Tim satu unit Kejahatan dan Kekerasan Reskrim pagi-pagi sebelum berangkat kerja mendapat pesan singkat. Mereka diperintahkan untuk langsung menuju TKP. Sebuah kasus baru saja terjadi. Seseorang ditemukan tewas di kamar mandi rumahnya.
Membaca alamat TKP, Al merasa tidak asing. Ia tidak pernah mendatangi kawasan elite itu tapi yakin mengenal alamatnya.
Untuk pertama kalinya setelah beberapa waktu, Al akhirnya menunggangi si Hitam ke tempat kerja. Biasanya si Hitam hanya ia kendarai untuk jalan-jalan atau bepergian ke tempat yang jauh. Mulai sekarang, akan ada tugas baru. Menemani tuannya ke tempat kerja setiap hari.
Semalam Al bercerita pada kakaknya mengenai sepeda pemberiannya yang tidak sengaja ia hilangkan. Al sangat menyesal dan merasa bersalah, tapi reaksi yang ditunjukkan Yusuf sangat berbeda dari dugaannya.
"Kalau kamu masih mau naik sepeda nanti kubelikan yang baru," kata Yusuf. Ia tengah menonton televisi dengan sestoples stik balado di pangkuannya.
"Ha?!"
"Kenapa?" Yusuf mempertanyakan reaksi Al yang berlebihan. "Sepeda itu sudah hampir 10 tahun. Biarpun enggak hilang memang sudah waktunya diganti."
Kening Al berkerut dalam. Ia tidak menyangka kakaknya bisa bicara semudah itu. Karena sudah hampir 10 tahun, maka sudah terlalu banyak nilai sejarahnya. Maka seharusnya tidak semudah itu digantikan. Al semakin kecewa karena hanya ia sendiri yang merasa kehilangan.
Al menurunkan laju kendaraannya ketika memasuki area perumahan. Terlihat kerumunan orang di jarak lima rumah dari tempat Al berada. Bukan hanya para tetangga, ada banyak reporter dan wartawan dari berbagai media yang berbeda. Mereka semua memadati tempat itu. Tiga orang petugas berseragam terlihat berjaga di sekitar kerumunan. Mereka menyapa Al dan mempersilakannya masuk.
Gambaran mengenai penghuni rumah mulai muncul dalam benak Al. Perasannya menjadi tidak enak.
Tentu saja. Rumah ini pernah Al lihat lebih dari sekali ditampilkan di televisi. Rumah seseorang anak konglomerat terkaya. Seorang pemuda yang tidak hanya cerdas tapi juga penuh talenta. Pemuda yang karier dan asmaranya dijadikan patokan kesuksesan untuk banyak orang. Al tidak mengenal pemuda itu, tidak pernah bertatap muka secara langsung, tapi Al mengenal istrinya. Mereka satu angkatan saat di SMA. Ariqa Balqis.
Dugaan Al semakin terbukti ketika ia memasuki ruangan dan melihat wanita itu duduk bersama seorang petugas. Pandangan Al tak mampu ia alihkan. Ia menangkap sesuatu di wajah Balqis.
Balqis mengangkat wajahnya dan pandangan mereka bertemu.
"Al!" Petugas yang bersama Balqis ternyata adalah Adam. "Kapten ada di atas. Kamu sudah ditunggu," tambahnya.
Sebelum naik ke lantai dua, Al memerhatikan Balqis lagi, memerhatikan sekelilingnya. Selain Balqis, ada tiga orang yang dimintai keterangan secara terpisah oleh Dio dan Irawan.
Dio mencatat keterangan dari seorang pria yang mirip dengan Azhar Huda, jelas itu kakaknya, Chiko Anggara. Mereka benar-benar mirip, hanya auranya saja yang berbeda. Irawan berhadapan dengan dua orang sisanya, yang merupakan asisten rumah tangga.
