Chereads / Regret (Kriminal) / Chapter 22 - • Dua Puluh Satu.

Chapter 22 - • Dua Puluh Satu.

Sampai di rumah Balqis, halaman terlihat sepi. Sama sekali berbeda dari yang ditampilkan dalam berita. Tidak ada satu pun wartawan. Tidak ada keributan. Semua tenang seperti ketika Zahra dan Nanda datang untuk menginap.

Suasana telah kembali tenang, tapi keamanan yang berjaga masih dua orang. Tidak ingin kecolongan, mereka berjaga-jaga sampai keadaan benar-benar pulih seperti sediakala.

Keamanan yang bertugas jaga tidak mengizinkan Zahra dan Nanda masuk. Tidak dengan alasan apa pun. Seharian ini sudah ada beberapa orang yang mengaku-ngaku dan sudah banyak yang memaksa menerobos masuk. Untungnya keamanan tidak lengah dan tidak asal percaya. Semua ditangkap dan diusir pergi.

Keamanan yang sedang berdiri di gerbang adalah pria yang berusia sekitar 30 tahun. Tubuhnya tinggi dengan otot berlebih di bagian lengannya. Kepalanya pelontos, tatapannya tajam. Sama sekali tidak ada senyum di wajahnya. Ia mengenakan setelan putih hitam, bukannya pakaian sekuriti.

Zahra yang berada paling dekat dengan gerbang memandangi lekat-lekat keamanan yang menghalanginya masuk. Wajah baru. Bukan petugas keamanan seperti yang terakhir kali ia lihat.

"Tapi kita betulan teman Balqis, Pak!" Zahra mulai kesal karena dianggap hanya mengaku-ngaku. "Kalau Bapak enggak percaya Bapak bisa tanya Balqis. Atau... Nurul. Coba panggil Nurul ke sini!" tambah Zahra mulai memerintahkan.

"Kalau Mbak enggak mau pergi juga dan tetap buat ribut di sini, saya panggilkan polisi sekarang!" ancam si keamanan.

"Sabar Zahra, sabar." Nanda menarik-narik Zahra yang semakin berapi-api ingin menantang.

"Kenapa Mas, kok ribut-ribut?"

Keamanan yang satu lagi datang. Keamanan yang memang bekerja sejak pertama kali tuan dan nyonya pindah rumah. Tampaknya ia baru selesai berpatroli dan kembali ke posnya ketika mendengar suara ribut-ribut dari gerbang. Zahra dan Nanda mengenalnya dengan panggilan Pak Be.

Pak Be lebih tua 10 tahun dari keamanan yang pertama. Ia mengenakan pakaian sekuriti. Rambutnya yang gondrong diikat rapi. Kepribadiannya terlihat keras walau sebenarnya Pak Be adalah orang yang ramah.

"Ini, ada orang yang mengaku-ngaku temannya Ibu Balqis."

"Enak aja mengaku-ngaku!" Zahra menyalak lagi.

Pak Be melangkah mendekat ke arah gerbang. Ia memerhatikan siapa yang dimaksud sebagai orang mengaku-ngaku teman nyonyanya. Melihat wajah dua orang wanita, ia merasa tidak asing. Pak Be mengingat sebentar.

"Mbak Zahra, Mbak Nanda," sapa Pak Be ramah dan bersahabat. "Maaf ya Mbak, tapi tadi pagi Ibu pesan belum mau ketemu siapa-siapa dulu."

"Walaupun sama kita?" Kali ini Nanda yang berbicara. Suaranya terdengar parau.

"Yakin?!" Zahra menimpali. Tidak terima dengan jawaban yang diberikan, Zahra kembali meninggikan suaranya.

Nanda yang kesal dengan Zahra yang hobi berteriak-teriak, menarik Zahra ke belakang. Ia akan menjadi orang yang bernegosiasi mulai sekarang.

