Chereads / Regret (Kriminal) / Chapter 21 - • Dua Puluh.

Chapter 21 - • Dua Puluh.

Media segera merilis berita mengenai meninggalnya putra kedua pewaris Explora Grup sebagai tajuk utama. Mendapat kabar duka mengenai anak lelakinya, Bahrun Pradipto yang sudah sakit-sakitan kembali drop dan masuk rumah sakit.

Selain kontribusi yang Azhar Huda berikan sebagai wakil presiden, ia juga dikenal sebagai Brand Ambassador perusahaan. Kepergian untuk selamanya memberi dampak buruk. Ditambah lagi berita meninggalnya Huda tidak biasa. Ada banyak selentingan negatif yang beredar.

Tiga jam setelah berita dimuat, harga saham Explora Grup sempat turun drastis.

Ungkapan belasungkawa mengalir dari berbagai elemen masyarakat dan pengusaha. Para penggemar menggaungkan tagar hari berduka di semua akun media sosial. Yang tidak sampai satu jam langsung menjadi trending. Artikelnya menjadi yang paling banyak dibaca. Namanya masuk daftar paling dicari.

Banyak orang berduka, merasa kehilangan, turut bersedih layaknya keluarga. Tagar hari berduka, digaungkan di berbagai media sosial sebagai bentuk kepedulian atas musibah yang menimpa keluarga Pradipto.

Bersama dengan kepedulian dan duka semua orang, imajinasi liar mengenai apa yang terjadi bergerak bebas di dunia maya. Di mulai dari satu akun. Dimulai oleh sebuah artikel. Kemudian menyebar dan semakin meluas.

Kapten Lukman tidak banyak memberi informasi karena kasus masih dalam proses penyelidikan. Ia hanya menjelaskan di mana tempat tubuh Huda di temukan dan luka yang ada di kepalanya. Selebihnya, setelah informasi terkumpul akan diadakan konferensi pers.

Siapa yang bisa membatasi imajinasi yang sudah telanjur tidak terkendali. Tebak-tebakan mengenai apa yang sebenarnya terjadi, pembunuhan atau kecelakaan, semakin banyak bertebaran.

Beberapa orang menyebutnya konspirasi, yang lain menyebutkan motif dendam, sisanya mengenai perebutan harta. Tetap ada yang menganggap kecelakaan, dan sedikit yang bersedia menunggu hasil penyelidikan tanpa ikut bagian bermain tebak-tebakan.

Dengan imajinasi yang terus berkembang, tebak-menebak kasus tanpa informasi yang valid, tagar yang awalnya dimunculkan sebagai bentuk kepedulian, berubah menyakiti. Sanak saudara dan teman-teman yang membaca diajak ikut berprasangka, mencurigai anggota keluarga sendiri. Ikut menebak-nebak.

Di mana ada tagar berduka, di situ pula kecurigaan pribadi diulas. Siapa pembunuh, kenapa dibunuh. Mereka ingin ikut peduli, nyatanya, kepedulian yang mereka dengungkan justru melukai orang lain. Tagar hari berduka benar-benar menjelma menjadi duka baru bagi keluarga yang ditinggal.

Sebuah media bahkan secara blak-blakan membuka topik dan memberi judul pada artikelnya dengan kalimat yang membuat suasana menjadi lebih keruh.

Salah satu yang banyak menimbulkan pro dan kontra adalah artikel berjudul Meninggalnya Putra Kedua Pemilik Explora Grup, Siapa Untung? Isinya secara spesifik membahas jumlah kekayaan, saham, dan apa yang dimiliki Huda atas namanya. Ke mana semua kekayaan itu setelah Huda meninggal. Siapa yang paling mendapat untung atas musibah.

Pada akhirnya selentingan miring mengenai Ariqa Balqis dan Chiko Anggara Pradipto semakin banyak bermunculan.

Zahiya Zahra, sejak artikel mengenai meninggalnya Azhar Huda sampai padanya, ia sudah berusaha menghubungi Balqis berkali-kali. Mencoba lagi dan lagi. Tidak satu pun dari usahanya yang membuahkan hasil. Tidak ada balasan, tidak juga jawaban.

