Di Polres tempat Al ditugaskan, Yusuf bertanya pada petugas yang berada di pusat pelayanan. Kemudian diarahkan ke bangunan yang berada di belakang. Bangunan yang menjadi markas Reserse Kriminal Umum, berada satu deretan dengan bangunan dari direktorat lain.
"Permisi!" Yusuf menengok ke dalam ruangan yang kosong. Tidak ada siapa pun. Yusuf celingukan ke sana kemari. Mencari seseorang yang bisa ditanyai.
Seorang petugas yang baru datang melewatinya begitu saja. Berkemeja putih, celana hitam. Rambutnya belah samping di sisir rapi. Sepatu pantofelnya mengkilap. Ia berjalan dengan telapak tangan kiri di masukkan ke saku celananya.
"Permisi…" Yusuf mengejar sang petugas hingga memasuki ruangan. Melihat wajah si petugas, Yusuf merasa tidak asing.
Zeroun, petugas yang Yusuf sapa mengernyitkan keningnya. Tentu saja Zeroun tidak mengenali Yusuf. Sebab ketika Zeroun mengantar Al pulang, Zeroun hanya berada di dalam mobil. Hanya Yusuf yang bisa melihatnya.
"Saya kakaknya Rasyid Aldebaran," Yusuf memperkenalkan diri. "Al-nya ada di mana, ya?"
Zeroun menengok ke kanan dan ke kiri. Melihat isi ruangan yang kosong, kemudian menggeleng.
Yusuf mengangguk mengerti. Beberapa saat ia mencoba memperhatikan. Diam-diam mengamati. "Oh iya, saya ke sini mau mengantar Hp Al. Bisa titip tolong sampaikan?"
Setelah berpikir sesaat, Zeroun mengangguk dan menerima ponsel milik Al. Karena keperluan Yusuf sudah selesai, ia pikir masalah sudah teratasi. Zeroun hendak berbalik pergi lebih dulu, tapi Yusuf memanggilnya.
"Bagaimana perkembangan kasus... Ah! Informasi penyelidikan tidak mungkin dibagi ke orang luar, ya." Dengan cepat Yusuf meralat sendiri pertanyaannya menjadi sebuah pernyataan. "Al tipe yang tidak akan membicarakan masalah pekerjaan pada orang rumah. Selain karena kasus yang sedang diselidiki memang tidak bisa dibicarakan seenaknya, Al juga tipe yang selalu memisahkan urusan pekerjaan dan kehidupannya di rumah. Semalam dia bahkan tidak mengizinkan saya mengganti saluran televisi karena kasus yang sedang ia selidiki pasti diberitakan di mana-mana."
Mendadak Yusuf curhat mengenai sikap adiknya. Melihat Zeroun, Yusuf merasa seperti melihat kepribadian yang tidak asing baginya.
"Kenapa Anda bercerita kepada saya?" Zeroun bertanya tidak mengerti. Termasuk pada kebiasaan banyak orang yang suka tiba-tiba curhat kepada orang yang baru pertama kali ditemuinya.
"Wah! Akhirnya Anda bersuara juga," seru Yusuf ketika untuk pertama kalinya mendengar Zeroun berbicara.
"Kenapa Anda bercerita kepada saya?" tanya Zeroun lagi.
"Mungkin... karena Anda terlihat mirip Al," jawaban Yusuf membuat Zeroun mengernyitkan keningnya lagi. "Mungkin juga tidak," ralat Yusuf sembari menambahkan tawa yang dipaksakan.
"Apa pernah terjadi sesuatu dengan anak itu?" Zeroun mempertanyakan masalah lain.
"Anak itu?" Yusuf mengulang.
"Rasyid."
"Ah, Al." Yusuf mengangguk-anggukkan kepalanya. "Anda orang pertama yang saya dengar memanggil nama Al dengan nama depannya.
"Sepertinya anak itu memiliki trauma." Zeroun tetap menyebut Al dengan 'anak itu.' "Saya sempat mengira dia takut hantu. Tapi yang ditakutinya ternyata tempat gelap."