"Kalau begitu bisa panggilkan Nurul? Kita khawatir karena dari pagi Balqis enggak bisa dihubungi," bujuk Nanda dengan nada suara yang tidak kalah ramah, tidak kalah bersahabat. Ditambah sedikit ekspresi memelas dan memohon.

Pak Be berpikir sebelum mengambil keputusan. Ia menimbang-nimbang dan akhirnya mengangguk setuju. Ia masuk ke posnya dan berbicara dengan seseorang di telepon. Sementara itu, petugas keamanan yang satu lagi masih berjaga di luar. Ia terus dipelototi oleh Zahra. Tampaknya Zahra baru saja mengibarkan bendera permusuhan.

Tidak perlu menunggu lama. Nurul terlihat berlari-lari kecil ke luar pintu dan mendekat.

"Mbak Nanda, Mbak Zahra," Nurul menyapa begitu sampai di gerbang.

"Balqis bagaimana? Dia baik-baik saja?" Zahra kembali maju paling depan. Menanyakan keadaan Balqis.

Nurul tidak langsung menjawab. Tampaknya ia butuh waktu sedikit lebih lama untuk mengartikan kata 'baik-baik saja' versi Zahra. Karena seharian ini jelas nyonyanya tidak terlihat baik-baik saja.

"Hmmm..." Nurul masih berpikir "Seharian ini Ibu mengurung diri di kamar. Belum makan apa-apa. Juga enggak mau ditemui." Nada suara Nurul terdengar sedih dan menyesal.

Zahra dan Nanda terdiam. Mereka saling bertukar pandangan.

Tentu saja. Disituasi seperti ini bagaimana mungkin Balqis bisa baik-baik saja. Balqis sedang berduka dan jelas sedang membutuhkan seseorang di sampingnya. Mereka datang di waktu yang tepat. Bagaimanapun juga mereka harus bisa masuk.

Zahra dan Nanda saling bertukar pandangan. Apa yang ada dipikiran keduanya sama. Mereka harus bisa masuk. Harus! Bagaimanapun caranya.

Zahra berbisik-bisik dengan Nurul. Membujuk Nurul agar mau mencarikan cara agar mereka bisa masuk. Agar bisa secepatnya menemui Balqis. Nurul setuju tanpa perlu berpikir dua kali. Ia masuk ke dalam pos dan berbicara pada petugas keamanan. Terjadi tawar-menawar dan perdebatan sengit, tapi Nurul tetap bisa keluar sebagai pemenang. Ia menyelesaikan tugasnya dengan baik.

Saat akhirnya Zahra dan Nanda diizinkan masuk, senyum semringah penuh kemenangan tergambar jelas di wajah keduanya. Sebelum ikut membuntut di belakang Nurul, Zahra sempat berceletuk sengit kepada petugas keamanan baru.

"Lihat!"

Lantai dua masih dijadikan TKP dan harus dibiarkan tetap steril. Karenanya Balqis menempati kamar tamu di lantai satu. Nurul menunjukkan kamar yang nyonyanya tempati dan meninggalkan mereka. Ia sungguh berharap kehadiran Zahra dan Nanda dapat mengurangi duka dan kesedihan nyonyanya. Walau hanya sedikit.

Zahra mengetuk tiga kali sebelum membuka pintu kamar yang tidak terkunci.

Kamar gelap gulita. Tapi karena pintu dibuka, cahaya dari luar memburu masuk. Samar-samar menjadi penerang. Baik Zahra maupun Nanda tidak langsung bisa menemukan Balqis. Begitu menemukan siluet di sudut ruangan samping meja, Zahra bergegas mendekat. Nanda menyusul kemudian, setelah menutup pintu dan menyalakan lampu kamar.

Balqis duduk di lantai. Meringkuk di sudut. Kedua kakinya dilipat di depan dada dengan wajah yang disembunyikan di balik lengan tangannya.

Melihat bagaimana Balqis terpuruk, baik Zahra maupun Nanda sama-sama terenyuh. Dada mereka ikut sakit. Kesedihan yang sangat ikut menggelayut di pelupuk mata mereka.

