Chereads / Regret (Kriminal) / Chapter 32 - • Tiga Puluh Satu.

Chapter 32 - • Tiga Puluh Satu.

Begitu Nurul memberi pernyataan di depan para wartawan, media kembali ramai. Artikel-artikel dirilis. Pendapat-pendapat diutarakan secara bebas di media sosial. Hampir di semua tempat, di setiap obrolan. Semua orang membahas hal yang sama. Nama Nurul disebut berulang kali, masa lalunya digali, media sosialnya dicari untuk diserang. Segala hal yang menyangkut masalah pribadinya dimunculkan ke permukaan. Bahkan, beberapa hal yang sama sekali tidak berhubungan dengan kasus. Imejnya sebagai gadis polos, ceria, dan ramah hancur dalam beberapa jam.

Banyak orang berpikir bahwa kasus telah berakhir. Pembunuhnya telah mengaku, ditangkap, dan kasus terpecahkan.

Banyak orang, tapi tidak Zeroun. Ia sama sekali tidak puas dengan akhir yang seperti ini. Ini bukan seperti yang ia prediksi. Ini tidak benar. Masih ada yang mengganjal. Masih banyak kecurigaan yang belum terurai. Pertanyaan yang belum terjawab.

Zeroun berada di kantornya yang gulita. Ia sama sekali belum beranjak dari tempatnya meski semua orang telah berada di rumah mereka sejak dua jam yang lalu. Zeroun masih sibuk berpikir. Mengoreksi hipotesis-hipotesisnya. Mengintrospeksi apa-apa yang telah ia putuskan. Pikirannya begitu aktif, begitu sibuk bekerja. Menghitung segala kemungkinan.

Tidak ada gunanya pulang. Tidak ada gunanya memaksa beristirahat. Toh ia tidak akan bisa tenang. Tidak, sampai semua masalah jelas terjawab.

Pikiran Zeroun teralihkan saat seseorang mengetuk pintu ruangannya.

"Boleh saya masuk?" Al. Rasyid Aldebaran. "Boleh tolong lampunya dinyalakan?"

Zeroun memerhatikan sekelilingnya. Cahaya hanya berasal dari pintu yang dibuka. Di tempat yang gelap, hening, Zeroun justru bisa berpikir dengan tenang. Bisa begitu menikmati kesendiriannya yang nyaman. Berbeda dengan Al. Baginya tempat gelap menyeramkan. Mengingatkan banyak kenangan buruk.

Mendadak, Zeroun ingin tahu bagaimana perasaan Al dan apa yang sebenarnya telah ia alami.

Al menunggu di depan pintu. Zeroun masih tidak bereaksi. Hanya duduk diam di kursinya. Sedang tidak ingin diganggu.

Sama seperti yang lainnya, Al pun sudah pulang ke rumah. Sudah makan, mandi, dan hendak beristirahat. Tiba-tiba saja saat matanya terpejam, wajah Zeroun muncul. Ekspresi terkejut dan tidak terima dengan keputusan Nurul terus mengganggu. Al mencoba iseng datang ke kantor, tidak tahunya kekhawatirannya benar-benar terbukti.

Lampu tidak kunjung menyala, Al tetap memaksa masuk dengan menggunakan ponsel sebagai penerangan. Ia sendiri yang menyalakan lampu ruangan.

Mata Al tidak lepas menatap tangan Zeroun. Jaga-jaga. Barang kali saja pria itu hendak meraih sesuatu untuk melemparnya seperti yang selama ini selalu Zeroun lakukan. Al mendekat ke arah Zeroun. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Itu..." Al memulai ragu. Ia duduk di depan Zeroun. "Keterangan Nurul tidak sesuai dengan penyebab kematian korban." Al berbicara seolah sedang bergumam.

"Apa?"

"Menurut pengakuan Nurul, dia memukul korban sampai mati. Tapi menurut laporan otopsi..."

"Korban meninggal karena terbenam," Zeroun menyambung. "Saya tahu dia bukan pelakunya. Bagaimana mungkin si pembunuh salah menyebutkan cara membunuh korbannya. Itu yang pertama."

Zeroun mengambil jeda.

"Yang kedua, dia bilang membunuh korban setelah Balqis meninggalkan kamar, sebelum Chiko naik ke lantai dua. Nyatanya tidak mungkin ada cukup waktu untuk melakukan pembunuhan di kedua jeda waktu itu," tambahnya lebih berbicara pada dirinya sendiri.

"Juga..."

"Juga?" Zeroun mengulang.

"Balqis sebelumnya pernah menyelidiki Nurul," kata Al. Sebelah alis Zeroun terangkat. Tatapannya berubah antusias. "Ada jeda sebelum Balqis memberi jawaban pada agen. Nurul diterima atau ditolak. Menurut informasi yang saya dapatkan, Balqis mencari tahu tentang keluarga, lingkungan, dan kondisi keuangan Nurul."

Zeroun belum mendengar informasi ini sebelumnya. Ia menatap Al menyelidiki.

