Suara tak-tak dari bolpoin cetek menjadi satu-satunya suara yang mendominasi dalam ruangan Reserse Kriminal Umum. Sebenarnya suara yang ditimbulkan sangat mengganggu tim dan unit lain yang berada di ruangan yang sama, tapi mereka memberi toleransi. Mereka mengerti seperti apa rasanya. Tim mereka pernah berada di posisi yang sama.
Waktu terus berputar dan hanya tersisa satu jam lagi sebelum waktu pulang. Jam dinding dan pintu ruang otopsi tidak henti-hentinya dipandangi bergantian. Dipandangi penuh harap. Tapi tetap tidak ada yang terjadi. Pintu tetap tidak terbuka dan seseorang tetap tidak dipanggil untuk mengambil laporan.
Al yang baru kembali dari tugasnya di lapangan melangkah masuk. Meski tengah mengipas-kipaskan kemejanya karena gerah, langkahnya tetap terdengar riang. Seperti tengah mendapat jawaban, mereka yang berada dalam ruangan saling bertukar pandangan. Harapan terakhir mereka telah datang.
"Al!" Seorang petugas senior memanggil Al dan berdiri di depannya. Menghalangi langkah Al yang akan kembali ke mejanya. Disisul anggotanya yang lain.
Dikeroyok oleh lima orang sekaligus membuat Al terkejut, tidak mengerti. Ia melirik ke arah rekan satu timnya tapi mereka hanya tertawa-tawa. Tidak ada yang berniat membantu, atau memberi penjelasan. Dan sekarang, mereka justru berpura-pura tidak melihat padahal jelas mereka sempat beradu pandangan. Jelas tidak ingin terlibat.
"Bantu kita memintakan laporan otopsi ke Zeroun. Kapten sudah memberi ultimatum agar secepatnya membuat langkah-langkah pencegahan berdasarkan hasil otopsi. Oke?"
Ketua tim dua adalah orang yang berbicara dengan Al. Ia meletakkan tangan di depan wajahnya. Memohon. Orangnya ramah dan suka membantu. Al berhutang banyak di hari pertamanya bertugas.
Mendengar nama Zeroun, seketika bibir Al langsung mengerucut. Ia ingin menolak, sungguh ingin. Tapi anehnya mengatakan 'tidak' atau menggelengkan kepala terasa begitu sulit.
Al memerhatikan wajah-wajah yang ada di depannya. Benar-benar tatapan memelas yang mengintimidasi. Al akhirnya mengatakan 'oke' dengan isyarat tangannya. Sungguh tidak mudah untuk menolak. Terutama karena ketua tim dua sudah banyak membantunya.
Kepala Al tertunduk lesu. Dalam hati ia bertanya, kenapa dirinya yang selalu berada di posisi ini.
Meski mengatakan oke, yang Al lakukan bukannya naik ke lantai dua tempat ruang otopsi berada, ia justru berbalik dan melangkah ke luar. Entah apa yang ada dipikirankannya. Mencari bantuan atau kabur. Mereka tidak mengerti. Bahkan rekan satu timnya juga tidak mengerti.
Wajah-wajah yang sebelumnya berseri karena Al menyetujui permintaan tolong mereka kembali kehilangan semangat. Mereka akan memberi waktu 10 menit. Jika selama waktu itu Al tidak juga kembali, mereka akan mengirim paksa salah satu dari mereka untuk menemui Zeroun.
Suara tak-tak dari bolpoin cetek kembali terdengar.
Sebelum waktu 10 menit berakhir, seseorang memasuki ruangan. Penampilannya tidak biasa sehingga cepat menjadi pusat perhatian. Semua orang menatapnya dengan tatapan aneh.
Orang yang baru masuk menggunakan jas hujan model ponco padahal di luar matahari bersinar terik. Tidak juga melepaskan helmnya padahal sedang berada dalam ruangan. Ketua tim dua bahkan sengaja ke luar ruangan untuk memastikan cuaca memang sedang panas-panasnya.
Semua orang masih menatap orang yang baru masuk, bertanya-tanya.
"Ini aku!" Orang itu menaikkan kaca helmnya sehingga wajahnya terlihat.
Al. Rasyid Aldebaran.
Semua orang terdiam dalam hitungan detik. Seperti waktu ikut berhenti. Mereka seolah sedang mencerna sesuatu. Al melepas helmnya. Detik berikutnya tawa pecah memenuhi satu ruangan. Mereka terbahak terpingkal-pingkal. Benar-benar tergelitik, tidak menyangka. Suara mereka bahkan terdengar sampai sentra pelayanan.
