Chereads / Teen Taste / Chapter 4 - Bab 4

Chapter 4 - Bab 4

Apa kalian percaya jika seorang nakal seperti Imelda akan selalu bersujud diatas sajadah dengan menggunakan kain mukena putih?

Apa kalian percaya jika seorang berandal seperti Imelda akan selalu berkeluh kesah dan mencurahkan semua isi hatinya kepada Tuhan?

Mungkin sebagian orang menganggapnya tak percaya. Namum apa yang bisa mereka buat jika memang orang seperti Imelda kenyataannya tidak akan pernah meninggalkan kewajibannya sebagai seorang muslim satu waktu pun.

Menurut Imleda mencurahkan semua isi hatinya kepada Tuhan adalah pilihan terbaik dari pada mencurahkannya kepada Manusia. Terkadang manusia hanya bisa mendengar tanpa bisa memberi solusi. Sedangkan Tuhan bisa mendengar dan selalu mempunyai jalan keluar untuk masalahnya.

Imelda tau bahwa selama ini dirinya selalu melakukan banyak kesalahan bahkan sikapnya yang seperti berandalan dan urakan bisa membuat orang berfikir bahwa dirinya adalah manusia yang lupa dengan Tuhan-Nya.

Namun mereka salah!

Imelda yang selalu terlihat urakan itu adalah manusia yang tidak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai seorang muslim.

Walaupun kini dirinya belum berhijrah, namun dia berharap suatu saat nanti bisa berhijrah dan menutup rambut berwarnanya dengan kain-kain hijab.

Imelda tahu dirinya manusia yang penuh dosa, namun dia akan lebih dosa jika meninggalkan Sholat dan melupakan Tuhan-Nya.

Seperti saat ini, setelah dia selesai melaksanakan Sholat isya'nya, gadis itu melepas mukenanya lalu melipatnya beserta Sajadahnya dan disimpan didalam lemari kecil dekat tempat tidurnya.

Setelah itu, dia melangkahkan kakinya keluar kamar untuk memabasahi tenggorkannya yang terasa begitu kering.

Namun baru saja Imelda menuruni tangga dan akan melangkah kedapur, suara seseorang dari ruang tamu membuat langkahnya terhenti.

"Apa saya menyekolahkan kamu hanya untuk main-main?"

Imelda mengentikan langkahnya lalu membalikan badannya. Matanya langsung menangkap seorang laki-laki paruh baya yang sedang duduk disofa ruang tamunya sedangkan matanya menatap lurus kelayar laptop yang berada dihadapannya.

"Jika kamu sekolah hanya untuk main-main, keluar saja! Dari pada harus memalukan saya" Katanya dengan suara pelan namun terdengar menusuk bagi Imelda.

Imelda melangkahkan kakinya mendekati orang itu dan berdiri didepanya "Maksud Papa apa?"

Angga--Papa Imelda mengalihkan pandanganya kearah Imelda.

Tatapan itu!

Imelda benci tatapan itu. Imelda benci tatapan dingin dan tajam itu.

Angga mengambil sebuah amplop putih yang berada disebelah laptopnya lalu dileparkan kearah Imelda.

"Sudah berapa kali saya bilang! Jangan bersekolah jika kamu hanya ingin main-main" Kata Angga penuh penekanan.

Imelda membungkukan badannya, mengambil amplop putih itu lalu membaca tulisan yang tertera didepan amplop itu.

Imelda terdiam. Itu adalah surat panggilan untuk orang tua agar datang kesekolah. Itu semua pasti karena Imelda sering memebolos.

"Kamu mau bikin sama malu ia?"

"Iyah, saya ingin anda malu dan membuat mereka tahu bagai mana sikap seorang pemilik sekolah kepada anaknya sendiri" Jawab Imelda dengan beraninya.

Angga mengepalkan tangannya "Sejak kapan kamu masih anak saya? Bahkan nama kamu saja sudah saya hapus dari kartu keluarga"

"Sampai kapanpun" Jawab Imelda "Sampai kapanpun saya akan selalu mengganggap anda orang tua saya walaupun anda tidak pernah menganggap saya anak anda. Karena saya tau, saya ada disini karena anda bukan orang lain"

Setelah mengatkan itu, Imelda kembali menaiki tangga dan masuk kedalam kamarnya.

Rasa hausnya seketika hilang karena perdebatan dengan Papanya. Lagi-lagi dia haru berdebat dengan papanya.

Imelda tak tau sebesar apa kesalahannya hingga membuat orang tuanya sendiri tak mau menganggapnya anak.

Imelda mengambil jaketnya lalu memakainya. Setelah itu dia keluar dari kamarnya dan pergi keluar dari rumahnya.

Dirinya memerlukan sedikit tambahan udara untuk menghilangkan rasa sesak didadanya.

"Neng imel mau kemana malam-malam begini?" Tanya Mang Ibo--saptam rumah Imelda ketika melihat Imelda berjalan kearah pintu gerbang.

"Saya cuma mau nyari angin pak" Jawab Imelda.

"Eneng sama Ba--"

"Itu sudah biasa pak" Potong Imelda dengan cepat.

"Eneng yang sabar yah" Kata Pak Ibo dengan nada prihatin.

Imelda menganggukan kepalanya sambil tersenyum lalu setelah itu melanjutkan langkahnya keluar dari rumahnya.

Lagi-lagi gadis itu memilih untuk jalan kaki, padahal dirinya mempunyai kendaraan sendiri yaitu motor dan juga mobil. Namun sayangnya gadis itu tak berniat sedikit pun untuk membawa kendaraannya.

Imelda memasukan tangannya kedalam saku jaketnya lalu setelah itu dia menghirup udara malam yang begitu sejuk.