"Al memang suka seperti itu. Membiarkan orang lain membuat kesimpulan sendiri tentang kondisinya. Tidak secara jelas membenarkan atau menyangkal. Membuat orang lain salah paham." Tiba-tiba Yusuf tersenyum.
Memahami sifat adiknya tidaklah mudah. Yusuf menghabiskan waktu 20 tahun. Sampai sekarang pun ia masih ragu. Benarkah ia telah memahami adiknya, tahu pasti sifatnya. Lagi pula, siapa orang di dunia ini yang bisa benar-benar memahami orang lain. Walau keluarga sekalipun.
Kasus yang terjadi pada keluarga Balqis, yang menimpa wakil presiden Explora Grup merupakan sebuah berita besar. Sebuah berita yang mengguncang banyak orang. Orang-orang di tempat kerjanya juga membicarakan pemberitaannya sepanjang hari.
Awalnya Yusuf tidak tahu kalau Al dan timnya yang menyelidiki kasus suami Balqis. Begitu memerhatikan gelagat Al, kecemasan, pikirannya yang senantiasa mengelana, serta masih berada di teras meski hari telah larut, Yusuf tahu seketika itu juga. Al berada di posisi yang sulit.
"Rasyid Aldebaran... sesuatu yang benar-benar buruk pernah terjadi padanya. Dia... bertahan begitu lama hingga nyaris mati." Yusuf berkata seperti tidak pada siapa-siapa. Tatapannya tanpa ekspresi.
Pertama kali dibawa ke rumah, Rasyid Aldebaran benar-benar tanpa ekspresi. Tidak pernah mengeluh. Tidak mengaduh meski kesakitan. Tidak menangis, tidak tertawa, ataupun marah. Ketika tangannya teriris pisau dan berdarah, ketika suatu malam ia demam tinggi, juga ketika kakak kelas memukulnya.
Ingatan Yusuf masih dengan jelas merekam semua kejadian itu.
Yusuf tengah berada di jalan menuju ke tempat kerjanya ketika ia melihat sebuah toko sepeda baru dibuka. Tanpa berpikir dua kali, Yusuf menepikan kendaraannya dan mampir.
"Cari apa, Mas?" Pemilik toko yang sedang bersih-bersih menyambut. Ia mempersilakan Yusuf masuk untuk melihat-lihat.
"Sepeda. Kalau ada yang model lama," kata Yusuf. Ia berkeliling melihat-lihat. "Kalau saya bayar sekarang tapi dikirim dua hari lagi, bisa?"
Untuk mengurangi risiko berdebat, Yusuf memilih memberikannya pada Al saat ia telah pergi. Dengan begitu walau Al mengomel, ia hanya perlu mematikan ponselnya. Jika Al ingin berdebat, ia tinggal mengabaikan panggilannya.
=\%*[]{}<>&…§^~|¥€£$.,?!'"@:;_-#()/+'
Adam baru selesai berbicara dengan Kapten Lukman di pantri ketika Zeroun datang. Kapten telah selesai menyedu kopinya dan sedang menikmati sesapan pertamanya.
"Kapten, saya merasa Rasyid tidak profesional. Saya ingin dia dikeluarkan dari penyelidikan." Zeroun mengatakan dengan jelas keinginannya.
"Loh, kenapa?" tanya Kapten yang nyaris tersedak. "Kemarin kamu bilang kalau Al tidak mengakui hubungan pertemanannya dengan istri korban berarti sikap profesionalnya patut dipertanyakan. Tapi Al mengakuinya dengan jelas. Al juga cerita isi obrolannya terakhir kali dengan istri korban. Bukannya itu berarti dia lulus dari semua tes yang kamu berikan," Kapten menanggapi.
"Yang pertama, mungkin karena dia belum tahu seberapa serius kasus. Yang kedua, karena sudah tertangkap basah oleh saya, jadi mau tidak mau dia harus bercerita," dalih Zeroun.
