Pagi kembali. Kesibukan dimulai lagi.
Ketika Al bangun, kakaknya juga sudah bangun dan sedang berteleponan dengan seseorang. Ketika Al selesai mandi dan telah berpakaian lengkap, kakaknya sudah menghilang. Lengkap dengan koper, ransel, dan kendaraan dinasnya. Tanpa pamit. Tanpa satu, dua patah kata perpisahan.
"Tapi yang seperti itu memang khas Yusuf Poldi. Datang enggak dijemput, pulang enggak mau di antara." Al mengangkat kedua bahunya bersamaan.
Penampilan sudah rapi, ransel sudah menempel di punggung, kunci motor juga sudah di tangan, sarapan yang dibuatkan kakaknya sebelum pergi sudah bersih tak bersisa. Ada perjuangan panjang hari ini. Al harus mengisi penuh bahan bakarnya.
Al telah berada di atas motor ketika sebuah mobil pick up berhenti di depan rumahnya.
"Antar sepeda, Mas," kata sopir. "Untuk Rasyid Aldebaran," tambahnya setelah membaca nama penerima yang tertera dalam kuitansi.
"Ha?!"
Merasa tidak pernah memesan sepeda, tentu saja Al kaget. Ia memeriksa tanda terima. Nama yang tertera benar namanya. Tagihannya juga sudah dibayar penuh. Al merenung dan tidak butuh waktu lama untuk tahu siapa orang di balik pemberi sepeda.
Pantas saja pagi-pagi si pemberi sudah menghilang. Mau protes pun tidak bisa. Sepeda sudah diantar dan kakaknya juga sudah pergi.
Dengan cepat Al mengurus tanda terima untuk sepeda barunya dan memasukkan ke tempat parkir. Sebelum pergi, Al sempat memandangi sepeda barunya. Dari kiri, kanan. Atas, bawah. Modelnya mirip dengan yang lama, meski jelas yang ada di depannya adalah jenis yang sama namun model terbaru.
Al mengangguk puas. Ia merasa senang. Terutama karena uang yang keluar bukan berasal dari sakunya.
=\%*[]{}<>&…§^~|¥€£$.,?!'"@:;_-#()/+'
Sampai di tempat kerja, seseorang dengan kemeja putih, celana kain formal, sepatu mengkilap, rambut disisir belah samping rapi, duduk di kursi Al. Tangannya dilipat di depan dada dengan ekspresi bosan. Seperti ia sudah menunggu dalam waktu yang teramat lama.
Melihat Zeroun, perasaan Al mendadak tidak enak. Ia melirik jam di tangannya. Masih ada dua menit sebelum jam kerja dimulai.
"Dia datang paling pagi dari semua orang. Ekspresi dan cara duduknya sama sekali enggak berubah dari tadi," bisik Dio.
Dengan adanya Zeroun, suasana dalam ruangan terasa berbeda. Terasa lebih kaku, canggung, dan sejenisnya.
Tahu Zeroun benci sesuatu yang berisik, orang-orang berbicara dengan berbisik-bisik. Melakukan sesuatu pelan-pelan. Bernafas pun berhati-hati. Tidak ada satu orang pun yang ingin menegur Zeroun. Antara segan dan takut. Beberapa yang tidak tahan dengan suasana dalam ruangan, lebih memilih pergi.
"Mencari saya?" Al berdiri di samping tempat duduknya.
"Kamu bisa mengendarai mobil?" Zeroun bertanya, Al mengangguk. "Kita pergi ke tempat Bu Ruri." Zeroun melemparkan kunci mobilnya pada Al dan berjalan pergi lebih dulu.
Orang-orang dalam ruangan serentak menghela nafas lega. Al memandangi rekan-rekannya. Tapi sebelum ditanya, mereka sama-sama menggeleng. Adam bahkan menyuruh Al cepat-cepat pergi sebelum Zeroun berubah pikiran dan kembali.
Setengah berlari, Al menuju parkiran.
"Apa ada petunjuk baru?" Al bertanya ketika ia membuka pintu mobil.
"Menurut saya, kunci terpenting dalam kasus ini adalah waktu kematian korban. Kalau kita berhasil memecahkan misterinya, kita bisa lebih dekat dengan pelaku," jawab Zeroun. "Oh ya, buat janji juga dengan teman-teman terdekat Balqis. Kita akan menemui mereka nanti." Zeroun memberi tambahan instruksi.
Teman-teman terdekat Balqis?
Alis Al terangkat. Ia ingin bertanya tapi diurungkan. Al hanya mengangguk. Mesin mobil dinyalakan dan mereka segera lepas landas.
