"Dania,,,".
Tanpa isyarat kakiku berhenti mengayun. Menoleh ke sumber suara, menatapnya dari jarak sepersekian meter. Aku tetap di tempatku. Masih membisu . Menunggu sosok gadis yang beberapa tahun ini satu kost-an denganku. Dia mendekat, mengerutkan keningnya yang tersengat panasnya mentari siang.
"Kenapa ?". Tanyaku saat jaraknya mulai tersisa 3 langkah mendekat.
"Aku mencari mu di kantin, tapi tidak kutemui secuil pun batang hidungmu disana. Hmmm,,, ". Mukanya berdecak sebal di depanku. Begitulah tingkah manja si Tika setiap kali ia tidak menemukanku di manapun.
Malam ini, Aku berkutat di meja panjang ku. Menatap layar televisi yg mulai mengisi kesunyian di sepetak kamar kost-an yang ku tempati selama 2 tahun terakhir ini. Tidak lagi aku mendengar suara cerewet si Tika malam ini. Biasanya dia selalu mengoceh tentang apa saja yang terjadi hari ini di campus. Tapi untungnya Anjas telah menyelamatkanku dari ocehannya sejak sore tadi. Entah laki-laki itu membawanya kemana. Tapi pada intinya mereka memanglah selalu main bersama di setiap sore. Tetangga pun bilang mereka pasangan yang cocok. Kini tersisa aku sendiri di kamar bernuansa biru ini.
Jangan tanyakan aku. Mengapa aku lebih memilih berdiam di tempat saja. Karena jawabnya hanya satu. Aku menjalin hubungan jarak jauh dengan seseorang yang ku kenal bulan kemaren. Namanya Arya. Usianya tidak terpaut jauh dari usiaku, hanya 3 tahun. Aku memiliki kisah yang berbeda dengan Tika dalam hal ini. Jika Tika bisa menikmati tatapan indah Anjas setiap hari maka, beda denganku. Jangankan menatap nya . Bertemu meski sekedar lewat saja, aku tidak pernah. Aku di Jakarta. Dia di Cilacap.
Aku mengenalnya lewat media. Jadi, komunikasi kami pun lewat media. Bgtupun dengan pertemuan kami tiap harinya. Tapi aku nyaman. Aku bahagia. Itu yang ku rasakan saat ini. Hingga Aku terlupa masih ada hari esok. Cerita tidak selalu sama.
Namaku, Dania septian Rajasa. Anak kedua dari Dua bersaudara. Kakaku Melani mehran Rajasa. Aku mahasiswa semester 5 di tahun ini.
Dan dari sini semuanya di mulai.
***
Beberapa Tahun lalu,
Usiaku masih terlalu rentan untuk mengerti hal itu. Nenek Aisyah menangis di halaman rumah. Ibu pun menangis. Dan menyisakan satu orang yang duduk di kursi panjang tempatku bermain setiap harinya. Ayah. Dia tidak menangis. Menunduk, dengan ekspresi yg tidak ku pahami.
Aku meringkuk di depan pintu. Menatap wajah-wajah keluargaku satu persatu. Tiada yang peduli dengan diriku saat itu. Suasana terlihat menegangkan. Dua menit. Tiga menit. Ibu menjamah ku yg kembali tertidur di pintu rumah kayu sederhana itu. Ibu menggendongku. Mengeratkan kain panjang yang biasa dia pakai di pundaknya. Aku membuka mata heran. Semakin banyak mata disini. Mereka memandangku dengan tatapan iba.
Apa yang sebenarnya terjadi. Ibu mengeluarkan barang yang sudah di bungkus karung besar. Dan mulai melangkah membawaku menyusuri dinginnya kabut pagi. Masih shubuh saat itu. Semua mata mendekat. Mendekap ibu. Lalu menciumiku. Kemudian semuanya hilang. Ingatanku memudar. Saat mulai 8 tahun, usiaku. Aku tahu tragedi itu, orang lain sering kali menyebutnya dengan broken home.
Sekarang.
Suara derap kaki mendekati pintu kost-an di luar sana, ku dengar. Itu pasti Tika. Ku lirik jam di pergelangan tangan. 20.39 menit. Masih sore gumam ku. Tumben dua sigung itu jam segini sudah balik. Terkadang mereka sering menghabiskan separuh malam berdua di tempat favorit mereka. Beda denganku yang terus berkutat dengan buku dan materi. Pintu depan terbuka. Ku lihat Tika melambaikan tangan ke lawan bicaranya.