"Balqis bangun. Kita pindah ke atas ranjang, ya," kata Zahra membantu Balqis berdiri.

Terlalu lama meringkuk membuat Balqis seperti tidak lagi merasakan kakinya. Ia nyaris terjatuh. Untungnya Zahra tidak pernah melepaskan pegangannya sehingga cepat tanggap. Setelah duduk di atas ranjang, Zahra dan Nanda segera memeluk Balqis. Berusaha memberinya rasa aman.

Nanda menjadi yang pertama menangis. Bahkan sebelum Balqis sempat meneteskan air mata. Balqis dan Zahra menjadi dua orang yang menepuk-nepuk punggung Nanda. Mencoba menenangkan kesedihannya.

"Kenapa jadi aku yang ditepuk-tepuk?" ucap Nanda di sela-sela isak tangisnya.

"Itu karena kamu nangis. Siapa suruh kamu nangis duluan," gerutu Zahra.

Perdebatan singkat antara Zahra dan Nanda terasa konyol. Tapi mereka tetap tertawa.

Balqis juga ikut tertawa. Bibirnya kemudian bergetar. Balqis berusaha keras menahan kesedihannya. Ia bahkan sampai menggigit bibirnya. Tapi dadanya sudah terlalu sesak. Air mata sudah begitu menumpuk di pelupuk matanya. Tangis Balqis pecah meski ia tidak ingin. Air mata tumpah dengan derasnya. Balqis mencengkeram erat blazer Zahra dan terus menangis.

Nanda kembali ikut menangis.

Biasanya selalu Balqis yang paling kuat. Selalu Balqis yang memiliki kesabaran lebih. Selalu Balqis yang tersenyum dan membuat kedua sahabatnya tenang. Membuat dunia terasa baik-baik saja. Biasanya selalu Balqis. Kini wanita yang selalu kuat, penyabar, dan pemilik senyum ramah penuh ketenangan itu sedang berduka. Begitu rapuh. Begitu merana.

Kesedihan yang Zahra rasakan tidak berbeda dengan yang Nanda rasakan. Lukanya melihat Balqis juga tidak kurang dari Nanda. Meski tidak ikut menangis, bukan berarti ia tidak sedih dan terluka.

Saat semua orang lemah dan rapuh, harus ada satu orang kuat sebagai penopang. Zahra memilih menjadi penopang kesedihan teman-temannya. Ia yang berusaha memberi ketenangan, rasa aman. Menepuk-nepukkan punggung keduanya sampai puas menangis.

5 menit. 10 menit. 30 menit. Hingga nyaris satu jam.

Suara isak tangis mulai berkurang. Ketika akhirnya Balqis mengangkat wajahnya, Nanda pun melakukan hal yang sama. Tidak hanya sembab, mata Balqis dan Nanda bengkak parah. Riasan di wajah masing-masing pun berubah berantakan.

Baju Zahra basah di bagian bahu kanan kirinya. Ada terlalu banyak air mata yang tumpah. Butuh terlalu banyak waktu untuk Balqis dan Nanda bisa kembali tenang. Lengan kanan dan kiri Zahra sampai terasa keram dan pegal.

"Ya, ampun!" keluh Zahra yang baru menyadari seberapa basah pakaiannya. "Ini ingus siapa, sih?! Nanda pasti kamu, karena kamu yang paling jorok di antara kita bertiga." Zahra kembali berteriak-teriak.

"Maaf." Nanda mengambil kotak tisu di atas meja. Ia membagi untuk Balqis dan untuk dirinya sendiri kemudian beringus keras.

"Jorok!" pekik Zahra mendorong Nanda menjauh dengan kakinya. "Sana pergi ke kamar mandi!"

Nanda menolak dan kembali mengeluarkan ingusnya. Zahra yang kesal menimpuk wajah Nanda dengan bantal. Ingus yang sebelumnya ada di tisu menempel lagi di hidungnya. Balqis dan Zahra tertawa. Nanda merasa kesal.

