Chereads / Tentang Aku Kau dan Dia / Chapter 9 - Sebuah kabar

Chapter 9 - Sebuah kabar

Matahari mulai lengser. Perlahan bergerak ke arah barat. Sinarnya mulai memucat. Panasnya tak begitu menyengat lagi. Sore mulai menyingsing.

"Jadi yang mau pulang ?" Tanyaku.

Dia mengangguk yakin. Badan ku sudah mengaduh lelah. Merindukan tempat bertapanya. Secara tidak langsung merengek meminta pulang. Terbayang di pelupuk mata ku, bayangan ranjang Doraemon biru ku. Kami memesan Ojol berbarengan di depan rumah makan sederhana itu. Namun berbeda arah. Tak sejalan. Perut ku sudah terisi. Sepertinya penghuninya sudah anteng atau kekenyangan, mungkin.

***

Ojol pesanan ku tiba lebih awal. Aku membantah untuk pulang lebih dulu. Ada inisiatif untuk menunggu hingga Ojol pesanannya tiba.

"Tidak apa-apa, Dania. Pulanglah ! Bentar lagi Ojol pesanan ku akan segera tiba."

Senyumnya menjanjikan ketenangan. Sepertinya dia lebih mengkhawatirkan diriku. Akhirnya aku mengangguk patuh.

"Aku pulang duluan, ka."

Fathur mendekat. Menghentikan langkah ku untuk meraih helm yang dia sodorkan Abang Ojol. Aku menoleh ke arahnya. Tangannya menggenggam lengan ku. Se detik. Dia mendekatkan wajahnya padaku. Semakin dekat. Rasanya jarum jam pun berhenti berdenting. Menyisakan detak kencang jantung ku yang tak terkontrol. Tanpa aba-aba mata ku terpejam. Aku paham, genggamannya adalah isyarat agar aku tak berontak.

***

Sesuatu menyentuh kening ku. Memberikan aura yang berbeda. Jantung ku semakin tak terkendali. Fathur mencium kening ku.

"Hati-hati ! Kabari aku kalo sudah sampai rumah !"

Aku mengiyakan. Moment ini yang nantinya akan menjadi alarm ku untuk selalu terjaga dan mengingat sosoknya.

***

"Mana buah tangan nya, Dania ?"

Baru selangkah aku memasuki rumah kost. Tika langsung mengintrogasi ku. Apalagi yang bisa dia katakan setiap melihat temannya baru pulang. Karena di otak nya hanya di penuhi dengan makanan, makanan dan makanan saja.

"Aku tak tahu apa yang ingin kamu makan hari ini, Tika."

"Ah,,, Dania pelit."

Dia merengek manja di ranjangnya. Rambut panjangnya kusut sepeti tumpukan jerami. Sepertinya Tika hanya rebahan saja sedari tadi pagi.

"Besok saja kita makan diluar." Bujuk ku.

"Siap, Dania."

Tika mengedipkan mata manjanya. Ku tata sepatu ku. Mencuci muka dan kaki. Lalu berbaring. Setelah memberi tahu Fathur bahwa aku sudah tiba dirumah, ku paksa mata ku mengatup. Badan ku benar-benar ambruk.

***

Tangan ku meraba. Terus mencari sesuatu. Mengikuti arah suara. Terasa pekik di telinga. Terus saja mengalun. Mata ku masih mengatup. Lelah menggerogoti tubuh ku. Aku menyentuhnya. Ku geser. Ku tempelkan di daun telinga.

"Assalamualaikum, Dania."

Suara itu. Aku tersentak. Ku ambil posisi duduk secara tiba-tiba. Membenarkan posisi ponsel di telinga. Ibu menelfon. Ibu jarang menelfon ku. Jika dia menelfon, pasti ada sesuatu yang penting.

"Waalaikumsalam, Ibu."

"Bagaimana kabarmu, Nak ?"

"Baik, Bu. Ibu sendiri dan yang lainnya, bagaimna ?"

"Alhamdulillah. Dengan izin Allah kami baik-baik saja, Dania."

"Apa yang sedang kamu lakukan sekarang, Dania ?"

"Tidak. Aku tidak sedang melakukan apapun, Bu."

Tangan ku bergetar. Apa yang sebenarnya ingin ibu katakan. Dia sepertinya mengulur waktu atau hanya basa-basi menanyai ku banyak hal.

"Berapa usiamu sekarang, Dania ?"

"19 tahun, Bu."

"Semester berapa kuliahmu ?"

"Semester 5, Bu."

Aku semakin merasa ketakutan. Tapi rasa penasaran membuat aku tetap menunggu kelanjutan kata-kata ibu.