Menjadi tertawaan memang menyebalkan. Apa lagi ditertawakan semua orang. Al kembali mengenakan helm dan menyentakkan kacanya turun. Penampilannya mungkin berlebihan. Tapi ini adalah jubah perangnya untuk menghadapi Zeroun.
Pengalaman adalah guru yang paling berharga. Al telah banyak belajar dari pengalamannya.
Sebelumnya Al memang berhasil menghindari benda-benda yang Zeroun lempar ke arahnya. Tapi siapa yang tahu kali ini masih beruntung. Al tidak ingin mengambil risiko gegar otak. Tidak juga pakaian basah seperti dua hari lalu.
Pagi itu harusnya Al libur tapi seorang dari subdit yang sama meminta tolong. Al sudah berusaha menolak karena ia memiliki agenda lain. Al harus datang ke reuni SMA.
Al telah mengatakan 'tidak bisa' dua kali. Tapi begitu yang ketiga kalinya, ketika ia dibujuk sedikit lagi, Al akhirnya setuju dan datang.
Al tidak akan bisa menolak permintaan tolong seseorang yang diucapkan tiga kali di depan telinganya. Dan gosip itu telah terbukti kebenarannya.
Karena sedang terburu-buru dan tidak memiliki waktu untuk menunggu, Al memaksa masuk ke ruangan Zeroun. Alhasil, sebuah botol air mineral melayang ke arahnya. Tutupnya terbuka, dan membasahi pakaiannya. Pakaian yang semalam telah ia setrika dan persiapkan dengan baik.
Hari ini Al naik ke lantai dua dengan persiapan yang berbeda dari hari itu. Kepalanya tidak akan gegar otak walaupun dilempar. Pakaiannya juga tidak akan basah meski disiram berkali-kali. Ia melangkah dengan kepercayaan diri penuh. Siap untuk menang.
Begitu pintu ruangan terbuka, Zeroun telah siap menjangkau apa pun yang ada di dekatnya untuk dilemparkan ke arah pengganggu yang masuk. Ketika akan melempar, penampilan si pengganggu membuat Zeroun terkesiap.
Untuk beberapa saat Zeroun tidak bereaksi. Ia kemudian mengalihkan wajahnya. Sudut-sudut bibirnya tertarik. Tersenyum geli. Kini ia tahu siapa penyebab kebisingan yang baru terjadi di bawah.
"Wah, sampai Anda juga ikut-ikutan menertawakan saya!" Al kembali merasa kesal.
Bukannya saat musim penghujan mengenakan jas hujan dan helm adalah pemandangan yang bisa ditemukan di sepanjang jalan. Yang bisa dilihat di mana saja. Harusnya penampilannya tidak selucu itu. Tidak aneh.
Zeroun tidak menanggapi. Ia kembali fokus pada laptopnya. Jari-jarinya menari di atas tuts komputer dengan cepat. Sesekali berhenti. Memberi jeda untuk berpikir.
Al yang masih tak digubris, mendekat, dan langsung duduk di depan Zeroun.
Hening. Hanya suara jari-jari yang bergerak cepat yang terdengar.
"Kenapa tidak ikut berdiskusi saja dengan tim dua?" Al memecah keheningan. Ia tidak tahan hanya diam saja menunggu.
"Sudah pernah saya jawab," jawab Zeroun.
Al mengangguk. Jawaban Zeroun saat itu tentu saja ia ingat. 'Tidak ingin orang lain mengaburkan objektivitasnya.' Tapi, setelah dipikir-pikir lagi jawaban Zeroun hari itu tidak sepenuhnya benar.
"Tapi kalau dipikir-pikir lagi, langsung berdiskusi di satu meja bisa lebih efektif dan mempersingkat waktu." Al menjelaskan sudut pandangnya. "Lagi pula orang genius seperti Anda tidak mungkin bisa dipengaruhi oleh petugas jelata seperti kami," tambahnya entah memuji Zeroun atau menjelekkan diri sendiri.
Tidak ada tanggapan. Hanya suara-suara mengetik yang terdengar. Al melipat tangannya di depan dada.
"Oh iya, saya mendengar tentang sidang dari Kapten," Al mencoba membuka topik pembicaraan baru. Bersikap antusias. "Bagaimana sidangnya?"
"Lumayan." Zeroun menanggapi singkat.