"Aku mau keluar sebentar ambil minum," kata Zahra setelah puas menertawai Nanda. "Kamu, Nanda! Kalau waktu aku kembali kamu masih mainan ingus, kulempar seneakers baruku nanti!" Zahra beralih mengancam Nanda.

"Siapa juga yang mainan ingus!" tukas Nanda. Ia pergi lebih dulu. Berlari ke luar mencari kamar mandi.

Tidak ingin meninggalkan Balqis sendiri dan kembali bersedih, Zahra menunggu sampai Nanda kembali sebelum ia keluar.

Selain mengambil minum, Zahra juga berpesan kepada Bu Ruri untuk memasakkan Balqis bubur. Menurut Nurul, Balqis belum memakan apa pun sejak pagi. Karena hari sudah terlalu malam, ia ingin Balqis dibuatkan makanan yang mudah dicerna. Nanti ia akan mencoba membujuk Balqis agar mau makan meski tidak lapar.

Karena untuk bersedih juga butuh tenaga. Dan makanan adalah sumber tenaga yang Balqis butuhkan.

Zahra kembali ke kamar dengan membawa nampan berisi ceret bening dan tiga gelas kosong. Zahra menuangkan air ke dalam gelas untuk dua temannya. Nanda meneguk air dalam gelasnya dengan cepat dan meminta tambahan satu gelas lagi.

Zahra menggeleng tidak percaya. Mungkin kandungan air dalam tubuh Nanda sebagian besar telah diubah menjadi air mata dan baru saja terbuang.

"Bagaimana, sudah lebih tenang?" tanya Zahra.

Balqis hanya mengangguk. Ternyata tertawa, menangis selama hampir satu jam, dan tertawa lagi, bisa membantu mengurangi bebannya. Balqis meletakkan gelasnya.

"Sekarang, bisa gulung lengan bajumu?" Zahra bertanya hati-hati.

Balqis menatap Zahra curiga. Nanda juga ikut menatap Zahra karena tidak mengerti.

"Iya. Rasyid Aldebaran yang memberitahuku," Zahra mengaku.

Balqis tidak langsung menjawab. Tatapannya masih tertuju pada Zahra.

"Tunggu, kamu lagi bahas apa, sih, Zahra?" Nanda menyela. "Kenapa Al, dia bilang apa?"

Pandangan Zahra beralih pada Nanda. Ia lupa menceritakan isi WA Al. Ia lupa karena tidak ada waktu untuk membahasnya. Saat menjemput Nanda di rumahnya, ia bahkan terlambat dari waktu yang ia janjikan.

"Al bilang..." Zahra berbicara pada Nanda namun pandangannya kembali dialihkan pada Balqis. "Ada kemungkinan Balqis mengalami KDRT." Mulut Zahra mendadak kering begitu kalimatnya selesai.

Kelopak mata Nanda melebar. Ia menatap tidak percaya pada Zahra. Meragukan pendengarannya sendiri. Nanda beralih pada Balqis. Menatap temannya itu lekat-lekat. Menuntut jawaban.

"Bisa tolong gulung lengan bajumu?" Zahra meminta lagi. Kali ini suaranya lebih lembut, kata-katanya lebih sopan.

Balqis menatap mata kedua temannya. Sejenak ia ragu. Tapi tatapan mengintimidasi keduanya terlalu kuat. Balqis ingin mengelak, tapi tidak mungkin berbohong. Perlahan, Balqis menggulung lengan bajunya. Lengan baju kiri, kemudian yang kanan.

Zahra dan Balqis menahan napas. Ada banyak memar panjang. Beberapa bahkan terlihat baru. Selain memar pecut, di pergelangan tangan kiri Zahra, yang biasanya tertutup jam tangan, ada bekas luka horizontal dua garis. Bekas luka terbuka yang telah dijahit.

Rahang Zahra seketika mengeras.