Eh iya. Kudo sinichi. Akhirnya aku tahu namanya, Fathur. Iya, namanya Fathur. Usianya 26 tahun. Begitu tuturnya. Tapi, jelasnya aku tidak tahu. Ada ketertarikan tersendiri untuk mempercayainya. Tidak terlalu jauh mengenalnya. Hanya sebatas teman berbagi kala unek-unek sudah meluap-luap. Dia pendengar yang baik. Sekaligus penasehat handal.
Dari ceritanya, Fathur karyawan management bagian teknisi di WSS( Waroeng spesial sambal) di Tangerang sana. Pasal statusnya, Arya pernah bilang agar aku tidak terlalu dekat. Fathur sudah mengikat seseorang dalam hubungan. Arya tak marah. Mereka teman baik. Toh, aku juga gak punya niatan lain. Selain, ingin informasi tentang Arya. Perihal nantinya aku menyukainya itu di luar kuasa ku. Di luar nalar.
Hari terus berlalu. Siapa sangka sikap ada dan tiada Arya kembali kambuh. Membuatku ku semakin terlatih bersabar. Tak jarang berbeda pendapat terjadi. Memicu pertengkaran dan berujung tangis. Seperti yang ku bilang sebelumnya, Arya tipikal orang yang tidak mau di salahkan. Ketika bukti teracung, dia akan menelisik. Mengangkat kemudian, mengungkit kesalahan lawan bicaranya. Meski kesalahan lalu yang sudah berabad-abad lamanya. Lidahnya pandai meluncur kan kata. Dan aku tak punya kehebatan yang luar biasa seperti dirinya. Maka, tak jarang aku sering di kalahkan pasal debat. Kadang aku sendiri yang memilih mengalah. Hanya takut emosi nya meledak. Takut nantinya berbahaya untuk diriku. Terkadang, mengalah bukan berarti takut atau bahkan tanda tunduk. Justru karna aku tak ingin dia semakin menjatuhkan ku. Aku meyakinkan diri bahwa ke depannya nanti aku akan mulai terbiasa dengan tak adanya kabar darinya. Seperti yang akan ku alami nantinya. Dugaan ku benar.
***
Kali ini terlihat berbeda. Hilangnya tak lagi menjadi beban di pikir ku. Aku tak lagi cemas. Tidak lagi mencarinya berlebihan. Apalgi, sampai memasang raut wajah manyun. Tidak lagi menanyakan hal yang jawabannya aku sudah mengetahuinya. Saat sepi menyapa. Tak ada bunyi apapun selain decikan keyboard yang bersuara beriringan. Tika sibuk mengotak- Atik laptop birunya. Mencari referensi untuk tugas makalahnya. Aku tersenyum dari kejauhan. Tak banyak bicara. Dia terlihat antusias menatap layar dekstrop. Menikmati sinar lembut yang menerpa wajahnya dari balik jendela yang menganga. Aku menatapnya lamat-lamat. Dia adalah individu pertama yang menjadi tempatku berbagi segala rasa. Dia selalu menjadi tempat berbagi yang baik. Individu yang cukup hebat. Selalu berhasil membuat semangat ku kembali bersinar.
Drrrtt,,,,
Ponselku bergetar. Sengaja ku silent agar tidak mengganggu Tika yang sedang belajar. Ku pikir Arya tapi....
WhatsApp.
Fathur.
"Lagi apa , Dania ?" Sapanya.
Terkadang aku bingung. Ingin bertanya, takut tanyaku menimbulkan jarak. Tapi, dia selalu menghubungiku. Seperti tak ada siapa-siapa. Terlebih ketika Arya mengaktifkan mode menghilangnya. Dia Ada.
"Awas tunangannya tahu, ka !" Akhirnya kalimat itu meluncur sempurna.
Dia tertawa.
"Tunangan ? Dania dengar dari siapa ?"
"Arya."
" Aku jomblo, Dania. Aku tidak punya tunangan."
Aku terdiam. Ahh,, mudah saja menebaknya. Mungkin Arya takut aku dekat dengannya. Bisa jadi Arya mengarang cerita. Bukankah dia memang hebat untuk hal itu.
"Dia takut aku merebutmu."