Al menghela nafas. "Bagaimana pengacaranya pembelanya? Apa tipe yang agresif menyerang?" tanyanya lagi.
"Lumayan."
"Bagaimana pelakunya?"
"Lumayan."
Al menghela nafas lagi. Zeroun terus menjawab dengan tak acuh. Dengan jawaban yang sama. Ia masih berkutat pada ketikannya. Keningnya berkerut dalam tanda ia sedang berada dalam mode serius.
Anehnya Al tidak mau membiarkan Zeroun bekerja dengan tenang. Padahal tim dua membutuhkan hasilnya dengan cepat. Entah tidak peka atau memang sengaja ingin menggoda Zeroun.
"Kalau ditanya..."
Zeroun berhenti mengetik. Ia mendelik tajam ke arah Al. Ekspresinya seperti pembunuh berdarah dingin yang sudah siap menghabisi nyawa mangsanya.
Al langsung membungkam mulutnya. Siapa tahu saja Zeroun memang ingin membunuhnya. Siapa tahu ia menyembunyikan pisau di dalam lacinya. Al tidak ingin mengambil risiko dibunuh oleh rekan sendiri.
Begitu laporan selesai diketik dan dicetak, Zeroun menyerahkannya pada Al. Sebelum pergi Al mengingatkan agar Zeroun tidak mematikan lampu sebelum ia keluar dari ruangan. Al bahkan berbalik setiap dua langkah untuk berjaga-jaga. Memastikan Zeroun tetap duduk di tempatnya.
Setelah misinya dari tim dua selesai, Al mendadak teringat sepedanya yang ditinggalkan di jalan. Bannya pecah.
Rencananya Al akan langsung mencari tukang tambal setelah kembali ke kantor. Tapi tertunda karena ia dimintai tolong oleh unit Resmob dan tim dua, kemudian terlupakan.
Dengan diantar Adam, Al kembali ke tempat sepedanya ia tinggalkan. Sesampainya di sana, tidak ada sepeda yang terlihat. Hanya pohon dan kunci sepeda yang terpotong. Al mendadak muram.
Tidak ingin langsung kehilangan harapan, Al bertanya pada beberapa orang yang lewat. Kepada beberapa orang yang tinggal di daerah sekitar. Nihil. Tidak satu pun orang yang ia tanya tahu kemana perginya sepeda miliknya.
"Sudah, sudah." Adam menepuk-nepuk bahu Al. Ikut berduka. "Sepertinya kamu memang harus membuat laporan kehilangan."
Al menjatuhkan kepalanya semakin muram. Punggung yang awalnya tegak langsung membungkuk. Al sangat menyukai sepeda hadiah dari kakaknya jadi ia benar-benar berduka. Ia merasa sangat kehilangan.
"Hei, jangan pasang ekspresi seperti ditinggal istri untuk selamanya begitu dong," komentar Dio ketika Al dan Adam kembali namun tanpa hasil.
Mereka berkemas untuk pulang. Di tengah-tengah kesibukannya, Al menghela nafas lagi. Inilah adalah yang keelima kalinya sejak ia kembali.
"Oh iya, hari ini Dio menumpang di motorku. Jadi Al, aku enggak bisa mengantar kamu pulang. Maaf, ya." Adam merasa tidak enak karena harus meninggalkan Al yang sedang berduka seorang diri.
"Iya, soalnya motorku rusak lagi. Maaf, ya." Dio juga ikut-ikutan merasa tidak enak.
Dalam sebulan biasanya motor Dio memang rutin masuk-keluar bengkel 2-3 kali. Dengan masalah yang nyaris berbeda setiap kalinya. Tidak ada yang tahu apa yang dilakukan pada motornya atau bagaimana caranya berkendara. Yang jelas, Dio memang memiliki hobi unik membongkar sesuatu tapi selalu gagal memasangnya kembali. Hobi yang tidak pernah membuatnya jera.
Dengan isyarat tangan, Al mengatakan tidak masalah. Ia melirik ke arah meja Irawan yang telah kosong. Meja-meja lain juga kosong. Al baru sadar bahwa mereka hanya bertiga dalam ruangan. Ia beralih pada jam di pergelangan tangannya. Sudah lewat 15 menit dari jam pulang.
"Irawan pulang duluan. Dia bilang tunangannya minta dijemput." Dio menjelaskan. "Anggota lain dari tim dua masih ada rapat. Mungkin sebentar lagi selesai."
Adam dan Dio pamit, meninggalkan ruangan lebih dulu. Meninggalkan Al sendiri.