Kaki Imelda terus melangkah, hingga pada akhirnya gadis itu berhenti disebuah taman yang tak jauh dari kompleknya.

Taman itu begitu sepi, mungkin karena cuaca yang dingin membuat orang-orang malas untuk keluar rumah.

Kaki Imelda berjalan menelusuri taman itu hingga pada sanpai akhirnya dia memilih untuk duduk disebuah ayunan yang berada disana.

Imelda memundurkan badannya lalu meluruskan kakinya hingga membuat ayunan itu bergerak kedepan dan kebelakang.

Rambutnya yang tak diikat ikut berterbangan seiring ayunan itu bergerak. Imelda memejamkan matanya, menikmati angin yang menerpa kulit wajahnya.

Namun, dari mata yang terpejam itu mengalir sebuah air dari dalamnya hingga menetes kepipi putih Imelda.

Imelda menundukan kepalanya lalu menghentikan ayunannya dan membiarkan air matanya mengalir dan menetes dicelana yang dia pakai.

Seiring mengalirnya air mata Imelda dan runtuhnya pertahanannya, rupanya lagit juga merasakan hal yang sama.

Pertahanannya runtuh hingga membuat satu persatu bulir air jatuh dari awan yang menggumpal hingga lama kelamaan menjadi semakin banyak.

Imelda tak berkutik, gadis itu membiarkan dirinya diguyur air hujan hingga tidak ada yang tahu saat ini dirinya sedang menangis karena air matanya bercampur dengan air hujan.

Imelda mendongkakan kepalanya, membiarkan wajahnya diguyur hujan dengan mata terpejam.

Sura gemuruh guntur dan pentir terdengar begitu nyaring. Namun itu semua tak membuat Imelda takut ataupun beranjak pergi dari tempatnya saat ini.

'Biarkan aku menjadi orang lemah untuk saat ini saja' Batin Imelda berkata.

'Aku lelah tuhan, lelah dengan semua ini. Aku selalu berfikir untuk pergi dari dunia ini agar semua masalah ini selesai. Namun aku sadar, didunia ini masih ada seseorang yang membutuhkanku walaupun dia tak pernah menganggap aku ada'

'Biarkan aku untuk hidup lebih lama lagi didunia ini. Tolong beri aku kekuatan agar bisa berteman dengan rasa sakit dan perih ini'

Imelda suka seperti ini, suka disaat air hujan membasahi wajahnya. Karena dengan itu dia akan puas menangis tanpa ada satu orang pun yang mengetahuinya.

Namun siapa sangka, tak lama kemudian air hujan tak lagi mebasahi wajahnya.

Imelda mengerutkan keningnya lalu membuka matanya. Matanya langsung menangkap benda cekung transparan yang menyanggah air hujan hingga air itu tak bisa mengenai tubuh Imelda karena terhalang oleh payung itu.

Imelda menurunkan kepalanya menatap seseorang yang berdiri didepannya sambil memegang gagang payung itu.

Keduanya sama-sama terdiam cukup lama. Mata coklat milik Imelda bertemu dengan mata coklat seseorang yang memakai hoodie hijau itu. Keduanya sama-sama terdiam cukup lama dan saling beradu tatapan.

"Pulang!" Ucap orang itu penuh penekanan.

"Apa urusan lo?" Tanya Imelda lalu bangkit dari duduknya dan berdiri didepan Vega "Lo siapa gue sampe berani-berani ngatur hidup gue?"

"Lo---"

"Denger yah, lo cuma sekedar tetangga gue gak lebih dan stop ikut campur tentang kehidupan gue. Stop ganggu hidup gue" Kata Imelda.

Vega tersenyum miring lalu membuang pandangannya kearah lain "Lo harusnya beruntung" Katanya.

Imelda mengerutkan keningnya "Untuk?"

"Karena lo masih punya tetangga yang perhatian dengan hidup lo yang menyedihkan itu"

Kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Vega membuat tangan Imelda terkepal hingga membuat kuku-kukur jari tangannya memutih.

Vega menggeleng-gelengkan kepalanya "Pasti gak enak yah kalo kita hidup tapi gak pernah diaggap, apa lagi gak dianggap sama orang tua kita sendiri" Katanya "Pasti rasanya juga sakit yang kalo kita terus disalahin sama orang tua kita sendiri"

Imelda memejamkan matanya untuk meredakan emosinya yang sudah sampai diubun-ubun.

"Tapi menurut gue sih, lo wajar disalahin juga. Karena emang itu semua kesalahan lo. Andai wak--"

Plak

Cukup!

Nafas Imelda naik turun tak beraturan. Tangannya terasan panas akibat menampar pipi laki-laki yang berada dihadapannya.

"GUE GAK PERNAH SEKALIPUN BUAT MINTA LO PERHATIIN HIDUP GUE" Teriak Imelda meluapkan semua emosinya.

Vega tersenyum miring, lalu tangannya menyentuh pipinya yang terasa panas perih akibat tamparan Imelda.

"DAN GUE GAK PERNAH BEHARAP PUNYA TETANGGA YANG PERHATIAN DAN BERENGSEK KAYA LO"

Air mata Imelda kembali jatuh. Imelda tidak suka jika ada seseorang yang mengkasihani kehidupannya dan mengungkit-ungkit masa lalunya yang hanya akan membuat dirinya semakin merasa bersalah.

"Denger Vega!" Kata Imelda penuh penekanan "Hidup gue memang memprihatinkan tapi gue gak perlu dikasihani. Dan gue emang salah, jadi tanpa lo kasih taupun gue sadar"

Imelda mendorong tubuh Vega hingga membuat tubuh laki-laki itu mundur kebelakang dan setelah itu dia berlari dari hadapan Vega yang masih terdiam ditempatnya.