Pembahasan siapa yang lebih mencintai siapa dalam percintaan Huda dan Balqis, pernah ramai menjadi pembahasan warganet. Mereka membuka forum diskusi dan membahasnya.
Huda selalu membuka kisahnya untuk konsumsi publik. Para fans dan penikmat menganggapnya sebagai drama dunia nyata. Setia menantikan seperti apa kelanjutannya. Mereka berkomentar sebagai penonton, menilai seperti sutradara, dan melontarkan berbagai prediksi layaknya penulis naskah.
Menengok lagi ke belakang, jelas Huda lebih unggul. Pengorbanan Huda, waktu yang dihabiskannya untuk menunggu, semua itu tidak bisa dipungkiri.
Tentang bagaimana Huda memperlakukan Balqis, bagaimana ia memberi penilaian setiap kali ditanya, semua menjadi nilai lebih untuknya. Huda mendominasi.
Meski selalu Huda, Huda, Huda, dan Huda, setiap orang memiliki sudut pandangnya masing-masing. Bagi banyak orang di luar sana, mungkin Balqis terkesan lebih banyak menerima. Jika diberi, baru kemudian membalas. Ia tidak pernah lebih dulu memperlihatkan sikap manisnya atau kata-kata mesra untuk menunjukkan cintanya. Balqis tidak pernah menjadi yang pertama mengambil inisiatif.
Setiap orang bebas melemparkan penilaiannya, tapi Zahra dan Nanda tahu pasti tidak semua hal yang orang-orang sebut mengenai Balqis itu benar. Balqis juga melakukan banyak hal yang sama besarnya seperti yang Huda lakukan.
Tentu saja. Rumah tangga tidak akan bisa berjalan jika hanya satu orang saja yang menjalankannya. Rumah tangga seperti kendaraan yang harus dijalankan bersama dan Balqis telah melakukan semua bagiannya. Pun sama halnya yang berlaku bagi Huda. Ia pun telah melakukan semua bagiannya.
Walaupun Balqis telah memutuskan untuk membuka hati, pernikahan keduanya tetap terasa begitu cepat. Balqis berusaha keras untuk bisa beradaptasi. Cara beradaptasi yang pertama kali ia lakukan setelah menikah adalah melepas pekerjaannya.
Bagi Balqis, pekerjaannya adalah kebanggaannya. Menjadi arsitek adalah cita-cita Balqis sejak lama. Ia baru menggeluti pekerjaannya tiga bulan ketika itu.
Zahra dan Nanda sama-sama tahu sangat tidak mudah bagi Balqis untuk membuat keputusan. Meski tidak mudah, Balqis tidak pernah mengeluh.
Menjadi Nyonya muda mungkin terlihat menyenangkan bahkan menjadi impian semua wanita. Tapi untuk berada di tempat itu juga tidak mudah. Terutama bagi Balqis.
Balqis tidak memiliki banyak teman dekat. Saat sekolah, orang tuanya bahkan mengira hanya Zahra dan Nanda temannya. Balqis tidak begitu suka keramaian. Tipe yang tertutup bukan berarti ia anti sosial. Balqis sama sekali tidak memiliki masalah dengan kemampuannya berinteraksi dengan orang lain. Ia hanya pendiam dan menyukai hal-hal yang tenang.
Meski Zahra adalah pengecualian. Zahra bukan sesuatu yang tenang tapi Balqis menyukai pertemanan mereka.
Bagi wanita dengan sifat seperti Balqis dan memiliki kehidupan keluarga yang sebelumnya sangat sederhana, menikah dengan Huda telah memutar balik dunianya.
Balqis sering ikut perjalanan bisnis suaminya. Menghadiri berbagai acara penting. Bersosialisasi dengan berbagai tipe orang yang tidak pernah ia temui sebelumnya. Belajar mengenai bisnis, mengikuti tren barang-barang bermerek agar mengerti ketika orang lain membahasnya atau mereka bertanya padanya.
Dari semua itu, bagi seseorang dengan kepribadian tertutup, membuka kehidupannya untuk diketahui dan diikuti banyak orang adalah hal yang paling membuat frustrasi.
Zahra dan Nanda sangat tahu betapa Balqis telah berusaha dengan begitu keras untuk mengimbangi suaminya. Tahap demi tahap. Tidak ada yang mudah, tapi Balqis tetap melaluinya langkah demi langkah.
Balqis masih melambaikan tangannya sampai mobil yang ditumpangi Zahra dan Nanda tidak terlihat lagi.
Setelah hilang di tikungan, Huda melepas tangannya dari pinggang Balqis. Senyumnya lenyap. Tatapannya yang hangat dan penuh kasih sayang, berubah sinis dan dingin. Huda meninggalkan Balqis dan berjalan masuk ke dalam rumah lebih dulu.
