagi. Semua keputusan di tangannya. Aku siap jika dia harus membuang ku.
***
Aku sendiri di kamar. Terdiam di pojok kamar dengan posisi yang miris. Kedua kaki meringkuk di dada. Kedua belah tangan ku memeluknya. Untunglah Tika ada kelas sore ini. Jadi, dia tidak melihat insident memilukan ini.
Ku hubungi seseorang disana. Masih hari Selasa. Masih hari libur. Cemburu, sakit, kecewa teraduk menjadi satu. Aku ingin mendengar kebenarannya. Meski itu menyakiti perasaan ku sendiri. Meski jawabannya akan menikam ku nantinya. Setidaknya aku tidak dipermainkan oleh kenyataan.
"Matamu sembab, Dania. Habis nangis atau baru bangun tidur ?"
"Aku ingin bertanya."
"Tentang apa ?"
"Malam Senin kemarin, kamu jalan sama Eliza ?"
Emosi ku membara. Tak perduli siapa yang ada di balik layar ponsel ku. Aku hanya menuntut kebenaran.
"Jawab !"
Fathur masih terdiam. Dia menimbang atau sedang memikirkan cara untuk berbohong lagi atau bahkan sedang menyusun beberapa kosa kata. Entahlah apalagi yang dia tunggu.
"Iya, Dania."
Cukup sudah. Pengakuannya sudah berhasil membuat hati ku hancur berkeping-keping. Tak ada lagi harapan. Hanya menyisakan mimpi yang perlahan mulai terkubur. Dia hanya menjadikan ku pelampiasan dalam hubungannya. Dia juga tak lebih hanya bermain. Dia menjadikan ku barang mainan.
Hati ku serasa terbakar. Panasnya menyebar ke seluruh tubuh. Bahagia yang dia janjikan hanyalah penenang. Dia pernah berujar, dia sangat tak tega melihat seorang wanita menangis di hadapannya. Di depan matanya. Kalimat itu membuat aku yakin dengan memilihnya tak akan ada alasan lagi untuk menjalani hari ku dengan air mata. Takkan lagi ada tangis kekecewaan. Saat kalimat itu di ucap, aku percaya bahwa dia tak akan menggores luka di hati yang telah lama rapuh ini. Tapi aku keliru. Keliru besar.
***
"Dania, kamu kenapa ?"
Tika menghambur ke arah ku. Menghampiri ku dari kejauhan. Melempar tas kuliahnya di sembarang tempat.
"Kamu menangis, Dania. Kondisi mu. Ada apa ?"
Raut wajah Tika kebingungan. Aku memeluknya. Kalimatnya membuat tangis ku semakin meledak-ledak. Aku semakin tak kuat menyembunyikannya.
"Tenangkan dirimu, Dania. Ayo ceritakan padaku !"
Tika mengelus pundak ku lembut. Mencoba memberi ku ketenangan. Isak ku semakin menggebu.
"Ayo, Dania!"
Paksanya seraya menggoncang bahu ku.
Aku mengambil nafas. Dengan nafas yang tidak beraturan, aku mencoba membuka mulut.
"Fa...fath..Fathur."
Bibir ku bergetar saat menyebut nama itu. Hati ku meringis. Serasa diriku di kuliti hidup-hidup oleh perasaan ku sendiri. Tika berangsur melepas pelukannya dariku. Menatap ku penuh rasa iba. Aku bisa membaca sesuatu dari binar matanya. Ada rasa sakit yang juga dia rasakan. Kedua tangannya meremas tangan ku. Ada amarah yang menyelubunginya. Dia mencoba menahannya. Sahabat mana yang akan diam saja saat sahabat baiknya si sakiti orang lain. Sahabat mana yang akan tinggal diam. Amarah sudah memenuhi jiwa Tika.
Rasanya berbeda. Saat aku tahu kebohongan Arya kemarin, aku pikir itu adalah sakit yang paling hebat. Sakit yang luar biasa ku rasa. Tapi kali ini kenyataan menyadarkan ku. Pepatah tak pernah salah, Di atas langit masih ada langit. Ada sakit yang lebih hebat daripada saat itu. Sakit yang lukanya tiada Tara. Sakit yang sedang ku nikmati saat ini.
Aku tak ingin berbagi perihal ini. Justru Tika lah yang memaksa ku agar berbagi pilu ku. Memaksa ku untuk buka mulut disaat hati ku menolak untuk bercerita.