Kami tertawa bersamaan. 17 menit sudah panggilan video berlangsung. Fathur selalu bisa mencairkan suasana. Kerap kali komunikasi dengannya, ada tenang yang tercipta. Adanya seperti penghapus beban. Kehabisan kata aku mendeskripsikannya. Terlebih ketika Arya hanya datang memberi ku tangus, Fathur datang sebagai sapu tangan bagi ku. Sekaligus sebagai tiang kokoh yang membantu ku menopang tubuh ku sendiri. Saat aku mulai lunglai, tak berdaya. Fathur terus saja membuat aku bisa bertahan dengan keegoisan Arya. Aku paham bagaimana dirinya. Satu sisi dia sangat prihatin padaku di sisi lain Arya adalah temannya. Tak ada teman yang mau menceritakan keburukan temannya sendiri kepada orang lain. Begitu pemikirannya. Itu prinsipnya. Hingga saat ini dia tak pernah menceritakan buruknya Arya. Fathur ingin, biar aku sendiri yang mencari tahu. Cukup diriku saja yang tahu bagaimana dia yang sebenarnya. Aku kagum dengan pemikirannya. Dia selalu melibatkan kedewasaan dalam berbagai keputusan. Fathur pernah bilang, guru terbaik adalah pengalaman. Dan pendukung paling utama sebuah kedewasaan tercipta adalah masalah. Semakin banyak masalah yang kita hadapi, maka akan semakin tercipta jiwa yang kuat untuk menjadi dewasa.
***
Sampai di satu titik aku menemukan sesuatu yang janggal. Hal yang tak seharusnya terjadi. Ada desiran lembut disana. Mendengar kabarnya, candanya, tawanya membuat hati ku damai berkali-kali lipat. Hingga aku tersadar, ada yang berbeda disini. Seperti ada kekuatan gravitasi yang tarik menarik antara aku dan dirinya. Satu kata itu aku temukan dan berhasil mengubah segalanya.
Nyaman.
Sudah ku tepis. Pikir ku hanya perasaan lumrah yang menghantui hati kala bosan menjelma. Semakin kesini tak lagi ku dapati perhatian. Arya . Dia jarang ada kabar. Membuat rasa ini semakin mengental. Perlahan semuanya berbeda. Pelangi tak lagi menghias. Hanya gumpalan-gumpalan awan hitam yang mengambang di sisi yang berbeda. Rasanya mulai tawar. Tak ada lagi bumbu manis di setiap harinya.
Se detik kemudian. Rasa itu semakin menguat bersama hadirnya. Serasa nyata. Meraba hati, membuka knopnya lalu menjangkau tempat berteduh paling nyaman disana. Waktu membiarkan semuanya berproses. Mendukung terjadinya keanehan ini berlangsung. Hatiku pun tak menolak. Jiwa ku tak berontak. Padahal disana sudah terdapat seseorang yang menempati tempat yang sama. Hanya saja yang membedakan, apa yang mereka bawa. Bagaimana aku akan menjalaninya. Memastikan persaan ku saja, aku tak bisa.
***
Aku bukanlah ahli Rasa. Tapi bukan berarti aku tak memiliki perasa. Kebusukan terdengar menyengat. Berbau pengkhianatan. Kebenaran beraroma. Menebar semerbak wangi di segala penjuru. Kepala ku terangkat. Menatap nanar. Ku melangkah dengan keyakinan. Bukan lagi di jalan yang sama. Kali ini berbeda haluan. Berbeda arah. Aku memilih jalan setapak yang baru. Harapan ku nyata rasanya, berharap menemukan jalan keluar menuju terang.
Hari-hari ku hanya tentang Fathur kali ini. Arya selalu hilang tanpa jejak. Mengabaikan aku begitu saja.
"Jangan bikin aku nyaman, Dania!"
Ujarnya membuka pembicaraan di seberang sana. Sontak aku terperangah. Membuat hati ku ingin bersuara.
"Kamu nyaman sama aku ?"
Ku beranikan diri bertanya kembali padanya.
"Rasanya begitu. Kamu ?"
Ini yang aku takutkan. Jika dia menanyai ku. Apa yang akan ku jawab. Sementara aku sendiri tak bisa mengontrol semuanya. Jika saja aku terlupa bahwa aku ini wanita, mungkin aku akan menyingkap semuanya sendiri. Aku yang akan mengambil pendahuluan. Tapi, Ada rasa tahu diri yang harus ke pegang erat di genggaman.