Class Meeting berlangsung dengan meriah dan lancar. Tibalah acara puncak Class Meeting SMA Raya Indonesia, yaitu Pentas Seni atau biasa anak sekolah sebut Pensi yang hanya dihadiri oleh siswa-siswi SMA Raya Indonesia. Setiap kelas mengirimkan perwakilan untuk unjuk gigi. Entah itu bernyanyi atau menari.
Sebagai akhir acara, pemenang lomba membaca puisi serta pidato tampil. Tak lupa pengumuman kelas yang mendapatkan keuntungan, kelas yang mendapatkannya adalah kelas 11 IPA 5 . Dengan berakhirnya pengumuman tersebut tibalah menampilan seni teater dari berbagai macam kelas dibawah pengawasan guru seni sebagai penutup acara tersebut.
Sorak sorai telah menyelimuti seluruh wilayah SMA Raya Indonesia. Semua sangat menikmati Pentas Seni tersebut, tanpa terkecuali aku. Berkat Pensi aku dapat menghibur diri, setelah sebelumnya hidup seperti robot. Jika bukan karena Shella yang terus menerus mengirim pesan untuk menyemangatiku agar sekolah, aku tidak akan ada disini.
"Shella makasih ya, berkatmu aku dapat menikmatinya," ucapku yang menyamai langkah Shella. Saat ini kami menuju Kantin.
"Ngga masalah, aku senang kamu membaik. Aku sempat takut kamu kenapa-napa karena belakangan ini kamu seperti hidup segan mati tak mau," ucap Shella.
"Hahahaa ... ucapanmu ngga salah. Memang kemaren aku ngga ada semangat hidup. Aku pun tidak mengerti."
"Sudah tidak usah dipikirkan. Lebih baik kita makan batagor!" Shella mempercepat langkahnya.
Berakhirlah sudah Class Meeting Semester Ganjil tahun ajaran 2013/2014.
***
Di hari pertama libur semester aku hanya merebahkan diri di kasur dengan ponsel ditanganku. Aku mencari puisi, berharap dapat menemukan petunjuk untuk membantu memulihkan ingatanku kembali.
Tok ... tok ... tok!
"Ibu masuk ya," ujar ibu membuka pintu pelan.
"Iya Bu," sahutku.
"Kamu ngga main sama Farel? Biasanya baru hari pertamanya aja udah pergi kemana tau," ucap ibu seraya menggoda anak semata wayangnya ini.
"Farelnya sibuk Bu," bohongku. Aku tidak mungkin bilang kalau kami sudah seminggu tidak bertegur sapa. Semenjak itu, Farel benar-benar membiarkanku sendiri, sedangkanku tidak berani menyapanya duluan.
"Tumben banget, biasanya sesibuk apapun Farel selalu menyempatkan dirinya main sama kamu," goda ibu lagi.
"Ada masanya Ibu ... masa aku harus menghalanginya sih?"
"Menghalangi gimana? Ibu ngga maksud begitu lho sayang hihihi ..." ucap ibu terkekeh-kekeh.
"Ibu berhentilah ..." mohonku.
"Hahaha ... iya-iya. Ibu sama Ayah mau pergi ke rumah Tantemu yang ada di Jakarta, kamu mau ikut ngga?" tawar ibu.
"Ngga Bu, Kei mau di rumah aja," Aku menolak ajakan ibu. Bukan tanpa alasan aku menolak. Aku harus lebih giat mencari petunjuk untuk ingatanku.
"Ya udah kalau gitu ... Ibu mau siap-siap dulu," ibu beranjak pergi.
"Ibu pergi berapa hari?" tanyaku sebelum ibu keluar kamar.
"3 hari, tenang Ibu pasti datang buat ngambil raport kamu," ucap ibu menutup pintu kembali.
Bertepatan dengan ibu menutup pintu, aku mendapat pesan darinya. Sosok yang selalu membuatku penasaran. Ia memberitahuku bahwa akan berlibur di Bogor dan mengajakku untuk bertemu. Aku langsung menerimanya. Akhirnya aku dapat bertemu dengannya.
Selain aku yang tak sabar. Lelaki itu mengangkat kedua ujung bibirnya, mukanya begitu berseri ketika tahu kalau aku tidak sabar bertemu dengannya. Lelaki itu bertekad akan selalu membuatku tersenyum. Ia tidak akan membiarkan siapapun membuatku bersedih.