Begitu media sosial beramai-ramai membahas hal yang tengah terjadi, jari Zahra menjadi lebih aktif dari biasanya. Timeline dan Berandanya ikut dipenuhi oleh artikel, tanggapan, dan beberapa komentar negatif.

Semakin membaca dan semakin mengikuti apa yang telah berkembang, semakin membuat Zahra kesal. Lebih kesal lagi karena ia belum bisa mendapat kabar dari Balqis.

Zahra bekerja di sebuah perusahaan percetakan. Ia yang sejak tadi berselancar di dunia maya, membuat beberapa pekerjaannya terabaikan. Belum lagi moodnya yang mendadak buruk. Rekan satu kerjanya bahkan memilih untuk menjaga jarak, tidak ingin ikut terkena amuk.

Al mengirim pesan di WA dua jam lalu. Mereka sempat bertukar pesan beberapa kali. Saling bertanya-jawab. Dari Al, Zahra bisa mendapat kabar mengenai kondisi Balqis. Meski tidak spesifik, ia tetap bersyukur. Berharap temannya itu tetap baik-baik saja, terus kuat, dan segera memberi kabar.

Zahra sungguh khawatir dan tidak bisa berhenti khawatir.

'Terima kasih, kalian teman-teman yang baik.'

Kalimat Balqis kembali mengiang di telinga Zahra. Mengenang lagi kalimat itu hari ini, membuat hati Zahra terenyuh. Ia memegangi dadanya, bertanya pada diri sendiri. Firasatkah, atau tanda yang sengaja Balqis perlihatkan.

Seandainya hari itu mereka memaksa Balqis berbicara. Seandainya saat itu mereka tahu ada yang tidak beres, tahu apa yang sedang Balqis sembunyikan.

"Tanda?" Zahra balik bertanya pada dirinya sendiri kemudian menggeleng kuat-kuat.

Zahra tidak ingin berpikir terlalu banyak, tidak ingin membebani pikirannya terlalu berat. Ia tidak ingin menduga-duga dan menjadi sama seperti yang sedang banyak orang lakukan di media sosial.

Nada dering ponsel Zahra yang meneriakkan lagu Rock dalam bahasa Jepang membuyarkan isi pikirannya. Zahra yang terlalu serius berpikir bahkan sampai melompat dari tempat duduknya.

"Assalamualaikum. Kenapa?"

"Kenapa?!!" Zahra menyalak tanpa menjawab lebih dulu salam yang diucapkan Nanda.

Nanda baru menghubungi balik setelah sekian jam Zahra menunggu. Zahra yang tidak bisa mengendalikan diri spontan langsung berteriak.

"Sudah lihat berita?" Zahra menarik napas sebelum kembali berbicara.

"Iya. Begitu baca pesanmu, aku langsung periksa artikel yang terbit hari ini." Suara Zahra terdengar berat. Jika dipancing sedikit lagi dia pasti akan menangis.

"Sudah tahu begitu masih tanya kenapa?!" Zahra kembali berbicara dengan suara keras. Rekan yang mejanya paling dekat dengan Zahra bahkan sampai menutup telinganya karena bising. Menarik kursinya lebih jauh lagi.

"Kenapa marah-marah, sih!" Nanda ikut-ikutan menyalak.

"Habis aku kesal baca komentar orang-orang yang nulis sembarangan tentang Balqis. Tentang kasusnya. Padahal hasil penyelidikan polisi aja belum ke luar. Dari mana sih bakat Detektif Conan abal-abal mereka itu!" Zahra masih berbicara dengan nada yang sama tingginya. Sepanjang hari ini moodnya terus-terusan buruk.

"Kenapa marah-marahnya sama aku?" Suara Nanda yang sebelumnya tinggi berubah rendah dan bergetar.

Mendengar suara Nanda yang sudah berubah 360 derajat, Zahra menebak anak itu pasti sudah mewek sekarang. Sudah ada air yang jatuh di sudut matanya.

Zahra menepuk keningnya sendiri dengan tangan kirinya. Tangan kanannya ia gunakan untuk memindahkan ponsel yang sebelumnya ia jepit di telinga kiri ke telinga kanan.

Dalam hati Zahra mengeluh. Bagaimana bisa selama bertahun-tahun ini ia berteman akrab dengan seseorang yang kepribadiannya bertolak belakang dengannya. Zahra menghela napas dan mencoba menenangkan diri.

