76 spam chat.
Sengaja ku biarkan. Enggan untuk menyentuhnya. Rasanya pun begitu malas untuk beraktifitas sejak kejadian kemarin. Saat fajar menyingsing, tubuhku hanya memilih bergelut di ranjang. Mengumpat tentang kebodohan diri sendiri, gampang percaya begitu saja dengan orang lain. Sampai lupa membedakan mana Rayap dan mana yang buaya. Kadang kala Sesal menghampiri. Memecah kepala, mengiris batin. Melebur percaya, menyisakan Lelah.
"Dania, kamu terlihat begitu lelah akhir-akhir ini."
Berhenti membenahi baju di lemari, menghampiri ku. Aku menjawab dengan menggelengkan kepala. Tak mampu bersuara. Dia mengelus pundak ku lembut. Peran yang baik.
"Jangan terlalu larut, Dania. Semua manusia pasti pernah melakukan kesalahan. Tapi, bukan berarti tidak ada kesempatan kedua, bukan ? Apalagi Arya terlihat bersungguh-sungguh untuk berubah."
Aku menimbang. Membenamkan kepala di bawah bantal lagi. Tika ada benarnya juga.
"Hati ku lelah, Tika. Butuh istirahat." Tutur ku singkat.
Ku lihat dia tersenyum. Memahami keadaan ku saat ini.
***
32 panggilan suara terlewat.
Jemari ku kaku saat hendak menggeser panel hijau itu. Hanya ku lihat saja. Tanpa ada niatan untuk menjawab.
Mungkin selama ini, Arya hanya menganggap semuanya permainan belaka. Atau hanya sekedar formalitas.
Hati ku berbisik demikian.
Arya sangat gigih menghubungi ku. Tetap saja ku abaikan. Tapi, kelihatannya dia benar-benar menyesal atau hanya bagian dari naskah saja. Luka ku baru saja berhenti mendarah. Belum kering. Ah,, sebelum aku mendekam kembali di lumpur penghisap, aku harus kenal dunianya.
***
Ku beranikan diri mengirim pesan perkenalan diri di messenger. Mengusir rasa takut bahkan gengsi atau semacamnya. Entah siapa dia. Pada intinya, dia salah satu dari sekian banyak teman Arya. Aku tak jarang melihat mereka beradu argument di kolom komentar. Semoga saja pribadinya ramah. Tidak terlalu berlarut. Sebelum ini, aku sudah memberi Arya kesempatan kedua.
3 menit. Ponsel ku bergetar. Pertanda messenger masuk.
Kudo sinichi.
Messenger.
"Iya." Senyum ku mengembang.
"Salam kenal. Maaf sebelumnya, mengganggu sebentar."
Terlalu formal mungkin bahasa ku. Tapi, aku bingung harus menuliskan bahasa yang bagaimana.
"Teman Arya, bukan ?"
"Iya benar. Pacarnya Arya, ya ?"
Dia mengenali ku. Mungkin sekilas melihat profil Facebook Arya. Orangnya cukup ramah.
"Iya."
"Kenapa ?"
Pertanyaan menikam. Otak ku berputar. Bibir ku bergeming menyusun kata. Bola mata ku melebar. Jari ku mengetik, menghapus. Mengetik lalu ku hapus lagi. Apa yang hrus ku katakan.
"Tidak. Hanya ingin mengenal teman Arya saja. Terima kasih waktunya." Elak ku.
Ku terima balasan singkat. Tak perlu ku jabarkan. Kalian pasti bisa mengira-ngira jawabannya.
***
Online. Tapi ceklis dua. Tak terbaca satupun.
Kemana nih anak.
Lama menunggu. Ku buka akun Facebook. Ku temukan Kudo sinichi sedang aktif. Jenuh mulai mengikis rasa tenang ku.
Messenger.
"Malam." Sapa ku.
"Juga."
"Lagi apa ?"
Bukankah begitu percakapan basa-basi perkenalan. Lucu, bukan.
"Bercengkrama dengan hamparan kasur. Kamu sendri, tidak chat Arya ?"
"Sama seperti yang kamu lakukan. Ah,, ceklis dua. Entah kemana."
"Dia lagi Mabar sama teman kost ku."
Game? Betapa media ini selalu berhasil membuat mood ku hancur. Mendengarnya saja serasa berkecamuk di hati. Penghisap waktu lalu meleburkannya dengan sia-sia. Racun yang ampuh untuk membuat seseorang lupa segalanya. Bersifat ketergantungan.
