Chereads / Tentang Aku Kau dan Dia / Chapter 7 - Pertemuan II

Chapter 7 - Pertemuan II

10:10.

"Kamu jarang bercerita tentang kekasih kebanggaan mu itu, Dania. Bagaimna kabarnya ?"

"Siapa ?"

"Si Arya."

"Ah,,, malas saja. Apa yang harus aku ceritakan. Tak ada apa-apa."

"Malas atau hati mu di alihkan ke energi yang baru."

"Berhenti menggoda ku, Tika !"

"Tapi sudahlah, Dania. Kamu sudah pernah bodoh karna dirinya. Maka, sekarang cerdas lah untuk dirimu sendiri."

Tika selalu berhasil membujuk ku. Meski senyum menggodanya terlihat menggelikan.

***

Apapun yang terjadi pilihlah sesuatu dengan bijak. Percaya atau tidak, karna apapun yang kita pilih bisa jadi akan menuntut diri sendiri di kemudian hari.

Awalnya aku pun tak pernah ada niatan untuk berani menukar setia dengan hal yang tak berlimit seperti perselingkuhan. Tapi apa daya, aku yang cemburu malah aku yang dituduh mempunyai orang baru.  Seakan-akan itu do'anya. Itu maunya. Membuat alam menjadikannya nyata dari insident-insident sebelumnya.

Ini bukan perihal cinta saja, ini juga perihal rasa nyaman. Cinta saja belum tentu membuat orang itu nyaman. Tapi jika kita nyaman sudah jelas itu pasti cinta. Bukan aku tak mencintainya, bukan. Bahkan aku pernah di buat nyaman olehnya. Aku pun sampai rela menggadaikan segala kegiatan hanya untuk memberinya kabar. Walau semua itu kasatmata. Hingga pada akhirnya sebuah kabar tereksplor menjadi sekedar bacotan sampah yang susah di cerna.

Aku mencoba lapang. Membanggakan Arya diantara rerumputan-rerumputan hijau di setiap lorong ku. Penuh keyakinan aku berseru, dialah segalanya. Betapa lugunya diriku saat itu. Terlalu sederhana memahami apa itu rasa. Percaya bahwa datangnya cinta hakiki hingga tak akan ada yg namanya pergi. Tapi sifat manusia tak jauh dari rasa bosan. Hukum alam pun berbicara. Bahwa apapun yang ada di bumi pasti akan mengalami perubahan. Tidak hanya di titik ini. Hukum itu juga berlaku di perjalanan ku berikutnya. Aku semakin paham, apa yang menjadi milik kita bukan berarti tidak bisa di miliki orang lain juga.

***

"Minggu ini sibuk ?"

"Tidak."

"Ada yang ingin bertemu."

"Siapa ?"

"Aku."

"Kapan ?"

"Senin ya, kebetulan aku libur kerja. Aku rasa kamu juga libur kuliah, bukan ?"

"Iyaa. Kebetulan aku gak ada acara."

Fathur ingin bertemu. Aku mengiyakan tanpa berpikir dua kali. Hanya saja aku takut menjadi bencana nantinya. Jangan sampai Arya tau.

***

Aku ada kelas pagi ini. Si Tika juga bangun awal, kelasnya siang. Tapi dia ingin berangkat bareng dengan ku. Ku lilitkan jam tangan di pergelangan tangan ku. Selesai sudah. Tika menunggu ku di teras depan. Aku masih mencari novel yang belum habis ku baca semalam. Aku ketiduran saat membacanya dan bangunnya aku langsung  ke kamar mandi. Benar-benar lupa dengan novel yang ku baca.

"Dania...! Lama sekali kamu dandannya."

Tika memanggil ku setengah berteriak. Ku dengar derap kakinya mendekati ku.

"Apa yang kamu cari, seperti orang ke setanan saja kamu ?"

"Novel yang semalem ku baca, Tika."

Aku terus menelisik ke segala penjuru.

"Novel Tere Liye favoritmu, itu ?"

Aku hanya menjawab dengan anggukan.

"Astaga, Dania. Bisakah aku lihat sehari saja kamu tidak membaca novel-novel tebal itu. Ayo aku bantu !"

Tika terus saja menggerutu. Keluar masuk kamar mandi. Berharap ada disana. Dia paham betul kebiasaan ku. Aku sering membaca di dalam kamar mandi. Karna suasananya lebih tenang. Jauh dari kebisingan. Aku tak memperdulikannya. Aku terus menjejal di tempat ku.