Merasa bersalah telah menyembunyikan informasi, Al menundukkan wajahnya. Zeroun menghela nafas. Meski mengerti perasaan Al, tetap saja tidak habis pikir.

Tangan Zeroun bergerak. Mengira akan dipukul, Al mengambil pose menangkis.

"Apa?" tanya Zeroun tidak mengerti.

Al mengintip, kemudian menurunkan tangannya. Sadar salah paham, ia menyengir. "Bisa kita pulang sekarang?"

"Saya memang berencana pulang." Zeroun mengangkat kunci mobil yang ada di tangannya. Gerakan yang dikira Al ingin memukul atau melempar sesuatu ternyata adalah gerakan mengambil kunci. Zeroun beranjak, "Jangan lupa matikan lampunya," tambahnya berjalan keluar lebih dulu.

Di lobi, Al dan Zeroun bertemu dengan Kapten Lukman. Yang entah sengaja atau juga iseng datang ke kantor. Ekspresi Zeroun yang biasanya angkuh dan penuh percaya diri, sore tadi memang membuat orang lain khawatir.

"Kupikir kamu akan mengurung diri semalaman. Bergelap-gelapan dalam ruanganmu," ujar Kapten Lukman pada Zeroun.

"Rencananya begitu. Tapi seseorang datang dan mengganggu."

Al yang disinggung senyum-senyum. Dibanding rasa bersalah karena disebut sebagai penganggu, ia justru tersenyum bangga. Kapan lagi bisa dianggap menyebalkan oleh orang yang paling menyebalkan.

Kapten juga ikut tersenyum.

"Sudah merasa lebih baik?" tanya Kapten.

"Kapan saya merasa tidak baik?" Zeroun balik bertanya.

"Ekspresimu sejak kembali dari TKP yang bilang. 'Saya tidak baik. Ini tidak benar, ini tidak sesuai prediksi saya. Seharusnya bukan seperti ini.' Iya, 'kan Al?" goda Kapten Lukman. Al mengangguk setuju.

"Itu hanya pendapat kalian," tukas Zeroun. Kapten Lukman dan Al tersenyum lagi. "Kapten sendiri kenapa kembali ke kantor?" Zeroun mengalihkan pembahasan. Tidak berencana memperpanjang atau mengajak berdebat. Ia tahu pasti kakak sepupunya selalu punya cara untuk membuatnya merasa kalah.

"Menjemputmu," jawab Kapten cepat. Seperti ia sudah tahu Zeroun akan bertanya. "Kata Naufal dan Nadira kamu janji membacakan mereka cerita sebelum tidur."

Al berjalan di belakang. Memerhatikan interaksi dua orang yang ada di depannya. Diperhatikan lagi, keduanya memang terlihat dekat dan akrab. Terutama saat ini. Tidak heran jika mereka ternyata masih memiliki hubungan keluarga.

Mereka terus berbicara sampai di tempat parkir. Al ikut menyahut berkali-kali. Apa lagi di bagian saat Kapten Lukman menggoda Zeroun. Al paling suka bagian itu. Selama ini selalu ia yang merasa tertindas. Sekalinya bisa ikut menindas Zeroun, tentu saja ia semangat.

Kendaraan Zeroun bergerak lebih dulu. Disusul mobil Kapten Lukman.

Langit malam terlihat indah. Bulannya bersinar terang. Tinggal Al seorang diri. Kegelisahan kembali melanda hatinya. Ia mendongakkan kepalanya. Menatap langit yang luas. Seketika ia merasa iri pada kebebasan yang terlihat jauh di sana. Sementara di sini, hatinya sedang terbelenggu.

Al mengeluarkan ponselnya. Ia mengetik beberapa kata yang rutin dikirimkan beberapa hari belakangan.

Seharian ini ada banyak hal yang harus dikerjakan sehingga nyaris terlewatkan. Al tidak berharap pesan yang dikirimnya dapat mengubah hati orang itu. Ia hanya ingin orang itu tahu ia mengkhawatirkannya. Ia telah kembali.

'Apa hari ini kamu baik-baik saja?' Al mengirimkan pesan singkatnya pada Ariqa Balqis.

Orang-orang hilir mudik di sepanjang jalan dengan wajah dan suasana hati yang tidak semuanya sama. Kafe-kafe terbuka di pinggir jalan dipenuhi muda-mudi. Sesekali terdengar gelak tawa. Mereka membicarakan banyak hal. Membahas apa saja. Menghabiskan malam ini sebelum pagi datang dan kesibukan lain menyapa.

Di tengah hiruk pikuk orang-orang, hati Al nelangsa. Al mengendarai motornya dengan laju sedang. Otaknya terus berpikir.

Sebenarnya ada perasaan lega mendengar pengakuan Nurul. Ia berharap kasus ini berakhir dan hatinya kembali pada tempatnya. Siapa pun boleh jadi pelakunya tapi jangan Balqis. Ia berharap ketakutannya tidak menjadi kenyataan, tapi bagian dari dirinya yang lain tahu itu tidak adil.

