Ara dan Ana berjalan berdampingan sambil berangkulan, berbicara panjang lebar sambil tertawa. Mereka telah sampai di tempat peragaan makeup di salah satu mall sejak tadi. Dari luar saja mereka bisa melihat begitu banyak pengunjung yang mayoritas nya adalah kaum hawa, secara acara ini merupakan peluncuran sebuah brand makeup dengan bintang terkenal sebagai ambasadornya.
Mereka tidak perlu berdesak - desakan dengan pengunjung lain karena acaranya belum dimulai, jadi dengan mudah mereka bisa mendapatkan tempat duduk.Setelah memilah agar bisa menyaksikan acara tersebut dengan nyaman, akhirnya mereka mendapatkan tempat duduk. Posisi mereka bisa dibilang strategis karena berada di tengah - tengah di baris kedua. Mereka memang sengaja mencari tempat duduk yang berdekatan dengan panggung, agar bisa melihat secara jelas tentang acara tersebut.
Setelah menunggu agak lama hingga seluruh kursi terisi penuh, akhirnya acara pun dimulai. Dengan kata sambutan sebagai awal dibukanya acara, bincang - bincang dengan ambasador, sesi tanya jawab hingga peragaan makeup yang akan di ajarkan langsung oleh MUA.
Ara dan Ana terlihat sangat antusias dengan acara tersebut, hingga acara tersebut selesai, Ara dan Ana pun ikut berlomba untuk berfoto dengan pengisi acara tersebut, hingga beberapa saat kemudian saat sedang berdesak - desakan dengan pengunjung lain secara tidak sengaja ada salah satu wanita yang juga ikut berpartisipasi dalam acara tersebut menarik tangan Ara dengan kuat hingga rintihan keluar dari mulut Ara.
Ana yang mendengar rintihan tersebut menoleh kehadapan Ara, Ia kaget sangat mendengar rintihan suara Ara.
"Ana, kau tidak apa..? Ada apa? Tanya Ana yang sangat cemas melihat Ara yang sepertinya sedang menahan sakit.
Mata Ara sudah berkaca - kaca. Rasa sakit akibat tarikan tiba - tiba pada tangannya membuat ia tidak sanggup untuk berbicara. Ia tidak tahu siapa orang yang menarik tangannya dengan kuat, karena disini banyak sekali pengunjung.
Melihat hal tersebut, Ana langsung mengajak Ara untuk keluar dari kerumunan yang sesak untuk mencari tempat yang luas dan tentu saja mereka dengan mudah mendapatkannya karena sebagian kursi disini banyak yang kosong.
Setelah mendapat tempat yang dirasa nyaman untuk Ara, Ana menarik pelan Ara untuk menduduki salah satu kursi yang kosong.
"Ada apa? Apa yang terjadi? kenapa tiba - tiba kau merintih..? ulangnya..
Ara tidak menjawab pertanyaan beruntun Ana, tetapi ia menunjukan tangan yang ditarik orang yang tidak dikenal tersebut.
" Kenapa kau menunjukkan tanganmu padaku?"
" Seseorang menarik kuat tanganku hingga sakit, makanya aku langsung merintih tadi..."
Ana memeriksa tangan Ara. Ketika tangannya berada dipergelangan tangan milik Ara, Ana terkejut mendengar teriakan kecil keluar dari bibir Ara. Saat Ana melihat, ada lebam berwarna biru tercetak disana. Meskipun kulit Ara berwarna kuning gading, berbeda dengan kulit Ana yang berwarna coklat, lebam tersebut masih bisa terlihat dengan jelas pergelangan tangan Ara.
Ana terlihat khawatir karena melihat Ara sepertinya sangat kesakitan. Jadi Ana langsung mengambil inisiatif untuk langsung mengajak Ara pulang.
" Apa pergelangan tanganmu masih sakit? Lebih baik kita pulang sekarang agar bisa langsung mengobatinya. Aku takut tanganmu kenapa- napa..."
Ara menganggunk mengiyakan karen ia tidak bohong kalau pergelangan tangnnya sakit. Ketika mereka berdiri dari duduknya, mereka dikagetkan dengan suara bass milik seseorang yang memanggil nama salah satu dari mereka.
" Ara...?"
°°°°°
"Ara...."
Ara yang namanya dipanggil menoleh kearah suara. Bola matanya membulat saat melihat siapa yang memanggilnya.
Abrar. Pria itu yang memanggilnya. Tapi kenapa dia bisa ada disini?
"Abrar, kau ada disini...?" tanyanya
Ana yang melihat interaksi mereka yang sepertinya sudah saling kenal hanya diam mengamati. Tidak berniat untuk ikut nimbrung dalam pembicaraan mereka berdua.
Abrar terlihat mengusap lehernya. "Ah..ya, aku sedang menemani adikku dalam acara ini.."ujarnya
Ara hanya menganggukan kepalanya, tidak menjawab.
namun sepertinya berbeda dengan Abrar. Ia terlihat tidak puas. " Jadi, Ara juga ikut dalam acara ini..?
Ara yang ditanya menatap Abrar sejenak sebelum menjawab. " Ah.. i..iya. Aku dan Ana ikut dalam acara ini. Hitung - hitung menghabiskan waktu liburan sebelum masuk kuliah kembali", terangnya. Jujur saja Ara sangat gugup berbicara dengan Abrar. Bukan karena ia anak teman dari kakeknya, melainkan pesona Abrar yang sangat mencolok dimatanya. Ara merasa kecil saat berbicara dengan Abrar.