Untuk beberapa saat, Balqis masih hanya diam di tempatnya. Tangan kanannya menggenggam tangan kirinya erat. Ia menghela nafas panjang, menguatkan diri, dan ikut masuk ke dalam rumah.
Bu Ruri mengantarkan jus tomat milik Huda ketika Balqis masuk. Huda menghadap lukisan pemandangan, membelakangi pintu. Punggungnya terlihat tenang, teduh. Balqis tahu itu tidak benar. Ada kemarahan di sana. Kemarahan yang sudah dipendamnya sejak tadi.
"Kak," Balqis memanggil lembut.
Huda berbalik perlahan. Menatap Balqis dengan dingin. Detik berikutnya, ia menepiskan tangannya ke arah gelas berisi jus. Gelas melayang, jatuh, dan pecah di lantai. Isinya yang belum tersentuh berhambur di dekat kaki Balqis.
"Bukannya aku melarangmu datang! Bukannya aku melarangmu keluar dari rumah selama aku tidak ada!" Huda berteriak. Wajah malaikatnya lenyap tak bersisa. "Apa kamu mau kembali menjadi pembangkang?!"
Balqis tidak menjawab. Ia hanya diam tertunduk.
Huda menghela nafas. Berusaha meraih lagi ketenangannya. Ia memerhatikan Balqis. Harusnya seperti itu. Patuh dan tunduk. Ia suka sikap Balqis yang seperti itu. Dan menjadi istri memang harusnya tunduk dan patuh. Baik di depan atau pun di belakang. Baik ia ada maupun tidak.
Kaki Huda melangkah. Ia mendekat pada istri yang baru ia sadari lebih kurus dibanding terakhir kali ia ingat. Huda mengecup kening Balqis, kemudian membelai rambutnya.
"Selama dua hari ini aku selalu memikirkanmu. Aku sangat merindukanmu dan berharap begitu pulang, aku bisa melihatmu. Tapi ternyata..." Huda berhenti. Tersenyum sinis. "Kamu justru bersenang-senang dengan teman-temanmu. Mendatangi reuni yang kularang. Sama sekali tidak memikirkan perasaanku."
"Maaf. Sebagai panitia..."
"Oh, ternyata demi jabatan yang enggak seberapa itu kamu jadi pembangkang!" Huda kembali meninggikan suaranya. Ia semakin kesal. "Bu Ruri!!"
Bu Ruri datang tidak lama kemudian. Ia membawa rotan yang mirip pecut kuda dan menyerahkannya pada tuannya.
Balqis tahu apa yang telah menantinya. Berapa harga yang harus dibayar karena tidak menuruti perintah suaminya. Balqis telah siap untuk itu.
Pukulan pertama, Balqis memekik kesakitan. Pukulan kedua, ketiga, sampai seterusnya, ia hanya bisa menahannya. Ia harus menahannya.
Balqis mencengkeram roknya kuat-kuat, menggigit bibirnya. Air menitik di sudut matanya. Entah harus merasakan pukulan sebanyak atau bertahan berapa lama sampai tubuhnya kebal terhadap rasa sakit.
Huda berhenti setelah 10 pukulan.
"Bersiap-siaplah, kita harus ke rumah Ibu," kata Huda kemudian. Ia melemparkan rotan di tangannya ke lantai dan naik ke kamar.
Rasa sakit membuat Balqis tidak dapat melakukan apa pun untuk sesaat. Ia hanya diam berdiri. Membisu di tempatnya. Matanya masih terpejam, tangannya masih mencengkeram roknya. Air di sudut mata telah mengering, tapi ia akan selalu mengingat rasa sakitnya, perihnya. Setiap pukulan yang diterimanya. Setiap air matanya yang tumpah.
"Bu…"
Balqis membuka matanya dan melihat Nurul menatapnya dengan khawatir. Gadis yang baik.
Balqis mencoba tersenyum. Kalau tidak, Nurul akan semakin mengkhawatirkannya.
"Tolong dibersihkan, ya!" Balqis berkata pada Nurul. Ia berusaha membangun kembali kekuatannya. "Enggak apa-apa," Balqis berkata lagi karena Nurul masih saja menatapnya dengan ekspresi penuh kesedihan.
Balqis menepuk lengan Nurul dan naik untuk bersiap-siap.
Kepergian nyonyanya masih ditatap Nurul dengan perasaan sedih dan tak berdaya. Ia tahu betapa sakitnya pukulan rotan yang tuannya berikan. Nurul pernah mengalaminya sekali. Ketika itu ia belum tahu apa-apa. Belum mengerti bahwa satu kata membangkang yang keluar dari mulutnya, maka akan membuat nyonyanya lebih menderita. Akan menerima pukulan lebih banyak.