Dari awal, Zeroun telah menganggap Balqis sebagai pelakunya. Al tahu itu. Setelah mengetahui kekerasan yang menimpa Balqis, Al tahu wanita itu memiliki motif dan kesempatan lebih dari yang lain.
Al berusaha meredam pikiran-pikiran buruknya. Dalam hati, diam-diam selalu melakukan pembelaan atas namanya. Semakin Al merenung, semakin ia melihat ke dalam kasus, semakin ia meragu. Meragukan Balqis. Meragukan hatinya. Juga meragukan kapasitasnya sendiri. Zeroun mungkin benar, harusnya ia tidak menjadi polisi.
"Apa dari awal Anda sudah tahu kalau Balqis adalah pelakunya?" Al bertanya datar.
"Saya tidak ingin berdebat tentang ini," timpal Zeroun.
"Saya juga tidak," Al menekan kata-katanya. "Saya hanya ingin tahu."
Al telah berpikir semalam penuh. Selama seminggu ini. Al telah mempersiapkan diri untuk mendengarkan argumen-argumen Zeroun. Untuk menerimanya. Membuka diri dan mencoba berpikir dari sudut seorang Zeroun Alvaro.
Zeroun menatap Al, berpikir, menimbang-nimbang.
"Pertama, selama ini Balqis selalu dipukul di tempat yang tersembunyi. Sama sekali tidak pernah menyentuh wajahnya. Tapi hari itu wajah istri korban memar. Kenapa?" Zeroun bertanya tapi bukan pada Al. "Seandainya pun korban tidak dibunuh, hal seperti itu pasti akan membuat gaduh jika sampai tersorot."
"Kedua?"
"Kedua, alibi dan waktu kematian korban. Seperti yang saya katakan sebelumnya, semua terlalu sempurna untuk sebuah kebetulan. Seperti sudah direncanakan," jelas Zeroun.
"Direncanakan?"
"Saya membuat perkiraan kematian berdasarkan kondisi mayat. Rentang waktu antara pukul 5-7 pagi. Tapi keterangan Nurul membuat waktu kematian dipersempit. Karena didukung oleh bukti yang ada di TKP, keterangan diterima dan dijadikan patokan." Zeroun menyelesaikan penjelasan bagian kedua. "Ketiga..."
"Ketiga, bahkan semut yang diinjak pun akan berpikir untuk melawan balik," Al melanjutkan. Hatinya kembali terasa perih.
Sebelumnya mereka pasti akan berdebat jika Zeroun mulai membicarakan kasus dan menaruh kecurigaannya pada Balqis. Zeroun tahu Al adalah pria cerdas melihat bagaimana Al bekerja di kasus sebelumnya. Cara Al menilai kasus berbeda dari tiga rekannya yang lain. Yang membuat Zeroun kesal, Al tahu hatinya meragu, tapi yang dilakukannya hanya membantah kata-kata Zeroun, bukannya mencari bukti.
"Sudah bisa melihat siapa yang benar?" sindir Zeroun.
"Karena sebelumnya saya pikir... saya mengenalnya." Al merendahkan suaranya.
"Setiap orang bisa berubah. Terutama mereka yang sudah melalui banyak hal."
Al yang sebelumnya fokus mengemudi, mengalihkan pandangannya pada Zeroun. Kening Al berkerut, menatap penuh tanya. "Anda menghibur saya?"
Kali ini Zeroun yang mengerutkan keningnya. "Saya hanya mengatakan yang sebenarnya," kilahnya.
Tidak ingin disebut khawatir meski merasa khawatir. Menggunakan cara-cara yang tidak biasa untuk menghibur. Al merasa tidak asing dengan hal seperti itu.
"Kalau dipikir-pikir ada kepribadian Anda yang mirip kakak saya." Al mengambil jalur kanan di perempatan kedua yang mereka temui.
"Saya?"
Zeroun kembali teringat pada pria jangkung yang pertama kali ia temui di kantor. Pria yang terlalu tinggi itu suka tiba-tiba curhat dan tersenyum tanpa sebab. Persamaan dengan dirinya, Zeroun sama sekali tidak mampu melihat di sisi mana pun.
"Kamu bilang saya mirip kakakmu, sementara kakakmu bilang saya mirip kamu. Sebenarnya saudara macam apa kalian ini," protes Zeroun. Selama apa pun ia berpikir, masih tidak ia tahu di mana letak persamaan mereka.
"Kakak bilang kita mirip?"
Zeroun terdiam sesaat. "Sudah, perhatikan saja jalannya. Jangan cerewet!" tandasnya.
Untuk menutupi keceplosannya, Zeroun menaikkan suaranya. Sakti. Al segera merapatkan bibirnya. Tidak ada pertanyaan atau pembicaraan lagi sampai mereka tiba di rumah tempat Huda dan Balqis sebelumnya tinggal.