Tidak terasa Farel sudah menghabiskan waktu selama 5 jam di rumahku. Tidak ada hal khusus, kami hanya bercerita sesekali membahas ujian akhir semester kemarin. Kami sangat penasaran dengan hasilnya nanti. Semoga saja hasilnya tidak mengecewakan.
"Aku pulang ya Kei ... mama aku juga udah minta jemput Rika," ucap Farel berdiri.
Aku ingatkan Rika merupakan adiknya Farel.
"Jemput kemana? Dia ngga libur?" tanyaku.
"Ke tempat les, besok liburnya ... udah ya aku pergi. Hati-hati ..." pamit Farel yang dilanjut menaiki motornya.
Aku mengunci pagar dan masuk ke dalam rumah. Aku bersyukur Farel tidak menjauhiku lagi. Begitu Farel pulang aku bingung harus ngapain. Akhirnya aku memutuskan untuk membereskan rumah ditemani lagu-lagu yang sedang naik daun.
Disisi lain Farel merasakan hal yang sama. Ia bersyukur aku tidak mendiamkannya. Keputusan Farel sangat tepat datang ke rumahku. Saat ini Farel hanya harus mengurus Mia. Secepat mungkin berpisah Farel dengan Mia serta mengetahui rencananya Mia dan Nadine.
***
Ring ... ring ... ring!
Aku terbangun karena ponselku yang terus berbunyi. Tanpa melihat siapa yang memanggil, aku langsung mengangkatnya.
"Halo?" ucapku begitu memencet tombol berwarna hijau.
"Halo Kei ... maaf ya kalau aku ngebangunin kamu," balasnya dari seberang sana.
Aku membelalakan mataku ketika mendengar suara laki-laki tersebut. Suara yang baru pertama aku dengan. Aku pun terduduk dan berusaha sepenuh tersadar. Lalu, aku melihat siapa yang memanggil. Rupanya lelaki itu, laki-laki yang aku simpan namanya dengan 'D'.
"Hmm ... ada apa ya nelpon aku pagi-pagi gini?" Akhirnya aku kembali bersuara.
"Pagi? Coba deh kamu liat jam," pintanya yang langsung aku lakukan.
12:15 AM.
"Ah ternyata sudah siang," batinku menahan malu.
"Gimana? sekarang udah siang bukan? Hahaha ..." ledeknya.
"Iya udah siang ..." gumamku.
"Hahaha ... ngga usah malu gitu, sekarang kamu bisa temenin aku ngga?"
"Kemana?"
"Jalan-jalan, aku udah di Bogor nih. Sana mandi terus siap-siap, nanti aku kasih tau kita janjian dimana. Sampai bertemu nanti Keisha ..." ucapnya sebelum mengakhiri panggilan tersebut.
"Gila kali ya? Baru aja bangun, ah udahlah aku mandi dulu. Eh tunggu sebentar, tadi dia manggil aku Keisha, kayanya aku ngga pernah bilang namaku Keisha deh?" gumamku.
Laki-laki berkacamata yang baru saja meneleponku tersenyum puas. Kerinduan padaku sudah tidak dapat ditutupi. Sosok ceria diriku membuat rasa sukanya bertambah, ia sudah tak sabar bertemu denganku. Matanya tak lepas dari rumahku, ya dia berada di dekat rumahku. Setelah beberapa saat ia mengirimkan tempat janjian. Ia meminta kami bertemu di Cafe yang terletak tak jauh dari SMP aku dulu.
Aku memilih celana jeans dengan kaos berwarna putih tak lupa jacket demin. Aku memang tidak pandai dalam berpakaian, aku hanya memilih pakaian yang nyaman dipakai. Dirasa sudah siap dan memastikan pintu rumah terkunci, aku berangkat menggunakan jasa ojek online.
Setelah memakan waktu selama 60 menit, aku telah sampai di Cafe. Sebuah Cafe minimalis yang menggunakan perpaduan warna yang cerah membuat Cafe ini nyaman bagi pengunjung. Aku masuk ke dalam Cafe dengan wajahku yang menengok ke kanan dan ke kiri. Aku terus berjalan sambil menelusuri Cafe tersebut, tak lama ada seorang laki-laki berkacamata menepuk pundakku.
"Hai Keisha?" sapanya.
Aku diam sejenak, "oh hai ... hmm siapa?"
Laki-laki itu tersenyum, "kita duduk dulu yu!" ajaknya mendahuluiku.
Begitu kami duduk, laki-laki itu menawarkan minuman atau makanan yang ingin aku pesan. Sesudah itu, ia memesan dan kembali duduk memandangku. Jujur saja laki-laki memiliki wajah tampan.
