Dosa kah aku, jika aku menggambarkan sosok nya begitu sempurna? Sementara kesempurnaan hanya milik sang Pencipta. Fathur telah berhasil mencuri perhatian ku. Membuat aku tiada henti mengaguminya. Maka, ku mohon. Izinkan sekali saja aku menyerukan kata itu. Atau kata yang identik dengan sempurna. Karna dia menguasai kata itu.
***
Raut muka yang begitu tenang. Di hiasi dengan keindahan di setiap lengkung senyumnya. Begitu sempurna sang pencipta menciptakan sosok itu.
"Kemana kita ?"
Tanyanya. Membuat lamunan ku akan dirinya buyar. Binar mata indahnya menatap ku. Merangsek di jiwa, memberi energi yang tak biasa. Lutut ku melemas. Jiwa ku tak berdaya kala tatapannya beradu dengan tatapan ku.
"Terserah padamu saja."
Aku memilih pasrah. Dia tamu ku. Bukankah wajar jika aku membiarkan dia mengutarakan tempat yang seperti apa yang ingin dia kunjungi.
"Ah,,,ayolah, Dania ! Kamu yang harus menjadi pemandu jalan ku sekarang !"
Aku berpikir keras kemana aku harus membawanya. Dimana dan seperti apa tempat yang dia sukai. Lama aku memikirkannya. Akhirnya, aku putuskan untuk bermanja di keindahan taman yang membentang luas. Taman Cattleya. Taman indah yang berada di Palmerah Jakarta barat itu, sering ku kunjungi. Ku bawa dirinya mengitari lorong setapak yang pinggirnya di penuhi bermacam bunga yang tengah mekar. Melewati kerumunan orang yang asyik bercengkrama dengan pancing di tengah-tengah hamparan taman. Ada genangan air yang cukup besar di tengah taman. Para pengunjung menggunakan nya untuk memancing. Atau sekedar duduk manja di pinggirnya. Banyak anak-anak yang kegirangan bermain perosotan tak jauh dari tempat ku mengistirahatkan kaki. Ada pula yang mengambil moment indah di taman ini dengan olahraga lalu mengabadikannya lewat foto. Uniknya tempat ini juga punya penginapan khusus bagi pengunjung. Tempat nya tak jauh dari sini. Cukup keluar dari pintu gerbang taman. Di seberang sana sudah jelas terpampang penginapan yang sederhana namun fasilitasnya yang cukup bagus.
"Taman yang indah, kamu sering ke tempat ini, Dania ?"
Aku mengangguk. Fathur terlihat antusias menatap setiap sisi taman. Dia seperti menikmati nuansanya. Senyumnya tiada henti tergambar. Aku pun ikut menyemangati senyum nya.
"Kau suka tempat ini, ka ?"
Dia tersenyum tipis padaku. Memandang ku dalam jangka yang cukup lama. Aku sudah tahu jawabannya. Dia menyukainya. Entah karena tempatnya yang indah kemudian membuat dirinya jatuh cinta, atau karena momentnya, lebih jelasnya karena bersama ku, mungkin. Seminggu, hubungan rahasia ini terjalin. Dan aku sama sekali belum mengubah panggilan ku. Aku tetap saja memanggilnya Kaka.
***
"Aku merasa lelah sekali, Dania. Semalam teman ku menginap. Aku pun tak tidur menemaninya begadang. Dan paginya aku langsung pergi kesini menemui mu."
Apa maksudnya. Apa mungkin dia ingin aku menawarinya untuk menginap disana.
"Kalau boleh aku ingin istirahat sebentar."
"Tapi bagaimana, ka ?"
Aku berpura-pura polos, ingin tahu apa maksud dari semuanya.
"Bisakah kamu mengantar ku ke penginapan, Dania ? Aku tak tahu bagaimana pendaftarannya."
Dugaan ku benar dia ingin menginap.
"Semalaman ?"
Tanya ku memastikan.
"Tidak, Dania. Hanya sebentar untuk mengusir lelah saja sudah cukup. Aku ingin tertidur sebentar."
Aku tahu dia orang baik. Dia tidak akan ada motif lain untuk diriku. Aku bisa mengenali raut mukanya yang menahan kantuk. Aku mengangguk. Berdiri. Lalu, melangkah meninggalkan taman. Memasuki penginapan. Tidak rumit. Tidak perlu KTP sebagai tanada pengenal identitas. Hanya saja biaya cukup mahal. Fathur menjulurkan tiga lembar uang lima puluh ribuan. Aku hanya menjadi saksi transaksi di antara mereka.