"Aku pamit, Dania."Suara Anjas di ambang pintu.
"Iya,, lain kali. Pulang main bawain makan kek, Hihihi." Jawabku sembari berdiri mendekati Tika yg terus bergelayut memegang gagang pintu.
"Ah, lupa. Iya besok-besok ,aku bawakan untukmu, madam. Wkwkwk." Itulah panggilannya padaku setiap kali merajuk. Karena aku terlalu sering berceloteh kala Anjas membawa temanku yang cerewet ini hingga larut bermain. Hingga mereka lupa untuk kembali awal ke rumah.
***
2 bulan berlalu.
Tidak ada yang berbeda. Masih seranjang dengan saudara burung Beo, Tika. Kuliah hukum ku juga seperti hari biasa. Benar-benar tidak ada yang mengalami perubahan. Hubungan Tika sudah mulai ada tanda-tanda keseriusan. Minggu kemarin Anjas sudah menemui keluarganya. Aku tertinggal satu langkah lagi. Hufft,, terkadang aku jenuh terus mengitari jalan yang sama. Tidak ada kemajuan. Hanya harapan , harapan dan harapan.
"Dania..!"
"Kamu budeg ya ? Ponsel kamu nih bunyi terus. Mengganggu semedi ku saja". Gerutunya.
Tanpa protes, buru-buru aku menghampirinya. Menggeser panel hijau disana. Aku terlupa, ponselku tertinggal di kasur tepat di samping Tika tertidur. Pantas dia menggerutu, karena aku telah mengganggu hobinya bersemedi di ranjang Doraemon itu.
"Halo..."
"Lama sekali, jawabnya ?" Suara khas di seberang sana yg selalu memenuhi memory fikirku akhir-akhir ini.
"Aku diluar. Ponselku tertinggal di kamar. Ada apa ?" Tanyaku penuh hati-hati. Takut tanyaku salah.
"Besok, aku berangkat ke Tangerang." Ujarnya.
Sontak membuat seluruh nadiku berhenti berfungsi. Jantungku berhenti berdetak. Waktu seakan-akan terhenti beberapa saat. Aku membeku. Terdiam , tak bisa berujar. Kabar baik kah ?
"Dania.." Panggilnya begtu lembut.
"Iya, E'hem,,,,hati-hati." Aku melebur dari titik beku ku.
"Do'akan aku. Semoga kerjaanku membaik disana. Dan aku bisa menemui mu disitu."
"Pasti."
Aku tersenyum tipis. Bahagia rasanya. Penantian berbulan-bulan ini. Ku lirik Tika yang menggeluti bantal guling. Kalaupun dia tahu kabar ini, pasti Tika yang paling heboh. Berjingkrak-jingkrak bahkan berseru-seru membuat tetangga sebelah melongo di ambang pintu. Menatap tingkah Tika keheranan. Kemudian beralih menatapku yang menahan tawa. Seperti kejadian beberapa bulan yang lalu, disaat dia tahu. Aku punya do'i.
Sambungan terputus kala adzan Maghrib hampir terdengar. Aku membngunkan Tika, menyuruhnya untuk bergegas mandi. Ku kenakan mukenah yang di belikan ibu waktu ulang tahunku, tahun kemarin. Menunggu Tika di teras depan. Melangkah bersama menuju masjid terdekat dari rumah.
Siapa sangka kalimat beberapa menit yg lalu ku dengar, kembali membuatku yakin untuk terus melangkah. Untuk terus memulai, ahh,,,, tidak perduli sampai dimana kakiku akan melelah. Aku hanya tahu tntng satu hal, aku harus berani memulai untuk hasil yang ku impikan-impikan tercipta. Aku mencoba berdamai dengan malam. Menatapnya lebih lama. Bercengkrama dengan bintang di kejauhan.
"Cie,,, ada yang lagi kasmaran. Senyum-senyum sendiri. Awas kesambet. Wkwkwk."
Berulang kali Tika menggodaku. Dia selalu melirik tingkahku yang tiada bosannya membuat lengkungan di bibir ini. Rasanya berbeda. Hatiku seperti menemukan hal yang sulit terurai. Sulit di telaah.
"Tuhan,,,jadikan ini jawaban di setiap do'aku. Jadikan dialah orangnya." Bisik ku dalam hati.