Langkah Al perlahan. Matanya masih berkeliling. Setelah puas, ia berjalan lebih cepat. Al sudah bisa menebak siapa yang menjadi korban dalam kasus ini dan itu membuatnya semakin tidak nyaman. Al berharap, semoga tebakannya salah.
Di lantai dua, petugas dari unit Inafis sudah terlihat di beberapa tempat. Al masuk ke kamar. Ia harus melewatinya untuk sampai di kamar mandi yang merupakan TKP utama.
Kamar rapi dan bersih. Ada kemeja biru dan celana kain hitam di atas ranjang. Foto pernikahan dalam ukuran 10R terpajang di dinding. Beberapa foto lain dalam pigura yang lebih kecil juga dipajang di dinding, sisanya diletakkan di meja.
Foto-foto lama. Foto-foto penuh kebahagiaan. Seolah mereka adalah pasangan paling diberkati. Paling berbahagia di dunia. Senyum yang terukir di wajah keduanya mampu menularkan perasaan bahagia bagi yang menatapnya.
Ketika Al sampai di TKP, Kapten Lukman sedang berbicara dengan Zeroun. Seperti biasa, Kapten meminta gambaran singkat mengenai penyebab kematian korban. Informasi yang nantinya akan Kapten bagikan kepada awak media yang telah menunggu di luar.
Tatapan Al beralih pada jenazah korban yang masih berada dalam bathtub. Air sabun dalam bathtub bercampur dengan darah korban. Merah tapi tidak pekat. Tubuhnya terendam dan hanya memperlihatkan wajah sampai sebatas leher. Meski begitu, rambutnya terlihat basah.
Zeroun yang pertama menyadari kehadiran Al.
"Al!" sapa Kapten Lukman mengikuti arah pandangan Zeroun. Al mendekat untuk mendengarkan arahan Kapten. "Saya ingin kamu mengumpulkan keterangan dari para tetangga mengenai kemungkinan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan korban."
Kekerasan dalam rumah tangga.
Al tidak menanggapi. Ia masih menunggu apa lagi yang akan Kapten sampaikan.
"Kamu sudah melihat istri korban?" Al mengangguk. "Berarti kamu mengerti maksud saya. Menurut Zeroun itu memar baru dan sangat mungkin karena pukulan," jelas Kapten Lukman.
Tentu saja Al melihat memar di wajah Balqis. Memar itulah yang membuat perasaan Al tidak enak, tidak nyaman. Yang membuat pandangannya sulit teralihkan. Ia tahu persis tiga hari lalu wajah Balqis masih baik-baik saja.
Ketika Kapten menyebut nama Zeroun, pandangan Al otomatis beralih pada petugas di belakang punggung Kapten. Zeroun masih memeriksa jenazah korban. Mengamati sekelilingnya. Seperti biasa keningnya berkerut.
Telah mengerti tugasnya, Al hendak beranjak tapi urung. Ada yang belum ia sampaikan.
"Kapten, sebenarnya saya mengenal Ariqa Balqis, istri korban. Saya satu sekolah saat di SMA. Hanya tidak pernah satu kelas," jelas Al.
"Saya tahu. Zeroun tadi sudah bilang."
"Zeroun?"
Lagi, pandangan Al tertuju pada Zeroun. Seolah tidak mendengarkan namanya disebut, Zeroun tetap pada kesibukannya. Ia memerhatikan pecahan-pecahan yang tercecer di lantai, kemudian memeriksa rak peralatan mandi. Terakhir ia beralih pada tempat sampah. Mengintip isinya.
"Iya. Zeroun melihat pamflet reuni yang ada di laci kamar. Dia juga ingat 3 hari lalu kamu pergi ke reuni sekolah. Selain di bulan puasa dan beberapa hari setelah hari raya, tidak ada sekolah yang mengadakan reuni di hari yang sama. Jadi, Zeroun yakin kalian pasti dari sekolah yang sama."
Seperti yang diharapkan dari seorang Zeroun. Al keluar dari ruangan untuk mulai menjalankan tugasnya.
Kekerasan dalam rumah tangga.