Ketika akhirnya Irawan menyelesaikan laporan pengakuan Nurul, rekan yang lain juga tampak tidak puas. Tidak, bukan karena mereka berlebihan. Mereka semua tahu ada yang salah.

Perlu banyak keberanian untuk mengakui kesalahan sendiri. Juga perlu usaha lebih untuk mengakui ketakutannya. Yang kemudian menjadi salah satu alasan Al mencari Zeroun.

Sesampainya di rumah, Al melihat kakaknya tengah berkemas. Ia baru ingat hari ini adalah hari terakhir kakaknya menginap dan besok pagi sudah harus kembali.

"Besok pagi berangkat?"

"Iya. Jangan sedih, ya. Kakak tahu tinggal sendiri itu enggak enak, jadi nanti kita VC-an setiap hari. Oke?" ucap Yusuf.

Al memaksakan senyumnya yang garing. Ia masih hanya berdiri di depan pintu kamar. Memerhatikan kakaknya melipat pakaian yang tinggal tiga potong dan memasukkannya ke dalam koper.

"Ada yang mau kubantu?"

"Ada." Yusuf mengangguk cepat. Seperti telah menunggu Al menawarkan bantuan. "Buatkan teh lemon. Jangan terlalu manis. Cepat, ya!"

Wajah Al mendadak lesu. "Maksudnya tentang kemas-kemas," protes Al.

"Nawari bantuan kok pilih-pilih," tepis Yusuf. "Cepat sana buatkan!" titahnya.

Dengan langkah malas dan punggung membungkuk, Al berjalan ke dapur. Ia mengambil cangkir keramik, menyedu teh, kemudian mencampurnya dengan air lemon. Ketika akan mengambil es batu, ia melihat kulkas yang sebelumnya hampir kosong penuh kembali. Ada apel, sayur-sayuran, minuman kaleng. Di frezer ada ikan dan ayam.

"Bilang aja sengaja menyuruh biar bisa pamer." Al berbicara pada kulkasnya kemudian tersenyum.

Setelah berhasil tersenyum sekali, Al merasa hatinya sedikit lebih baik. Ia membuat satu cangkir es teh lagi untuk dirinya sendiri. Berharap meminum sesuatu yang dingin, dapat membuat hatinya ikut dingin.

"Siapa nama temanmu yang kemarin aku titip Hpmu?" Yusuf bertanya ketika adiknya masuk dengan membawa 2 gelas berisi es teh.

"Zeroun." Al meletakkan satu gelas di meja dan memangku miliknya sendiri. "Kenapa?"

"Sifatnya sedikit mirip kamu waktu pertama kali datang ke rumah."

Sangat langka mendengar Yusuf mulai membuka pembahasan mengenai hal paling sensitif dalam hidup Al.

Al berpikir sesaat. Mengingat kembali kesan pertamanya bertemu Zeroun. Sebelumnya Al sama sekali tidak berpikir kalau mereka memiliki kesamaan sifat. Ditanya oleh kakaknya sekarang, ia mulai membandingkan.

"Enggak. Kurasa Zeroun lebih baik dari aku yang dulu enggak tahu cara marah, ketawa, atau nangis." Al menggeleng. "Aku yang benar-benar enggak beruntung punya orang tua yang enggak bertanggung jawab."

Pikiran Al kembali mengelana, menengok masa lalunya. Kembali pada hari-hari ketika ayah memukulnya dan ibu yang hanya melakukan pembiaran.

Saat berpikir mengenai hari-hari itu, terkadang ia masih merasa sakit di seluruh badan. Ketika dalam kegelapan ia masih merasa ketakutan. Bayang-bayang ayahnya yang marah dan menemukannya bersembunyi di kolong meja masih menghantui. Mencengkeram kerah bajunya dan mulai memukul lagi. Al terjebak dalam trauma masa kecil yang begitu menakutkan.

"Dan karena itu juga kamu merasa marah setiap kali berhadapan dengan kasus kekerasan," sambung Yusuf. "Mereka benar-benar enggak bertanggung jawab, ya. Walau sudah sebesar ini tetap belum mau melepaskanmu."

Al tidak menyahut. Ia hanya tertunduk menatapi gelas miliknya. Tidak berani melihat wajah kakaknya. Ia tahu persis maksud kalimat itu.

"Al," Yusuf memegang bahu adiknya "Terima kasih sudah bertahan sampai ayah membawamu pulang."

Kata-kata Yusuf begitu menyentuhnya. Hari ini pikirannya begitu penuh. Hatinya begitu gundah. Air mata Al akan menetes. Tapi sebelum itu terjadi, ia buru-buru kabur dengan alasan pertandingan bola yang ditunggu-tunggunya sudah tayang.

Ekspresi serius Yusuf segera berubah kuyuh begitu Al menghilang.

"Sudah kubilang berubah jadi tipe yang berbeda akan diperlukan berbeda juga. Terasa seperti orang asing." Yusuf menjatuhkan kepalanya. Berbicara seorang diri.