"Usiamu sudah memasuki syarat menikah, Dania."

Deg. Ada apa ini. Kenapa ibu menyinggung perihal itu. Firasat ku memburuk. Usia ku baru 19 tahun. Menikah semuda ini bukan lah ingin ku. Ibu terus melanjutkan kata-katanya.

"Ustadz Alfin kemaren menemui Ayah mu. Dia punya niat baik dengan mu. Dia ingin menjalani ta'aruf bersama mu."

Inilah intinya. Ini yang harus ku dengar. Kenyataan pahit atau manis kah. Seketika lelah ku lenyap. Menyisakan bimbang atas kabar baru ini.

"Tidak, ibu. Aku belum ingin menikah. Lagipula pernikahan bukan hal yang main-main. Butuh kesiapan yang matang untuk memulainya."

Aku mencoba meyakinkan ibu.

"Kamu sudah cukup dewasa Dania."

"Dewasa bukan perihal umur, Bu. Dewasa yang sesungguhnya adalah sebuah tindakan dan pemikiran. Dan aku rasa aku masih terlalu takut, Bu."

"Apa yang kamu takutkan, Dania ?"

"Aku takut tak bisa menjalaninya, Bu. Pernikahan bukan bahan percobaan, Bu. Aku sungguh masih ingin mencari ilmu."

"Jangan jadikan ilmu sebagai tameng mu, Dania. Ilmu bisa di dapat dimana saja dan dari siapa saja. Tidak hanya di bangku pendidikan."

Ibu terus saja mendesak ku. Tapi pendapat ku bertentangan. Aku tak pernah ingin mengalah dalam debat, tapi kali ini berbeda. Lawan bicara ku bukan orang lain. Melainkan, ibu ku sendiri.

"Jika begitu pemikiran ibu. Lantas, untuk apa ibu menyekolahkan ku tinggi-tinggi."

Ibu diam. Tak ada lagi suara. Hanya desiran angin yang ku dengar. Deru nafas ibu yang bisa ku cerna di telinga ku.

"Pikirkan baik-baik, Dania. Jangan pernah berbuat kesalahan. Atau ayah tiri mu akan kecewa."

Ibu selalu mementingkan perasaan ayah tiri ku. Tanpa mau tahu bagaimana dengan perasaan ku.

"Dania hanya tak mau di jodohkan, Bu."

Aku mencoba membuat ibu paham maksud ku.

"Kamu punya calon sendiri ? Kalau begitu, libur semester kali ini bawa calonnya ke rumah. Tunjukkan pada ayah mu."

Aku tidak mengatakannya begitu. Ibu sangat berambisi untuk menjodohkan ku. Tahun kemarin ibu sudah menanyai ku ini dan itu. Soal kriteria laki-laki seperti apa yang akan ku jadikan suami. Tak jarang ibu selalu mengolok ku, jika ada anak tetangga yang sudah menikah. Bahkan anak di bawah usia ku ada yang rela memutuskan pendidikan hanya untuk memenuhi keinginan orang tuanya. Menikah muda. Itu tradisi di desa ku.

Sambungan terputus. Ibu mematikan sambungan secara sepihak. Ada rasa sakit di dada. Karena berani menentang kemauan ibu. Sedari kecil aku tak pernah menentang. Aku selalu mematuhi inginnya. Tapi bukankah aku juga punya hak untuk menyuarakan ingin ku. Secara tidak langsung jawaban ku menyakiti perasaan ibu. Tapi aku tak punya pilihan lain.

***

Malamnya, aku masih saja memikirkan perkataan ibu. Menusuk hati secara perlahan. Aku harus bagaimana. Siapa yang akan ku ajak pulang nantinya. Arya atau Fathur. Kalau bukan salah satu diantara mereka siapa lagi. Aku dilema. Benar-benar membuat otak ku kacau.

Aku butuh ketenangan. Haruskah aku mengubur setiap mimpi yang mulai ku ukir. Atau mungkin aku harus berjalan mundur dari apa yang telah ku lewati. Aku benar-benar tak berdaya saat ini. Keputusan yang cukup sulit. Bahkan aku belum pernah membicarakan tentang kekeluargaan bersama Arya. Bahkan bersama Fathur pun, aku belum terfikir untuk tenggelam hingga ke dasar yang sedalam itu.

Mungkin perlu aku tahu , siapa yng benar-benar ingin menjalin keseriusan dengan ku. Aku akan mencoba menyinggungnya nanti. Aku harus paham betul bahwa salah satunya benar-benar menginginkan ku.