***
Ibu dan ayah sudah menyiapkan barang bawaan. Ayah memberiku uang saku selama 3 hari, ibu sudah menyiapkan bahan makanan untukku. Aku berpesan agar mereka berhati-hati, begitu pun orang tuaku. Kami berjanji untuk saling mengabari.
"Kalau ada apa-apa langsung kabari Ibu ya ..." ucap ibu sebelum menaiki mobil.
"Ibu tenang aja ..." balasku.
"Ayah berangkat ya nak ... jangan lupa selalu jaga kesehatan," ayah mengusap kepalaku.
"Siap Ayah!" sahutku.
Aku melambaikan tangan pada ibu dan ayah. Baru saja aku berbalik sebuah kendaraan roda dua berhenti di depan pagar. Aku kembali berbalik ke arah pagar dan melihat Farel turun dari motornya. Aku langsung menghampiri Farel.
"Kiraiin aku, kamu ngga akan main kesini," ucapku membuka pagar.
"Tadinya, tapi aku ngga kuat. Rasa bersalahku semakin besar," jelas Farel.
Aku tersenyum begitu Farel mengucapkan 'rasa bersalah' hal ini menjadi pembuktian bahwa Farel tidak ada perasaan khusus kepadaku.
"Aku senang akhirnya kamu mengakuinya. Aku ngga akan tanya penyebab kamu merasa bersalah," ujarku.
"Eh? Sepertinya kamu salah paham. Itu rasa bersalah yang tempo lalu," sanggah Farel.
"Itu sudah lebih dari cukup untuk membuktikannya. Ayo masuk, tapi di teras aja ya ... orang tuaku ngga ada di rumah."
Farel tidak menyangka kalau aku lebih tenang. Farel mengira aku akan menangis atau mengomel lebih parahnya mengabaikan Farel. Farel rasa efek aku pingsan sebelumnya sangat berpengaruh.
Aku membawakan minuman dingin beserta cemilan. Farel bercerita tentang betapa kecewanya teman kelasnya. Mendengar hal itu membuatku merasa bersalah. Jika aku tidak pingsan, Farel tidak akan mengalami hal itu. Namun, Farel mempertegas bahwa aku tidak perlu merasa bersalah. Setelahnya aku bercerita tentang bagaimana aku menjalani hidup selama Class Meeting kemarin.
Aku hanya datang ke sekolah, membersihkan kelas, makan, minum, pulang ke rumah. Tidak ada yang namanya bercanda gurau bahkan aku mendiamkan Nadine, Mia dan Shella. Shella tidak sanggup lagi melihatku bersikap demikian. Maka dari itu, Shella tidak menyerah menyemangatiku. Berkatnya aku membaik.
"Sebenarnya apa yang membuatmu seperti itu? Apa yang terjadi sebelum kamu pingsan?" raut wajah khawatir terpampang dalam diri Farel.
Aku menjelaskan semua. Apa yang diceritakan olehku dan Nadine sama, Nadine memang mengatakan yang sebenarnya. Aku pun mengatakan ucapan Shella. Rasanya Farel ingin mengatakan saat itu juga kalau Nadine dalang dibalik semuanya.
"Sejujurnya aku memiliki perkiraan siapa orang itu. Tapi aku menepis itu semua mengingat apa yang sudah aku dan dia lakukan bersama," ungkapku.
"Siapa?" tanya Farel penasaran.
"Nadine dan Mia. Aku juga berpikir Shella, aku memikirkan selama ini Shella berpura-pura peduli padaku. Namun, semakin aku memikirnya semakin aku ngga percaya. Kalau memang benar, aku salah apa sampai mereka melakukan ini padaku?" Aku menundukkan kepala.
Farel terkejut dengan ucapanku. Ia tidak percaya aku dapat berpikir seperti itu.
"Ditambah Mia itu pacar kamu, mana mungkin aku berprasangka buruk pada pacar sahabatku sendiri? Itu berarti aku tidak percaya dengan pilihan yang dibuat sahabatku," Aku kembali melanjutkan ucapanku.
"Aku justru senang. Itu berarti kamu dapat melihat apa yang tida aku lihat. Jika kamu benar, maka aku akan mengakhiri hubunganku dengannya. Tidak ada yang salah dengan prasangkamu itu," ujar Farel. Aku mengangkat wajahku guna melihat Farel.
"Gimana? Lega bukan jika mencurahkannya?"
Aku menangguk serta menunjukkan senyumku, "iya ... memang ngga salah kalau kamu jadi sahabatku hahaha ...."
"Bagaimanapun caranya, aku ngga akan membuatmu merasakan hal menyedihkan seperti ini lagi," Tekad Farel dalam hati.
***