Pikiran Al kembali dipenuhi oleh dugaan itu. Bertanya-tanya bagaimana Balqis menjalani hidup selama ini. Bertanya-tanya apa saja yang telah Balqis alami. Bertanya-tanya bagaimana Balqis bisa bertahan. Berharap dua kejadian ini tidak ada hubungannya.
Dari arah pintu, seorang ibu memasuki ruangan dengan langkah tergopoh-gopoh. Ekspresinya kalut, panik, dengan air mata yang masih merembes. Kakak Huda mendekat lebih dulu, tapi sang ibu justru mendekat ke arah menantunya. Menanyakan keadaannya berulang kali. Mengasihani kemalangannya, kemalangan mereka berdua.
"Wajahmu ini kenapa, Nak?" tanya sang ibu dengan setumpuk kekhawatiran dan rasa dukanya.
"Enggak apa-apa, Bu. Saya nabrak pintu tadi pagi," jawab Balqis kemudian keduanya berpelukan.
Pemandangan itu disaksikan oleh semua orang yang berada dalam ruangan. Setelah melepaskan pelukan masing-masing, Balqis menuangkan air untuk mertuanya. Anak laki-lakinya duduk di sebelahnya, yang kemudian bersama ibundanya kembali meratapi apa yang terjadi pada keluarga mereka.
Langkah Al perlahan. Sangat perlahan. Seolah takut mengganggu kekhidmatan duka keluarga itu.
Sebenarnya dalam hati Al ingin secepatnya bisa berbicara dengan Balqis. Ingin menanyakan keadaannya. Ingin membantu meringankan kesedihan dan kecemasannya. Ingin mengurangi dukanya. Al ingin ada untuk Balqis. Tapi tugas menuntut tanggung jawabnya.
Al mulai mengumpulkan informasi. Ia mengerahkan usaha terbaiknya. Sama halnya seperti Adam, Dio, dan Irawan.
Tim 1 bekerja secara terpisah. Mereka mengumpulkan informasi sebanyak mungkin. Balqis, Chiko Anggara, Bu Ruri, Nurul. Keempatnya ditanyai mengenai alibi mereka, hubungan mereka, kepribadian korban, dan berbagai macam pertanyaan lain.
Zeroun meninggalkan TKP lebih dulu. Ia pergi setelah mendapatkan izin otopsi dari pihak keluarga. Selesai mengajukan pertanyaan, Adam, Dio, dan Irawan berlanjut dengan memeriksa latar belakang korban. Mereka melakukannya dengan cara yang berbeda. Pergi ke tempat yang berbeda juga. Al menjadi yang paling akhir meninggalkan TKP.
Sebelum meninggalkan TKP, Al melihat Balqis mengantar mertua dan kakak iparnya sampai halaman. Ibu mertuanya meminta Balqis agar ikut dengannya. Balqis menolak dengan sopan. Ia berkata akan menyusul nanti. Ia juga berkata harus mempersiapkan dan mengurus banyak hal di rumah.
Walaupun Kapten telah memberikan pernyataan mengenai kasus, jenazah dan beberapa petugas lain juga telah meninggalkan TKP, banyak wartawan yang masih bertahan. Mereka masih menunggu kalimat pernyataan dari pihak keluarga.
Melihat Chiko dan ibunya ke luar, para wartawan segera menyerbu. Mereka menyodorkan mik, mengajukan beberapa pertanyaan, dan mengambil banyak gambar.
Tidak ada kalimat yang ke luar. Baik Chiko maupun ibunya sama-sama bungkam. Sama sekali tidak merespons. Mereka masih sibuk berduka. Chiko dan ibunya terus dikawal sampai mereka masuk ke dalam mobil dan melesat pergi.
Jika ibu dan presiden Explora Grup saja enggan memberi pernyataan, mereka tidak berharap pada Balqis. Mereka tahu watak Balqis. Balqis tidak pernah membuka diri pada media jika bukan permintaan suaminya. Mereka berhambur pergi. Hanya menyisakan 1-2 wartawan saja.