"Aku yakin kamu pasti bertanya-tanya siapa aku?" ucap laki-laki.
"Iyalah! Siapa coba yang ngga penasaran sama temen chatnya, apalagi ia tiba-tiba muncul," omelku.
"Kamu masih sama, masih suka ngomel-ngomel," pikirnya.
"Hahaha ... kenalkan namaku Arwan Singgih, kamu bisa panggil aku Arwan. Aku harap bisa berteman baik denganmu," Arwan kembali menunjukkan senyumnya.
Semakin dilihat semakin tampan, baru kali ini aku terpesona dengan wajah laki-laki.
"Aku Keisha Ayudia ... senang bertemu denganmu, mari berteman baik," balasku tersenyum.
"Kamu masih cantik," puji Arwan dalam hati.
Sesudah berkenalan kami melanjutkan dengan berbincang-bincang mengenai kehidupan sekolah. Tentu saja aku menceritakan yang seperlunya saja. Arwan merupakan anak yang mudah bergaul, berdasarkan ceritanya ia dapat berteman dengan siapapun.
Disela-sela kami berbincang pesanan kami datang. Kami pun melanjutkan perbincangan kami.
***
"Makasih ya udah dibayarin," ucapku saat Arwan keluar dari Cafe.
"Ngga masalah, yu kita telusuri wilayah sini," ajaknya lagi.
Belum ada 24 jam aku mengenal Arwan, namun rasanya aku sudah mengenalnya sejak lama. Entah bagaimana, sosok Arwan tidak asing bagiku. Kami berjalanan dari Cafe tadi. Selama di perjalanan tidak ada yang berbicara sedikit pun, kami terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing.
Tersadar dari pikiranku, aku melihat sekeliling. Lingkungan yang tidak asing. Kemudian aku melihat gedung sekolahku pada masa putih biru.
"Dulu aku tinggal di sekitar sini, lingkungan ini penuh kenangan. Namun, aku harus ikut orang tuaku ke Jepang karena ada suatu kejadian yang tak terduga sampai 6 bulan lalu saat ajaran baru, kami kembali ke Indonesia. Kami memilih tinggal di Bandung, tempat kelahiran ibu. Tetapi aku lebih memilih tinggal di Bogor. Aku memasuki sekolah yang berbeda dengan orang yang aku sukai. Andai saja aku tahu lebih awal, aku pasti sudah satu sekolah dengannya," ucapan tiba-tiba Arwan membuatku terdiam. Aku tidak tahu harus berkomentar apa.
Arwan melihatku dan tertawa, ekspresi bingung yang aku tunjukan menjadi hiburan untuknya, "hahaha ... ucapanku barusan anggap aja angin lalu."
"Mana bisa begitu! Kamu udah cerita panjang lebar masa aku diam saja," omelku.
"Kamu tau Keisha ... terkadang seseorang hanya butuh didengar," Arwan mendekatkan wajahnya padaku dengan senyum yang ia tunjukkan.
Spontan aku mundur guna menjauhkan wajahku dari wajahnya. Arwan sangat terhibur dengan sikapku, ia kembali ke posisinya semula.
"Kalau begitu boleh aku tanya satu hal?" kataku hati-hati.
"Tanyakan saja," jawab Arwan cepat.
"Apakah kamu sudah menemukan sekolah perempuan yang kamu sukai?"
Kali ini senyum cerah terpampang di wajahnya, "iya sudah."
"Baguslah kalau gitu," komentarku.
Saat ini, aku sungguh tidak tahu kalau orang yang dimaksud adalah diriku. Memang aku masih lugu dan bodoh, tidak bisa mengetahuinya begitu saja. Padahal sudah ada petunjuk dari Arwan menjadi teman chat, mengajak bertemu sampai bercerita tentang dirinya. Namun, ada satu yang dapat aku pastikan. Arwan sudah mengenal diriku terlebih dahulu. Aku harus mendapatkan ingatanku kembali agar mengetahui apakah aku juga mengenal Arwan atau tidak.
Kerinduan Arwan denganku tidak dapat dipungkiri lagi. Meskipun demikian, Arwan menahan mati-mati untuk tidak memelukku. Arwan tidak ingin aku berpikiran buruk mengenainya.
"Oh ya Kei, kita ke sekolah itu yu!" Arwan melihat ke arah gedung sekolahku dulu.
"Eh apa?" ucapku tak percaya.
Lagi-lagi Arwan memperlihatkan senyumnya.
***