Nurul menatap rotan yang tergeletak di lantai dengan marah. Ia ingin membantu nyonyanya, ingin membalas budi. Sangat ingin. Tapi apa yang bisa dilakukannya, ia benar-benar tidak berdaya. Ia terikat kontrak untuk tidak membocorkan apa yang dilihat atau didengarnya di rumah.
Meski kesal, Nurul tetap melakukan pekerjaannya.
Di media sosial ada banyak artikel yang beredar mengenai tuannya. Mengenai prestasi, keluarga, perusahaan, dan segala hal terkait Azhar Huda Pradipto.
Nurul sering memerhatikan bagaimana orang-orang berbicara mengenai tuannya. Bagaimana penggemar memujinya setinggi langit. Nurul tidak ingin menyalahkan ketidak tahuan mereka. Tapi tetap saja ia merasa kesal jika ada orang yang berbicara sembarangan mengenai nyonyanya.
Seandainya mereka tahu bahwa menjadi Balqis sepenuhnya bukan mengenai kebanggaan dan kesenangan.
"Apa betul-betul enggak ada cara untuk membantu Ibu?" Nurul bertanya pada Bu Ruri ketika pekerjaannya telah selesai.
Bukannya menjawab, Bu Ruri justru memukulnya. "Kamu tahu bagaimana, 'kan kalau Bapak sampai dengar?!" bentak Bu Ruri. "Jadi jangan ikut campur. Jangan berpikir yang macam-macam!"
Nurul tidak menyahut. Ia berjalan ke belakang dengan punggung membungkuk untuk menyimpan peralatan bersih-bersih.
Bagaimana bisa Nurul tidak berpikir macam-macam kalau nyonyanya hampir setiap hari dipukul di depan matanya. Yang Nurul permasalahkan bukan hanya tentang hari ini. Bukan hanya tentang pukulan dengan rotan. Bukan sekadar bentakan dan amarah sesaat. Nurul pernah melihat yang lebih buruk lagi.
Tuannya sangat sulit dimengerti dan memiliki temperamen yang buruk. Anehnya tidak semua orang bisa melihat sisi buruknya.
Saat di luar, tuannya adalah suami yang baik hati dan penyayang. Tetapi di rumah, sosoknya sering berubah-ubah dan menjadi seseorang yang sama sekali berbeda. Yang membuat Nurul merasa mual jika mengingat julukan-julukan baik yang disandangkan padanya.
Kemarahan Huda yang sering meledak-ledak, tingkahnya yang terkadang merusak barang, sayangnya hanya orang-orang seisi rumah yang bisa melihatnya. Tetangga bahkan tidak akan pernah tahu jika semalam ada perkelahian yang berakhir dengan salah seseorang meninggal. Mereka tidak akan bisa mendengarnya.
Nurul sering bertanya-tanya, berapa banyak tuannya membayar untuk membuat sebuah rumah yang benar-benar kedap suara.
Di dalam kamar, Balqis baru saja selesai mengoleskan sebuah krim untuk meredakan nyeri dan agar lukanya lebih cepat sembuh. Ia telah berganti pakaian dan saat ini sedang kesulitan menaikkan resleting yang ada di punggungnya. Beberapa pukulan mengenai lengan atasnya dan terasa sangat sakit untuk diangkat.
Di balik resleting gaun yang belum sepenuhnya dinaikkan, terlihat beberapa memar. Memar yang bukan hanya memar memanjang bekas pecut rotan.
Huda mendekat. Ia menurunkan tangan Balqis dan membantunya menaikkan resleting. Setelahnya, Huda memeluk Balqis dari belakang.
"Aku mencintaimu, kamu pasti tahu itu." Huda berbisik lembut di telinga Balqis. "Aku melakukan hal seperti ini bukan untuk menyakitimu, aku yakin kamu juga tahu itu. Jadi aku mohon jangan kecewakan aku. Jangan tinggalkan aku atau aku benar-benar akan hancur." Huda semakin mempererat dekapannya.
Balqis sedang kesakitan dan dekapan Huda justru membuatnya lebih tersakiti lagi. Balqis tidak tahu apa suaminya peduli tentang itu.
Cinta yang selalu di bisikan ke telinganya, permohonan untuk dimengerti dan dimaafkan, untuk tidak ditinggalkan. Selama lebih dari 4 tahun ini sudah tak terhitung lagi berapa kali telah diucapkan. Dan sudah berapa kali Balqis kembali tersakiti.
Cinta yang terus Huda katakan padanya dan pada semua orang, Balqis tidak tahu cinta seperti apa itu. Balqis benar-benar tidak mengerti. Tidak bisa melihatnya meski telah mencoba berdiri di sudut pandang Huda.
Apa benar itu cinta, Balqis terus bertanya-tanya, terus berusaha mencari tahu. Balqis tidak bisa berhenti mempertanyakan.