Suara gemericik hujan beriringan mengisi kesunyian. Saling mengejar ketertinggalan, mengimbangi bunyi lainnya. Terdengar bertangga nada. Intonasi yang indah di pendengaran ku. Aku selalu suka. Akupun merasa bgtu dekat dengnnya. Menyukainya tanpa sebab. Entah karna nuansanya, atau suasananya, mungkin. Atau mungkin karna datangnya membawa ke khas-an tersendiri.
Tapi pada intinya, Aku suka harum bumi yang menyengat Indra penciumanku kala gerimis bertandang. Begitu pekat namun sangat lekat. Nuansa dinginnya membuat jiwaku tersentuh untuk terbungkam lebih lama di posisi awal. Rintik indahnya, mencipta tenang dalam damai.
Tapi tanpa terkontrol, hujan seperti menghujani masa ku. Terkadang, dia menyapa bukan pada waktunya. Kedatangannya berarti tenang, kadang pula berarti luka.
***
"Maafkan aku, Dania." Suara seraknya mengimbangi derasnya hujan kala itu.
Aku terdiam menatapnya nanar. Mematung dengn keadaan kacau. Seragam SMA Ku basah kuyup. Air mataku tidak lagi terlihat. Menyatu dengan aliran bulir yang menerpa wajahku. Lidahku keluh, tidak mampu berucap sepatah kata pun.
"Tidak ada orang lain, hanya saja, aku lelah terus berbohong pada keluargaku tentang kita. Belom ada keberanian untuk menceritakan mengenai kita. Kita bisa jadi teman baik." Jelasnya penuh tekanan.
" Kenapa baru sekarang, Raka ? Bukannya pihak keluargamu sudah tau tentang kita ?" Bibirku bergetar. Tubuhku menggigil.
"Mereka tahunya kita sebatas teman, Dania. Dan ayah memintaku untuk lebih terfokus menangkap cahaya yang mungkin bisa memberi terang di masa esok."
Aku luluh. Kaki melemas. Aku tidak mampu beradu argument lagi. Menatapnya pun aku tak lagi kuasa. Sulit ku terima pengakuan siang ini. Begitu menusuk. Membuat aliran darahku tersumbat. Akal pikirku buntu.
Kedua kaki disana terlihat mendekat. Aku mundur perlahan. Berbalik. Kemudian pergi. Aku memilih hilang bersama lebam luka. Bersama hati yang berdarah yang tdak menetes sejengkalpun. Mengambil jalan sembuh sendiri dengan media seadanya. Dengan proses yang cukup pelik. Sulit memang, tapi bukan berarti mustahil jika kita benar-benar punya keberanian dan tekad untuk sembuh.
2 tahun, aku memilih mencari tenang ku sendiri. Mengabaikan banyak hati demi mengusir sepotong hati yang memilih berlalu. Sebanding sudah dengan 2 tahun menyulam benang mimpi bersama. Membutuhkan waktu yang cukup extra untuk menghapusnya. Membakar desain indah yang telah ku rancang sempurna.
24 bulan ini, aku menyibukkan diri dengan banyak hal. Memforsir diri untuk aktif di bidang apapun. Agar bayang nya tak lagi menguntit di pikiranku. Luka itu perlahan mengering. Tak ada bekas. Sempurna. Mengingatnya kini tak lagi luka.
Aku kembali menutup diri. Memilih acuh dengan dunia lain. Hanya fokus dengan apa yang ada di jalanku. Serasa tiada beban. Tenang. Lengkungan itu kembali terukir. Aku berhasil membuat senyumku kembali tampak. Tak ada lagi tetesan embun di mataku.
***
11:39.
"Ayo, Dania!"
Aku tersentak. Mengusap wajahku dengan kedua tangan. Huh,,,
"Hujannya sudah reda, udah siang. Kamu mau jadi penghuni kantin seharian disini, Dania. Ayo pulang!" Suara khas Tika mengomeli ku lagi.
Aku beranjak berdiri mengikuti langkah Tika dari belakang. Menyusuri rumput hias berembun karna terpaan hujan yang kini kutapaki.
Kenangan itu lagi. Hujan, kamu selalu hebat. Membawaku tenggelam di dimensi lain beberapa menit yang lalu. Harus bagaimna lagi aku memujimu. Tanpa berpikir dua kali pun, kamu selalu berhasil mencuri memory sadar ku. Memutar rekaman itu tanpa aba-aba. Tapi aku tidak bisa berontak. Seperti sudah terhipnotis, aku juga menikmati rekaman itu tanpa bersuara. Tanpa mata berkedip. Bagaimna aku tidak menyukaimu, hujan. Kamu selalu mempunyai cara tersendiri untuk menggodaku.
***
Aku tiba di kost-an 20 menit kemudian. Setelah menaiki angkot dari terminal menuju jalan Duta Mas Raya. Lelah menggerogoti pergelangan kakiku. Ku lepas ikatan tali sepatu abu-abu ku. Menyimpan rapi di samping sepatu Tika. Kemudian menghempaskan diri ke ranjang Doraemon yang hanya berjarak beberapa meter.
"Dania, kapan kamu ketemu do'i ?." Tanya Tika membuka pembicaraan.
"Ah,,,iya. Belum pasti, Ka. Dia juga baru seminggu kerja. Belum ada topik pertemuan di pembicaraan kita akhir-akhir ini."
"Hadeh,, kemaren aja pas jauhan, kangen-kangen-an mulu. Giliran udah deket malah makin gak jelas. Aneh."