"Save nomor ku. 0859 ..."
Tanpa berfikir panjang. Aku menemukan hal menarik. Dia orang yg tepat. Sepertinya dia dekat dengan Arya.
"Iya."
***
Menunggu itu membosankan. Tidak ada satupun orang dari trilyunan manusia bersedia untuk menunggu. Terlebih ketika kita meminta kejelasan. Dia hanya menggantung bahkan menipu kita dengn tipu dayanya.
"Darimana saja?"
"Aku habis nyuci, Dania."
Mengelak lagi. Kamu sudah juaranya, Arya. Tak perlu terus-menerus mencari dan mencari topik alasan. Ini sudah jam 22:26. Nyuci ? Alibi yang tak sesuai. Tak ingin memperkeruh. Aku hanya berseru Ohh. Mengiyakan saja. Toh, tabiatnya tak akan pernah mau disalahkan meski bukti sudah mengarak di matanya.
Sesak saja. Tapi, lupakan. Aku tak ingin mencipta badai. Cukup aku yang paham bagaimana karang berbicara lewat sisinya yang tajam. Lelah sudah mengikuti alurnya. Cukup tahu saja. Maka, paham lah jika nanti aku enggan untuk berteduh di tempat yang sama.
Percaya ku berangsur memudar. Warnanya tak lagi terlihat. Ada noda yang membekas jelas di permukaaan kain putih. Setia itu bohong. Masih ada seiris rasa yang setiap kali aku mengingatnya , aku meringis.
Sudah muak aku dengan ribuan alibi nya. Argument nya membuat telinga ku geli untuk percaya lagi akan suaranya.
"Lupakan ! Aku baik-baik saja."
Jawab ku tegas.
"Mengapa kamu begitu, kamu tidak percaya dengan apa yang aku katakan ?"
"Bagaimana aku bisa percaya, sedangkan waktu baru saja berbisik tentang tugasnya. Alibi yang luar biasa Arya."
"Jangan memperkeruh keadaan, Dania. Kamu selalu saja menuding ku. Seakan-akan aku tak pernah berkata jujur."
"Tidak. Bukan begitu maksud ku. Hanya saja waktu tidak sependapat dengan mu. Kau tahu ini jam berapa. Hampir larut. Dan kamu masih nyuci ? Hebat."
"Ah,, sudahlah. Percuma bicara dengan mu. Aku jujur pun, kamu tdak akan pernah percya. Kamu memang suka membesar - besarkan masalah sepele."
Bagaimana aku percaya. Sementara kebenarannya aku sudah mengetahuinya. Langkah nya pun sudah tercium jauh sebelum dia melangkah mendekat. Permainannya sungguh baik memang. Elakan nya cukup lihai. Tapi aku tidak akan pernah tertipu dengan perihal sekecil ini.
"Ada dua hal yang aku tak pernah suka di dunia ini. Pertama, kebohongan dan yang kedua perselingkuhan. Aku memberi mu kesempatan untuk berkata jujur. Sebelum aku benar-benar mengutarakan hal yang menyakitkan di pendengaran mu."
"Ah,,, terserah kamu saja, Dania. Aku tak ingin berdebat saat ini."
"Aku tak ingin mengajak mu berdebat. Jika ini sebuah pertandingan, sudah bisa di pastikan pemenangnya adalah dirimu. Karena kamu punya keahlian dalam berbicara."
"Kamu benar-benar keras kepala, Dania."
"Bukankah kamu sudah tahu dari awal mengenai diriku. Aku tak pernah menutupi hal apapun dari dirimu."
Arya memutuskan sambungan. Sepertinya dia cukup marah padaku. Tapi sudahlah aku lebih marah padanya. Tidak kah bisa dia berpikir sebelum mencari bahan untuk alibinya. Harusnya dia tahu bagaimana pemikiran ku. Aku tak bisa mudah percaya dengan hal -hal yang se klasik itu.
Harus dengan apa aku bisa mengubah perangainya. Sikapnya yang kekanak-kanakan membuat ku sedikit jenuh. Semakin kesini semakin banyak yang ku temukan di dirinya. Perbedaan pemikiran, kebohongan, perdebatan sering kali membuat hubungan ini semakin terarah mundur perlahan. Tidak ada kemajuan.
Sedangkan yang ku mau saat ini. Adalah hubungan yang bisa membawa keseriusan nantinya. Bukan hubungan yang hanya berjalan di tempat dalam jangka waktu yang cukup lama. Hanya membuang waktu, bukan. melelahkan.