"Ehem..."
Telinga mereka menangkap suara asing. Ara yang pertama kali menyadarinya tersenyum canggung kepada Ana. Ia melupakan kehadiran Ana disini dan sudah pasti Ana melihat interaksinya dengan Abrar tadi. Kecanggungan pun terjadi antara mereka bertiga. Ara yang langsung terdiam, sedangkan Abrar berpura - pura mengalihkan pandangannya kearah lin. Disini Ana merasa menjadi pengganggu di antara mereka berdua. Sangat di sayangkan. Lihat, akibat dehemannya tadi, kedua orang tadi menjadi diam.
"Jadi, bisa kenalkan Aku dengannya Ara? Aku sungguh sangat penasaran dengannya...".
Abrar yang mendengarnya langsung mengulurkan tangannya kearah Ana sambil memperkenalkan diri.
Maaf, aku sungguh tidak sopan. Perkenalkan, aku Abrar Pranadja, teman dari kakek Ara, dan kebetulan kami sudah saling kenal saat berada di acara kemarin.
Ara tersenyum canggung. Antara malu dan senang. Di satu sisi ia malu karena terperegok Ana terlihat gugup didepan Abrar, namun ia juga merasa senang karena bisa tahu nama panjang Abrar, karena saat mereka berkenalan di acara amal kemarin, Abrar hanya mengatakan padanya dengan nama Abrat, tidak dengan nama panjang.
Ana membalas uluran tangan Abrar." Perkenalkan Aku Ana, sahabat kecil Ara sampai sekarang..."
Abrar tersenyum dan mengangguk mendengar jawaban Ana.
Ana menolehkan pandangannya kembali ke Ara. "Jadi, kau ingin pulang sekarang untuk mengobati tanganmu atau nanti..?
Sejenak Ara melupakan sakit pada tangannya. Ia mengusap pergelangan tangannya dengan pelan. " Lebih baik kita pulang, aku juga sudah letih. rasanya tidak sanggup untuk berdesakan lagi..." ujarnya.
Abrar yang mendengar pembicaraan Ara dan temannya, diam termangu. Telinganya menangkap omongan Ana yang bilang kalau pergelangan tangan Ara yang sakit. Secara refleks, antara sadar atau tidak, Abrar langsung menggenggam tangan Ara. Matanya menangkap ada lebam di bagian pergelangan tangan Ara.
Ara yang terkejut dengan tindakan Abrar sontak saja langsung menarik tangannya yang saat ini genggam oleh Abrar, namun tarikan tangannya yang lemah membuat genggaman Abrar pada tangannya tidak terlepas.
"Apa ini sakit sekali..?"
Ara terkejut untuk kesekian kalinya. Yang pertama saat tangannya digenggam erat Abrar dan sekarang Ia kembali dikejutkan dengan pertanyaan yang tersirat tentang kekhawatiran Abrar terhadapnya. Degup jantung yang sedari tadi berdetak dengan cepat kini semakin cepat hingga Ara merasa dadanya akan meledak.
Otak Ara masih belum bisa diajak untuk berkompromi. Bagaimana tidak, tangannya yang lebam itu diusap pelan dengan tangan kekar Abrar. Kulit nya yang bersentuhan dengan Abrar untuk kedua kalinya seperti terkena sengatan listrik bervolume rendah. Wajahnya merona, salah..mungkin sangat merah sekarang. Ia menunduk, tidak berani menatap wajah Abrar. Namun seketika saja semua itu lenyap saat mendengar suara yang menginterupsi mereka untuk kedua kalinya dan itu sukses membuat Abrar dan Ara merona. Tertangkap sedang menikmati kegiatan mereka satu sama lain.
"Jadi....", Suara Ana kembali bertanya. Tidak ingin melihat adegan love bird diantara mereka lagi. Ana tau kalau Ara malu melihat tindakan Abrar yang mengelus pelan tangan Ara yang sakit. Sebenarnya ia tidak mau mengganggu interaksi mereka, namun ia harus melakukannya karena pergelangan tangan Ara yang sakit masih belum diobati.
Ara berusaha melepas pelan tangannya yang masih digenggam erat oleh Abrar. Abrar yang melihat Ara yang mencoba melepaskan genggaman tangannya membiarkan Ara. Meskipun ada perasaan tidak rela karena ia bisa memegang tangan lembut Ara untuk kedua kalinya namun ia tidak boleh egois karena saat ini tangan Ara harus segera diobati.
"Aku tidak apa kak..."
Abrar termangu sejenak. Telinganya mendengar dengan jelas kalau Ara memanggilnya dengan sebutan kakak. Meskipun adiknya memanggilnya dengan kata itu, entah kenapa saat Ara yang memanggilnya ia merasakan sesuatu yang berbeda. Ada perasaan asing yang menyusup ke hatinya. Entah itu apa Abrar tidak tahu.
"Kami permisi pulang dulu kak..."
Lamunan Abrar langsung pecah saat itu juga. Manik matanya menangkap pergerakan Ara yang akan pergi. Namun sebelum Ara melangkah sedikit menjauh, Abrar memegang tangan Ara yang tidak sakit dan menahannya agar Ara berhenti.
"Apa besok kakak boleh berkunjung kerumahmu...?