Aku menetralkan kecanggungan yang menyelimuti. Menghempaskan punggung di kursi panjang yang menghadap jalan Raya. Waktunya makan siang. Kendaraan mulai berlalu lalang. Macet. Makin padat. Seseorang mendekat.
"Dania ?"
Aku mengangguk, mengisyaratkan iya. Diapun memilih berjejer di sampingku. Meluruskan kakinya, mengusir lelah. Perjalanannya memakan waktu sekitar 90 menit. Lumayan lah.
Tidak ada topik pembicaraan. Berkutat dengan pikiran masing-masing. Aku cemas. Ketakutan ku mulai meronta. Kurasakan tangan lain menyentuh jemariku. Menggenggam erat. Aku semakin pias.
"Tanganmu dingin, Dania."
Tercium sudah. Hal yang ku tutupi agar tak terbaca karna malu. Aku tak berani menatap binar bola mata cokelatnya. Hanya tersenyum simpul. Kemudian kembali sepi.
***
Hanya beberapa detik. Jarum jam terus mengitari porosnya. Suasana kembali melebur. Seperti ada kehangatan yang bertamu. Keberanian menatapnya mulai ada. Kecanggungan mulai memilih pulang. Jemarinya tetap menyatu di sela-sela jemariku. Tiada enggan melepas. Ahh,,jantungku.
Oh Tuhan. Ada rasa yang tak biasa. Rindu perlahan terjahit. Gelak tawa mulai menggema. Arya, mulai berani memelukku. Menempatkan dirinya lebih dekat padaku. Berkali-kali dia membenamkan wajahku di dadanya yang bidang. Rasa takut di awal keputusan untuk bertemu benar-benar sirna. Tenang sudah.
Lama kita mengobrol, bercerita tentang banyak aktivitas. Kita saling mengisi. Tiada ruang sunyi di detik berikutnya. Terus saja celoteh yang tak berspasi.
***
Aku selalu mencuri ruang untuk menatapnya. Menikmati senyumnya yang khas. Begitu lembut. Bola matanya yang menawan. Desahan nafasnya yang menyentuh permukaan wajahku memberi tenang. Ada bertumpuk pertanyaan yang ingin aku tanyakan untuk mengusir cemas yang membumbung tinggi di kepala. Menguap. Ada penekanan pada diri sendri. Tetap diam.
Hanya menambah kegusaran. Bingung memulainya darimana. Mulai merangkai kata menjadi paragraf yang tidak monoton. Memilih kosa kata yang baik dan menyusunnya seapik mungkin. Saat sudah di ujung bibir, semua rangkaiannya tersenggol, bergetar sekejap. Tumpah ruah. Berantakan. Aku mengulanginya lagi. Tragedi yang sama, begitu lagi.
Arya merogoh ponselku di tas soft pink disamping tempatku bersilah di tengah-tengah taman. Menggesek panel dengan perlahan. Dia tahu kuncinya. Jemari lentiknya tak henti menari. Berharap menemukan apa yang dia cari. Sama lentiknya saat jemari itu memetik senar gitar. Membuat mataku tak henti-hentinya memuji. Senandungnya yang menemani kala kelopak mataku ingin mengatup. Mengalun merdu. Menjalar di jiwa. Gelap. Disitu, aku mulai terlelap.
Ponsel Vivo y12 itu, Kembali di letakkan. Ekspresinya tidak berubah. Aku masih fokus dengan es teh di tangan. Menyeruput tanpa napas. Hari sudah siang, panasnya pun tak tanggung-tanggung.
"Aku ke toilet bentar."
Berjalan ke arah kiri dari tempat kita bersenda ria. Ponselnya di tinggal. Sejak pertama duduk di tempat ini, dia sudah menawariku untuk memegang ponselnya. Tapi aku enggan. Saat ini aku tergerak untuk meraihnya. Ku tekan tus-tus sandinya. Kata kunci 6 digit. Tanggal lahir, bulan, tahun. Benar. Aku mencari seperti yang dia cari. Perlahan. Tidak ada hal yang mencurigakan. Ku letakkan kembali ponsel Oppo A3s berwarna merah itu. Seperti ada yang menggelikan di penglihatan. Ada inisiatif untuk membukanya lagi. Dua kali. 3 kali. Dan....
