"Aku ? Aku bingung. Antara nyaman dan bimbang. Belum bisa ku pastikan benarnya."
Hati ku berdesis. Faktanya, aku hanya malu mengakuinya. Percaya diri ku untuk meyakinkan bahwa yang ku rasakan adalah suka sangatlah dangkal. Aku takut dia hanya menguji ku . Sekadar prank mungkin. Untuk memahami bagaimana karakter ku. Terlebih Arya belum menyatakan kepastian mengenai kelanjutan hubungan yang tak berujung ini. Tapi baginya sudah jelas. Hadir ku hanya ibarat potongan dadu. Yang di putar, disaat sepi ingin melahapnya. Jika dadu adalah sebuah permainan. Maka hadirnya aku hanya untuk di permainan kan. Aku sudah cukup sabar hanya untuk menunggu sebuah kabar.
***
Masih saja menggantung. kala gabut dia memutar dadunya. Begitupun sebaliknya. Banyak hal yang Arya sembunyikan. Salah satu nya orang baru. Hanya saja kenapa aku merasa begitu sulit terlepas darinya. Bukan karna dia terus menggenggam. Melainkan soal diriku dan waktu. Terlalu lama tempo yang terjajaki. Terlalu banyak cerita yang mensejarah. Rasanya belum siap saja. Jika harus hangus begitu saja hanya karna keegoisan masing-masing. Hati ku juga melemah. Tak ingin memulai sesuatu yang baru lagi. Karna butuh kesiapan mental untuk memulainya.
Banyak tuturan yang ku dengar dari sahabat ku, Tika. Aku terlalu kebal. Meski berulang kali di bodohi, aku tetap bisa memaafkan. Menahan embun jatuh di dedaunan yang melambai Ria. Aku tak punya keberanian untuk menghilang. Karna rasa sayang ku pernah begitu kuat untuknya. Dan akhirnya aku pun memilih pulang dan mengulang.
***
Kali ini semakin membaur. Sulit terbaca perasaan apa saja yang di rasa. Lupa akan batasan. Teman atau lebih dari itu. Hilangnya ku cari. Kabarnya ku nanti. Hati ku sudah menjawab. Sama halnya Arya yang memilih menaruh kagum di diri orang lain. Maka, apa daya, aku pun hanya manusia biasa. Dan aku juga mersakan hal yang sama. Menyimpan rasa suka kepada orang baru. Aku menyukai orang yang selama ini ku anggap teman berbagi sekaligus Kaka ku. Tepatnya, aku menyukai Fathur. Tanpa alasan. Bukankah cinta tak butuh berbagai alasan.
"Buat aku jatuh cinta padamu, Dania !"
Rengek nya di setiap petang.
Aku tersentuh. Seperti yang pernah ku dengar, jika seorang wanita sudah menyukai seseorang, dia akan buta. Dia akan tuli. Mengapa begitu ? Yaa, dia tidak perduli seperti apa sosok yang dia suka. Dia akan tetap memperjuangkan cintanya. Begitu pula, dia tidak akan perduli dengan cerita orang lain mengenai seseorang itu. Dia akan menutup kedua telinganya dengan isi perasaannya. Itulah yang ku jalani saat ini.
***
Aku memilih untuk menjalani hubungan terlarang ini. Mencipta jalan rahasia antara aku dan pacar ku, Arya. Aku dan Fathur mulai mengisi satu sama lain. Semakin terjun mendalam.
"Dania, sebenarnya Arya benar."
"Kenapa ?"
"Aku sudah bertunangan."
Aku terdiam. Ada yang teriris. Luka tapi tak berdarah. Sakit rasanya.
"Tapi dia sudah menolak ku. Cincin yang aku kasih sudah dia kembalikan padaku. Kamu pasti tahu artinya apa."
Aku bernafas lega. Benar rupanya, seketika aku menjadi tuli. Aku tak perduli tentang sekitarnya. Cinta yang menguat menjadikan ku egois. Cukup aku saja. Hanya aku. Normal-normal saja, bukan? Aku tak antusias dengan ceritanya dan siapa lah dia. Sama sekali tak tertarik. tapi setiap kali Fathur menyerukan namanya, saluran pernafasan ku tersekat. Ini sudah tentang kita. Aku dan Fathur. Aku tak ingin ada dia lagi. Egois, bukan ? Sementara hubungan ku dan Arya , masih aman-aman saja.