Aku menjawabnya dengan mengangkat kedua bahuku tanpa suara. Aku pun bingung. Ku raba ponselku yang hampir setengah hari tak ku jamah. Tak ada chat dari Arya. Dia pun tidak bikin history hari ini. Tumben. Mungkin dia sibuk. Aku mencoba mengusir ke khawatiran di benakku. Meski terus saja membuatku tak tenang.
Semenjak Arya di Tangerang, dia jarang menghubungiku. Dia juga mulai ku rasakan berbeda. Berulang kali ku mengusir pikiran jelek tentangnya. Mungkin hanya firasatku Saja. Begitu, aku mengalihkan pikirku. Tapi, malam ini. Arya menelpon ku. Sebuah keajaiban, setelah hampir 13 hari dia tidak memberi kabar.
"Sudah makan? Bagaimana kuliahnya ?"
"Sudah. Emm,,,kuliahku baik-baik saja." Jawabku datar.
"Maaf. Aku tidak menghubungi kemarin-kemarin. Aku sibuk, Dania. Kerjaanku banyak."
"Iya tak apa. Aku juga tahu." Masih saja dengan jawaban datar.
"Ya sudah. Minggu besok kita ketemu. Hari Minggu, aku libur."
Kalimat itu yang ku tunggu. Dan akhirnya....
"Iya,,, kita ketemu".
Lupakan tugas yang menumpuk di meja belajar. Lupakan mengenai presentasi besok. Intinya aku lebih dari kata bahagia. 4 bulan aku berjalan beriringan dengan Arya, dan pertemuan ini, akan jadi pertemuan kami yang pertama. Perfectly,, aku menunggu hari itu tiba.
***
Jum'at.
Ku lirik kalender di samping meja belajar ku. Ku tatap angka yang sudah ku lingkari merah disana. 2 hari lagi. Senyumku tiada henti mengembang. Perasaan yang sulit ku ungkapkan lewat abjad. Benakku mulai menelisik. Bagaimana jika dia tau fisikku, kemudian menjauh. Bagaimana jika dia tidak datang. Bagaimana jika dia hanya main-main. Ku tepis pikiran itu. Aku pasrah, intinya aku tidak menyembunyikan apapun tentang diriku. Pasal dia mau menjauh, itu hak dia. Aku hanya berharap. Setelah aku mengenalnya aku tak lagi mengenal luka atau bahkan terjatuh di kubangan lumpuh yang sama.
"Cie,,, yang mau ketemu do'i. Auto ga bisa tidur nih. Wkwkwk." Tika selalu saja menggodaku.
"Eh,,Dania. Minggu, aku ikut dong. Aku sendirian loh disini. Ga ada temennya. Anjas lagi ada acara kopdar di Bandung." Dengan muka memelelas dia merajuk.
"Kamu mau jadi kambing congee, ha ? Mending kamu tidur aja disini. Aku juga ga bakal lama kok."
"Ah,,Dania. Aku kan juga pengen tahu, kali."
"Belum puas kamu lihat DP WhatsApp ku. Yaa,, itu orangnya."
"Ah,,,Dania ga asyik".
Dia memasang muka cemberut kali ini. Aku mah bodo amat. Ku tarik selimut panjang ku. Membelakangi Tika yang terus saja membujuk ingin ikut. Aku memilih terlelap.
Aku bangun lebih awal pagi ini. Menata jadwal kuliah. Memeriksa jadwal organisasi. Aman. Tidak ada jadwal padat Minggu ini. Ah,, aku ingat. Ku buka lemari yang berdiri di pojok kiri ranjang. Mataku mencari sesuatu. 10 menit sudah ku berkutat di depan lemari. Tetap saja aku belum menemukan yang serasa pantas.
Tika Terbangun saat aku mengacak bajuku satu persatu. Menatapku heran. Kemudian ikut melihat tanganku yang terus mengotak-atik tiada henti.
"Yang itu tuh, Dania." Tika menunjuk satu baju di rak kedua.Merah maroon. Aku beralih menatapnya.
"Aku lihat-lihat, itu cocok di kamu."
Dia mengerti tatapanku. Ku tarik baju yang di pilih Tika. Ku tatap lekat-lekat. Ini baju yang ku beli Minggu kemaren . Belum sempat ku kenakan. Aku setuju dengan pilihan Tika. Tidak terlalu buruk.
***
Harinya tiba.
Ku rapikan kerudung coklatku. Aku benar-benar mengenakan baju yg di pilihkan Tika. Ku padukan dengan celana coklat susu kesukaaanku. Selaras dengan kerudung yang ku kenakan. Ku ikat tali sepatuku. Berpamitan dengan Tika saat Grab motor yang ku pesan tiba di halaman. Sesuai yang telah di sepakati, aku dan Arya merencanakan untuk bertemu di terminal Grogol dengan titik tempuh sekitar 10 menit dari rumah.
Arya mengirim chat. Dia sudah tiba lebih awal disana. Aku memintanya menunggu. Sebentar lagi. 3 menit. Kemudian aku menginjakkan kaki di terminal itu. Membayar ongkos, melepas helm. Kemudian mencari sosok yang ingin ku temui untuk yang pertama kalinya.
Aku memberi tahu posisiku. Se detik kemudian, ada seseorang mulai berjalan dari arah sana. Menatapku atau orang lain mungkin. Mungkinkah dia. Aku tidak bisa mengenalinya dari jauh. Orang itu mengenakan jaket abu-abu, celana Levis hitam, sepatu navy. Dia semakin mendekat. Sepertinya menuju padaku. Diriku tak terkontrol. Aku malu, grogi, canggung bercampur jadi satu. Bagaimana ini. Wajahku seketika pias. Darahku serasa membeku. Suhu badanku panas dingin. Jangtungku berdetak ribuan kali lebih cepat.
"Aggghhh,,,." Geramku dalam hati.