"Tapi..." Kapten ragu bagaimana harus membalas kalimat Zeroun.
Dalam rapat kemarin, Kapten Lukman memerhatikan fokus perdebatan keduanya. Setelah rapat selesai, keduanya juga masih tinggal dalam ruangan cukup lama. Jelas untuk melanjutkan perdebatan. Menurut pendapatnya pribadi, sikap Al masih dapat dimaklumi. Hanya saja Zeroun terlalu keras kepala.
Belum ada jawaban yang bisa Kapten berikan, pintu diketuk dan orang yang sedang mereka bicarakan berdiri di sana.
"Kapten, saya ingin bicara dengan Zeroun," lapor Al.
Tepat waktu!
Kapten mengangguk dan mempersilakan. Dengan secangkir kopi di tangannya, ia meninggalkan Al dan Zeroun agar bebas berbicara berdua.
Al mengambil gelas miliknya dan membuat kopi. Ia menawari Zeroun tapi Zeroun menggeleng dan hanya berdiri di tempatnya. Memerhatikan dengan matanya.
"Adam bilang Anda melaporkan saya pada Kapten." Al akhirnya bicara.
"Saya bilang pada Kapten kamu tidak profesional dan meminta agar dikeluarkan dari penyelidikan. Tapi sebelum Kapten menjawab, kamu datang," Zeroun berkata jujur. Tanpa ada yang berusaha ia kurangi.
"Wah!" Al tidak mampu berkata-kata. Entah karena terpukau atau terlalu kesal. "Apa Anda tidak merasa terlalu kekanakan? Perbedaan pendapat seperti itu, 'kan wajar."
"Jamur harus dideteksi sedini mungkin dan dihilangkan agar tidak menjadi penyakit di kemudian hari dan mengacaukan bagian yang lainnya." Zeroun membalas dengan ungkapan.
Jamur? Penyakit?
Mengatai Al sebagai jamur dan penyebab penyakit benar-benar berlebihan. Al harus kagum dengan kemampuan Zeroun menyerang orang lain. Zeroun tidak pernah kehabisan bahan atau merasa segan sedikit pun.
"Walaupun Anda tidak bilang dengan jelas, tapi saya tahu dari awal Anda membidik Balqis. Kita belum memiliki bukti atau kesaksian apa pun tapi Anda selalu mengarahkan kecurigaan Anda kepadanya. Apa itu tidak berlebihan?" ketus Al.
"Apa kamu berpikir semut yang selalu diinjak tidak pernah berpikir untuk melawan?"
"Berpikir untuk melawan dan melakukan perlawanan jelas dua hal yang berbeda. Siapa yang tidak pernah berpikir untuk memukul seseorang yang terus-menerus membuat kita kesal," sengit Al.
Al menatap Zeroun tajam. Zeroun tahu jelas yang dimaksud 'memukul seseorang' adalah dirinya, tapi tetap memasang wajah datar. Ia juga tahu ada banyak orang yang ingin memukulnya, tapi mereka tidak mampu.
"Bagaimana jika ada kesempatan?" Zeroun tetap berbicara dengan tenang meski lawan bicaranya mulai meninggikan suara.
Tidak langsung merespons, Al mengambil jeda untuk berpikir sesaat. "Itu... harus dibuktikan dengan penyelidikan lebih lanjut."
"Karena itu kita harus meletakkan orang-orang itu pada posisi yang sama. Tapi kamu meletakkan posisi temanmu itu di sisi yang berbeda karena merasa mengenal baik sifatnya," lanjut Zeroun.
"Saya tidak pernah membedakan Balqis!" Al membela diri. Ia menekan suaranya. Melihat ekspresi Zeroun yang bersikeras pada pendapatnya, Al hanya bisa menghela nafas. "Oke, meletakkan orang-orang itu pada posisi yang sama."