***
Pengakuannya membuat aku semakin yakin untuk mengukir harap. Menenun mimpi dengan benang cinta. Tak pernah ada komunikasi lagi dengan tunangannya adalah ingin ku.
Jarang sudah pertengkaran tercipta antar aku dan Arya. Karna aku memilih acuh. Tak mau mencampuri urusannya lagi. Sudah ku temukan tempat dimana aku merasa di hargai. Andai cinta dapat di tulis. Akan ku tulis sebanyak mungkin, ribuan, milyaran, trilyunan bahkan hingga tak terhitung banyaknya. Aku sungguh terbelenggu dalam cintanya.
Seminggu terhitung. Semua baik-baik saja. Arya kembali mengabari ku siang ini.
"Minggu ini ketemu yuk, Dania !"
"Aku gak bisa deh kayanya. Lagi ada acara organisasi di campus."
Aku memilih berbohong. Mengarang cerita seapik mungkin agar dia percaya. Malas saja menemuinya. Untungnya dia percaya.
"Ya sudah. Mungkin Minggu depan lagi, kamu bisa."
Aku hanya mengangguk. Aku berusaha baik-baik saja di depannya. Seolah tak ada bosan. Seolah rasa nyaman itu masih bergelut. Aku menyembunyikan ekspresi ketidaksukaan ku akan dirinya.
***
Hari ini, Aku berniat menemui Kaka sepupu ku di Kedoya. Lama aku tak mengunjunginya.
"Kau mau kemana, Dania ?"
"Mau berkunjung ke tempat ka Syifa. Sebentar."
"Emm,,, jangan lama ya, Dania. Aku takut sama tetangga yang baru itu. Dia selalu menggoda ku."
Seketika tawa ku meledak. Ada tetangga baru di sebelah ku. Baru pindah kemarin. Bapak-bapak sih masih tidak terlalu tua. Separuh baya lah mungkin usianya. Menurut pengakuan Tika. Dia sering di godanya setiap kali menyapu halaman. Sering kali memainkan mata pada Tika.
"Makanya jangan genit. Sudah punya Anjas juga masih aja demen sama Om-om."
"Dania...!"
Aku tertawa terbahak-bahak. Sambil berlari keluar dari rumah. Tika berusaha mengejar ku. Ingin menimpuk ku dengan bantal kesayangannya itu. Dia tertinggal jauh di belakang. Bahkan saat dia tiba di teras, aku sudah menutup gerbang depan. Aku melambai tangan padanya. Sambil menjulurkan lidah mengejeknya.
"Awas ya, Dania."
Aku masih tertawa di balik gerbang. Sesekali melihat kearah Tika yang terus menekuk wajah nya. Puas rasanya bisa mengerjainya hari ini. Dia akan menggerutu seharian. Tapi biarlah, dia hanya akan luluh jika hidung nya mengendus aroma makanan. Akan ku atur nanti.
Ojol pesanan ku menghampiri ku. Menjulurkan helm. Lalu membawa ku menerjang angin.
"Assalamualaikum...!"
"Waalaikumsalam..Eh,, Dania"
Aku tersenyum. Menyelami ka Syifa dan suaminya , ka Adam.
"Ayo duduk ! Kamu sudah makan, Dania ? "
"Sudah, Kaka. Aku sudah makan sebelum berangkat. "
"Kamu selalu malu-malu, Dania. Gimana kuliah nya ?"
"Hehehe. Kuliah ku baik-baik saja, ka"
"Teman sekamar mu tidak ikut, Dania ?"
"Tidak, ka. Dia lagi istirahat."
Perbincangan tercipta. Aku menjawab apa saja yang di tanyakan ka Syifa. Tentang keluarga di rumah, Tentang kuliah, bahkan tentang Tika yang cerewet itu. Gelak tawa terdengar menggelegar di ruang tengah. Membuat suasana semakin hidup. Ka Syifa sangat baik padaku. Dia sering mengunjungi ku setiap Minggu ke rumah kost ku. Dia juga menjamu ku dengan baik tiap kali aku berkunjung. Hanya kali ini aku berkunjung sendiri. Biasanya si Tika selalu ingin ikut.
Tak lama aku dirumah ka Syifa. Setelah menghabiskan SOP buatannya, aku pun pamitan untuk pulang. Ka Syifa juga memberi ku bingkisan untuk di bawa pulang. Lumayan lah, agar aku tak perlu mengeluarkan uang untuk membelikan si manja Tika itu makanan.