"Stop, Nanda! Kalau kamu masih nangis aku bakal marah-marah terus." Zahra memberi ultimatum namun dengan suara yang lebih lembut.

Terdengar suara Nanda sedang beringus. Zahra menjauhkan ponsel dari telinganya, merasa jijik. Seolah ponselnya ikut terkena ingus Nanda.

"Balqis ada hubungi kamu?" Zahra bertanya.

"Enggak ada. Aku sudah chat tapi cuma centang satu."

Zahra mengangguk-angguk. Nasib mereka sama. "Nanti jam 8 malam, kita satroni rumahnya. Chat kita dibalas atau enggak, kita tetap ke rumahnya."

"Kenapa jam 8 malam?"

"Aku disuruh lembur. Banyak kerjaan yang belum selesai. Padahal aku, 'kan lagi berduka. Tapi tempat kerja enggak kasih keringanan sama sekali," keluh Zahra. Mendadak ia curhat.

"Pasti kamu yang salah," tuduh Nanda. "Siapa sih yang enggak tahu watakmu. Kalau lagi badmood atau ada masalah, kerjaan jadi terbengkalai. Bawaannya marah-marah terus. Bikin orang lain enggak nyaman. Mirip cewek kalau lagi datang bulan di hari pertama."

"Hei!" Zahra memutus tidak terima. Ia ingin mendebat tapi sedang tidak mood. "Sudah, ah," katanya kemudian memutuskan sambungan.

Setelah menutup telepon, Zahra menarik nafas dalam-dalam. Ia sedang berusaha mengembalikan moodnya. Menata ulang fokusnya. Ia harus segera bekerja agar bisa secepatnya pulang dan mengunjungi Balqis.

Zahra mengumpulkan sisa-sisa kemauan dan semangatnya tapi lagi-lagi pikirannya teralihkan oleh chat yang Al kirim.

Zahra kembali meraih ponselnya. Ia membaca ulang chat Al. Merenung sesaat kemudian mengetik pesan singkat untuk dikirim ke Rasyid Aldebaran.

'Jam 8 malam aku sama Nanda mau ke rumah Balqis. Terima kasih infonya.'

Selesai mengetik dan mengirim, Zahra menyimpan ponselnya di laci paling bawah dan menutupnya dengan tumpukan kertas. Ia telah siap bekerja. Mengebut agar pekerjaannya bisa selesai sesuai prediksi waktu yang ia tetapkan.

Tidak ada gunanya merasa khawatir dan terus memenuhi pikiran-pikirannya dengan sesuatu yang tidak ia ketahui kepastiannya. Yang harus ia lakukan adalah bertindak nyata.

Balqis sedang berduka dan sebagai seorang teman ia wajib ada. Meski tidak diminta, meski kehadirannya bahkan tidak akan banyak membantu. Zahra ingin menunjukkan bahwa ia ada, bahwa Balqis tidak sendiri, bahwa teman-teman bersamanya, dan akan selalu mendukungnya.

Mode serius dan fokus telah Zahra aktifkan. Ia mulai dengan mengerjakan desain kartu nama. Setelah itu ada beberapa desain undangan yang juga harus diselesaikan. Semua harus siap cetak besok.

Pekerjaan Zahra menuntut konsentrasi tinggi untuk bisa mendapatkan detail yang diinginkan. Ketika serius bekerja seperti sekarang, Zahra terlihat berbeda. Auranya juga berbeda. Seperti bukan Zahra yang biasanya suka usil dan hobi berteriak-teriak.

Satu jam… Dua jam… Waktu terus berlalu, detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam.

Setelah semua pekerjaan Zahra selesai, tahu-tahu waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam kurang 10 menit. Zahra mengirimkan hasil pekerjaannya melalui email ke bagian pencetak. Ia mematikan AC, wifi, lampu, memeriksa setiap jendela, mengunci pintu, dan turun melalui tangga spiral.

Waktu yang Zahra habiskan untuk sampai ke bawah adalah 10 menit. Tapi karena ia melupakan ponselnya, Zahra naik lagi. Mendaki tangga, membuka pintu, mengobok-obok lacinya, dan mengumpat.

Dua puluh menit waktu yang Zahra habiskan untuk menjemput Nanda dan delapan menit lagi untuk sampai di rumah Balqis.