"Sebenarnya bukan hanya temanmu itu. Jika ada orang lain yang ingin mengeluarkan Nurul dari daftar orang yang patut dicurigai, saya juga akan menentangnya," ucap Zeroun. "Kasih sayang untuk nyonyanya terlalu besar. Bayangkan bagaimana perasaan Nurul melihat orang yang sudah ia anggap kakak diperlakukan buruk hampir setiap hari."
Setuju. Al mengangguk-angguk. Ia bertanggung jawab untuk penyelidikan terhadap Nurul. Penemuannya sampai sejauh ini selalu meninggalkan jejak kebaikan Balqis. Tidak akan heran jika Nurul merasa berutang budi dan ingin melakukan sesuatu untuk membalasnya.
"Chiko juga sebenarnya memiliki motif. Dia pemeran utama di perusahaan, tapi banyak orang tidak menganggapnya sebagai yang pertama. Ada banyak komentar-komentar buruk yang memojokkannya." Zeroun menambahkan. "Tapi orang yang memiliki motif juga harus memiliki kesempatan untuk bisa melakukan sebuah kejahatan. Dan, bagi saya, tidak ada kesempatan bagi Chiko dalam kasus ini."
"Bagaimana Anda bisa benar-benar yakin Chiko enggak memiliki kesempatan?"
Zeroun mengangkat kedua bahunya bersamaan. Keduanya ke luar dari pantri. Mereka hendak berpisah, tapi Zeroun mengingat ponsel Al yang ada dalam sakunya.
"Hpmu." Zeroun menyodorkan ponsel pada pemiliknya. "Tadi kakakmu yang ke kantor mengantar."
Sebelumnya Zeroun berencana meletakkan begitu saja ponsel Al di mejanya. Ia sudah menginjak dua anak tangga menuju lantai dua. Langkahnya tiba-tiba berhenti. Ia berpikir lagi.
Ponsel yang digeletakkan begitu saja di atas meja sangat tidak aman. Bagaimana jika hilang. Jika ada yang iseng menyembunyikan. Mau tidak mau ia akan ikut terlibat dalam kerepotan tanpa akhir karena dirinya-lah yang diberi tanggung jawab.
Ponsel di atas meja diambil. Zeroun berdiri beberapa saat. Ia mencari tempat yang memungkinkan dan aman untuk meletakkan ponsel yang ada di tangannya. Zeroun menarik laci yang tidak terkunci dan meletakkannya di sana.
'Bukankah karena tidak terkunci keamanannya jadi tidak terjamin.' Zeroun menarik tangannya, berpikir lagi.
Pada akhirnya Zeroun kembali mengantongi ponsel Al.
"Kakak saya ke sini?" Al memeriksa ponselnya. "Kakak bilang apa?"
Benar ponselnya. Al pasti lupa karena sibuk mencari kunci motor yang entah ia letakkan di mana. Tidak kunjung mendapatkan kuncinya, ia akhirnya menggunakan cadangan. Al bahkan tidak sadar ponselnya tertinggal sampai Zeroun menunjukkannya.
"Dia bilang..." kata-kata Zeroun menggantung begitu saja.
Tidak kunjung mendengar lanjutan kalimat jawaban Zeroun, Al mengangkat wajah dari ponselnya. Zeroun sedang menatap keramik di lantai. Kedua telapak tangannya dimasukkan ke dalam saku.
"Dia bilang?" ulang Al.
"Dia bertanya tentang kasus yang kamu selidiki tapi dengan cepat sadar kalau polisi tidak akan membagi informasi pada orang luar." Zeroun menatap Al.
"Oh."
Mereka pun berpisah. Zeroun melanjutkan langkahnya kembali ke lantai dua, sementara Al masih belum beranjak. Ia kembali memandangi ponselnya. Memikirkan lagi tingkah kakaknya semalam, Al akhirnya mengerti.
"Pantas saja semalam menyebalkan. Kakak sudah tahu rupanya." Al berbicara pada ponselnya.
Sembari melangkah kembali ke ruangan, Al mengetik pesan singkat untuk dikirim ke kakaknya.
'Terima kasih.'