Pelayan itu memberi tahu nomor kamar yang sudah Fathur pesan. Dia meminta ku untuk mengantarnya. Dia masih gugup akunya. Aku memastikan dia memasuki kamar yang bertuliskan angka 17. Aku membalikkan badan.
"Kamu mau kemana ?"
Fathur menghentikan langkah ku.
"Aku akan kembali ke taman selama kamu beristirahat."
"Tidak, Dania. Kamu disini saja. Lagipula siapa yang akan membangunkan ku nantinya kalo aku benar-benar tertidur."
Aku menunduk diam. Kemudian setelah ku pikirkan, akhirnya aku mengangguk setuju.
***
Satu jam sudah. Kepala ku bersandar di dadanya. Ada kehangatan yang berdesir disana. Hanya saja lidah ku keluh untuk bersuara. Aku sangat menikmatinya. Tenang itu ada. Nyaman semakin menambah. Tangan kekarnya mengelus tangan ku yang mungil tiada henti.
Kerap kali dia menunduk untuk sekedar menatap ku. Kini desahan nafasnya beradu dengan desahan nafas ku. Hanya menyisakan jarak yang setipis kertas. Pandangan ku terus berkutat menatap bening nya binar mata indahnya. Tak bisa beralih ke arah lain. Pandangannya menghipnotis ku secara tidak langsung. Hanya ada keinginan memandangnya lamat-lamat. Lebih jauh lagi hingga mendalam di dasarnya. Kami pun kembali ke taman.
Aku sempat mendengar. Jika kamu melihat seseorang, kemudian jantungmu berdetak hebat tak seperti lumrahnya, lalu dirimu merasa tentram. Itulah pesan unik dari sebuah cinta. Ya, aku sedang jatuh cinta.
Bagaimana aku tak mencintainya ? Aku mendapatkan perhatian yang tak pernah ku dapatkan dari orang-orang sebelum dia. Kasih sayang yang sepertinya benar-benar nyata. Dia sosok yang baik padaku. Bisa di bilang dia selalu menjaga ku dari jarak jauh. Dia juga tak pernah membiarkan bulir berharga ku terjatuh. Dan bagaimana aku tak bisa mencintainya dalam hitungan detik ? Sementara hal yang seperti itu dan peduli yang sebesar itu tak ku dapati dari kekasih ku, Arya. Bahkan lembut tutur katanya membuat ku tenang. Bahasa tubuhnya mampu membuat ku jatuh cinta berulang kali. Andai aku bisa meminta, aku hanya ingin hidup di hari ini. Tidak di hari esok. Iya, bukan dihari esok. Aku ingin hanya menyerukan namanya saja. Bukan nama orang lain. Aku pun ingin hanya dia orang terakhir yang mengenal dunia ku.
***
Jam makan siang. Setelah cukup terasa panas pantat ku menempel di bangku panjang taman, akhirnya kami memilih beranjak meninggalkan tempat. Perut ku bernyanyi dengan suara yang terdengar menyeramkan. Memalukan saja. Tapi aku berusaha menyembunyikannya.
Fathur mengajak ku makan siang bareng. Setelah berjalan beberapa meter dari arah taman. Rumah makan sederhana terlihat di seberang jalan agak serong ke pertigaan. Tepat di samping penginapan itu. Aku menunjuk. Dia mengikuti arah tangan ku menunjuk.
Dia mengangguk. Menggenggam tangan ku, menyebrangi jalan.
Dentingan sendok mulai beradu tak kala kerasnya. Tak banyak bicara. Kami hanya terfokus dengan makanan yang tertandang di depan mata masing-masing. Mata ku juga mulai berhenti meliriknya.
"Kamu mau minum apa, Dania ?"
"Samakan saja dengan mu!"
Dua gelas teh manis dingin sampai di meja ku. Aku melirik sekilas. Kemudian menggoyang sendok ku lagi. Lidah ku tak ingin bersuara. Di pikir ku saat ini hanya kenyang. Perjalanan kali ini benar-benar menguras tenaga ku. Terlebih, panas yang cukup menjengkelkan. Mau tak mau aku harus berani melawannya. Meski sedikit demi sedikit membuat badan ku seperti terbakar secara perlahan.