***
Ada yang berbeda kali ini, setahuku, Arya hanya memasang history dengan dua media. Fotoku, dan video slide foto kita yang kemaren ku edit. Tapi disini, Ada 4. Ku tekan di tulisan status saya. Yang pertama muncul, sebaris kata yang tidak ku mengerti artinya. Bahasa daerahnya berbeda denganku. Berikutnya, Seseorang tergambar disana. Hatiku membeku. Membiru. Isi kepalaku ingin menguap mendahului fajar. Ku lihat captionnya. Emoticon love, aku memanas. Next, gambarku. Disusul video yang ku edit.
Ku lihat sekali lagi. Dia datang. Duduk disampingku tanpa beban. Menatap satu layar ponsel yang sama. Dia tidak berontak merebutnya, tetap membisu.
Ku sentuh layar yang bertuliskan angka di bawah gambar seseorang yang tak ku kenal itu. Siapa yang ikut mengintai. Dan mengapa aku tak bisa melihatnya. Banyak. Tak ada aku. Berikutnya, fotoku tergambar, hanya satu. Itu aku. Begitupun berikutnya. Permainan apa ini. Aku paham. Satu kata. Privasi.
Kantong mataku memanas.
Tidak. Jangan. Jangan menetes. Ku mohon jangan!
Setetes. Merembes keluar begitu saja. Tanpa paksa.
" Siapa ?" Tanyaku serak.
"Maafkan aku, Dania." Dia memohon
"Siapa ?" Ulangku. Dengan nada mulai tak bersahabat.
"Aku hanya iseng menyimpannya dari FB." Elaknya. Aku tahu dia mengelak.
"Dengan caption begitu ?"
" Hanya caption, bukan ?"
"Kamu fikir setiap caption tak ada artinya. Tanda titik saja memiliki arti meski sederhana. Tidak selalu abjad, tidak selalu kata untuk mewakili perasaan." Emosiku membuncah. Kedua pipiku basah.
"Maafkan aku, Dania."
"Kita balik. Aku cape."
Sigap Arya menggenggam tanganku erat. Memaksaku menatapnya. Bola mata cokelatnya berkaca-kaca. Tak perduli lagi. Aku tetap berdiri dengan tangan tertahan. Arya memeluk ku. Berusaha melunakkan hatiku yang mengeras. Tiada siapa-siapa di sekitar. Taman sepi, siang ini.
"Maaf, Dania. Aku mohon. Dengarkan aku kali ini ! Takkan terulang, janji. Tidak lagi."
Isak demi Isak tangis beradu.
***
Bukan pasal siapa wanita itu, bukan. Melainkan cara dia bersembunyi yang tak bisa ku toleransi. Jika dia mau berujar, berkata jujur, aku tidak akan semarah ini. Jangan memintaku mengejar sementara dia sendiri sukar untuk berdiam. Percayalah, mengejar sesuatu yang terus berlari sama saja dengan mengitari lautan memanjang. Tak berujung. Hanya lelah yang tergenggam. Lunglai. Kondisi yang memburuk, hanya menunggu waktu untuk ambruk.
"Jika ada yang membuatmu nyaman. Katakan ! Aku tak apa. Aku mengalah. Selama kamu sudah yakin untuk berpindah. Mungkin jalan akhir yang baik memanglah berpisah."
"Jangan katakan apapun lagi, Dania. Aku hanya ingin bersamamu. Maafkan aku. Aku bodoh, Dania."
" Iya kamu bodoh. Tidak memblokir kontak ku sekalian."
Senyap. Suara isak mulai samar. Aku kembali terkontrol. Lebih memperhatikan diri. Mencoba tenang. Laki-laki itu terus menatap ke arahku. Meski ku acuhkan, dia tetap antusias menawarkan diri untuk menjahit lukaku.
***
Aku memilih pulang. Merasa lelah 24 jam ini. Pembelajaran baru, bahwa apa saja yang terlihat istimewa bisa saja menjadi paling amat kita benci. Bisa saja menuang tinta dengn siasat yang istimewa pula. Dengan racun yang lebih pekat. Dan penawar yang sukar di dapat. Terkoyak lagi. Jahitan itu terbuka. Semakin menganga. Termakan usia, semakin lapuk.
Selalu begini alurnya. Ah,,, ternyata benar. Sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Aku terlalu berlebih mencintainya. Menggantungkan harap padanya. Seakan-akan dialah istimewanya manusia. Pada akhirnya sia-sia. Mencintainya hanya membuat waktuku semakin terkuras hambar. Perasaan itu kembali berasa tawar. Tak kutemui perasaan seperti pertama kali aku di temukannya.
Rasanya kembali berbeda. Kembali biasa-biasa saja.