Tangan ku meraba sesuatu. Sepertinya benda yang ku cari. Ku tarik mendekat. Kepala ku beradu dengan dipan. Ah,,, benar. Novel itu. Jatuh di kolong tempat tidur. Sontak Tika berseru lemas.

"Ayo berangkat !"

Cukup mengendarai Ojol sekitar 15 menit tanpa macet, aku dan Tika tiba di campus. Masih terlihat sepi. Hanya satu dua mahasiswa yang datang. Masih terlalu pagi.

"Sarapan dulu yuk, Dania ! Perutku sudah mulai merancang pidato tanpa jeda."

Rengek nya dengan ekspresi kening berlipat. Wajah yang penuh penekukan. Kedua tangannya memegangi perutnya. Peran yang sempurna. Kali ini aku tidak tertawa. Sudah biasa melihat insident ini setiap pagi. Itupun kalo kita berangkat pagi.

Tanpa menjawab aku melangkah ke arah kantin. Tika berseru, dia mengikuti ku. Masih benar-benar sepi . Di kantin pun hanya beberapa mahasiswa yang bertandang. Ada yang sekedar numpang duduk, ada juga yang numpang WiFi, ada juga yang sarapan seperti Tika, ada yang hanya numpang baca seperti ku. Aku tak biasa sarapan. Jadi, selain aku numpang baca doang , aku juga menemani sahabatku yang super cerewet ini, sarapan.

"Senin kita ke toko buku yuk, Dania."

"Aku gak bisa, Tika. Aku ada acara."

"Acara apa ?"

Dia melotot ke arah ku. Kemudian menunduk lagi , menyendok sarapannya dengan semangat.

"Mau ketemu Arya ? Bukannya dia kerja, ya ?"

Aku menggeleng.

"Oh,,, si Kudo sinichi itu, ya ?"

Aku mengangguk. Aku tak pernah menyembunyikan hal sekecil apapun darinya. Sudah jelas dia tahu tentang cerita ku. Hanya saja dia belum tahu satu hal. Bahwa namanya Fathur , bukan Kudo sinichi. Tiap kali Tika menyebut nama itu, perutku terasa gendut menahan tawa. Meski pada akhirnya kelepasan juga.

***

Senin.

Seperti yang telah di janjikan. Pagi ini aku berapa di tempat yang sama. Tempat yang pernah ku jajaki untuk menunggu seseorang di beberapa Minggu yang lalu. Dan kali ini, di latar yang sama. Aku masih saja menunggu seseorang. Masih pagi, tapi mentari tak bersahabat. Mencubit kulitku berkali-kali. Sering kali aku menghindar, berlari menghampiri pepohonan rindang di terminal ini. Fathur belum juga tiba. Sialnya, mentari memang mengajak bumerang. Membuat wajah ku seperti tokoh antagonis saja. kening berlipat-lipat. Kendaraan semakin banyak berlalu-lalang.

15 menit kemudian.

"Aku di seberang."

Ada seseorang yang melambaikan tangan disana. Mengenakan jaket merah. Melihat ku sejenak. Kemudian melangkah. Sepertinya itu dia. Sambungan telfon terputus. Dari kejauhan aku menatap sosok nya. Aku belum pernah bertemu dengannya. Ini pun pertemuan pertama. Tapi tak ada reaksi apapun. Berbeda dengan yang ku rasakan saat pertama kali aku bertemu Arya. Kali ini aku terasa lebih tenang.

Jaraknya semakin dekat. Dia tersenyum. Aku malu. Senyumnya terlihat nyaman di Indra penglihatan. Jantung ku. Ah,, aku harus tenang.

"Sudah lama menunggu ?"

Aku menggeleng. Suaranya begitu lembut menyapa ku. Aku meleleh.

Ya Tuhan, tolong bantu aku mengendalikan diriku sendiri saat ini. Semoga perasaan ku tidak membunuh diriku sendiri. Aku tak bisa menahan bahagia. Apalagi yang akan aku ragukan. Dia benar-benar datang menemui ku. Fathur menggandeng tangan ku. Mengajak ku melangkah bersamanya di bawah teriknya sang mentari. Aku mulai tak perduli sepanas apapun mentari menyengat kulit ku. Bahagia ku menjadi tameng.