Farel masih setia menemaniku. Dokter UKS sudah kembali dan menyarankan Farel untuk melanjutkan aktivitasnya, namun Farel menolak. Saat ini, aku adalah prioritas utamanya.
Hal ini membuat seluruh murid kelas 11 IPA 2 geram lantaran Farel tidak mengikuti lomba bulu tangkis yang mengakibatkan kelasnya kalah. Berulang kali Farel mendapatkan panggilan masuk dari teman-teman kelasnya dan sudah tak terhitung jumlahnya pesan yang diterima Farel.
"Beginilah Farel, selalu mengutamakan Kei," celetuk Rio di depan pintu UKS.
Farel sudah mengenal suara Rio, jadi ia tak perlu berbalik. Rio menghampiri Farel.
"Anak-anak pada nyariin kamu tuh! Ke kelas sana daripada mereka makin marah," ucap Rio yang sudah berada di samping Farel.
"Ngga bisa," balas Farel cepat.
"Jujur deh, hubungan kalian tuh apa sih? Sampe mengutamakan Kei ...."
"Sahabat ngga lebih," Farel memandangku lekat-lekat.
"Yakin?" Rio masih tidak percaya.
Farel terdiam. Jika Rio tahu siapa orang yang disukai Farel, pasti tidak akan percaya dan mempertanyakan tingkah laku Farel padaku selama ini.
"Hmm ... semoga Kei cepat sadar dan kamu cepat meminta maaf pada anak kelas," ujar Rio sebelum meninggalkan Farel.
***
Tepat sebelum bel pulang berbunyi, aku telah terbangun. Aku membuka mata perlahan-lahan dan mendapati Farel yang tertidur di kursi dengan tangan dilipat di dada.
"Lagi-lagi aku merepotkannya," batinku.
Baru saja aku beranjak dari tempat tidur, Farel bangun dengan sigap membantuku.
"Pelan-pelan," ucapnya seraya memapahku.
"Maaf ya ..." lirihku. Aku sangat menyesal selalu membuat Farel kesulitan.
"Harusnya aku yang minta maaf karena udah lalai jagain kamu," balas Farel mengelus kepalaku.
Aku melepaskan tangannya, "aku bisa sendiri kok, kamu ke kelas aja sana. Aku yakin kamu seharian ini nemenin aku."
Farel memandangku dengan tatapan sendu. Sejujurnya aku tidak menyukai tatapan Farel saat ini.
"Udah sana pergi, aku bisa pulang sendiri dan bisakah kamu berhenti menatapku seperti itu?" Aku memperlihatkan senyum cerahku.
Farel menghela napas terlebih dahulu sebelum menjawab, "ok kalau itu mau kamu, tapi janji langsung pulang dan kabari kalau udah sampai," pintan Farel yang langsung terima dengan anggukan kepala.
Setelah aku memastikan Farel pergi, aku mencoba mengingat kembali. Aku merasa senang karena sedikit demi sedikit aku mendapatkan ingatanku kembali.
***
Aku sampai kelas dan melihat Nadine berlari memelukku. Aku bisa merasakan bagaimana khawatirnya Nadine padaku.
"Maaf ya udah buat kamu khawatir," ujarku.
Nadine melepaskan pelukannya, "dasar! awas lho pingsan lagi ... bisa banget bikin temennya khawatir."
"Nadine tenang saja," ucapku tersenyum.
Shella melihat kami dari tempat duduknya, ia tidak habis pikir dengan tingkah laku Nadine. Jelas sekali Nadine tidak mengkhawatirkanku sama sekali. Jika khawatir, Nadine pasti menemaniku seperti Farel.
Di ruangan yang sama terdapat Mia yang menatapku penuh kebencian, "cih, kenapa ngga lebih lama aja sih pingsannya?"
Tak sengaja pandangan kami bertemu. Aku langsung tersenyum dan Mia membalasnya. Lalu aku menghampiri tempat dudukku.
"Syukurlah kamu udah sadar ..." ucap Shella seraya berdiri.
"Maaf ya Shella udah buat kamu khawatir," balasku.
Shella memperhatikanku sejenak. Pandangannya terlihat menyelidik membuatku merasa sedikit tidak nyaman.
"Hmm Shella ada apa?" tanyaku hati-hati.
"Ngga ada apa-apa ... aku cuma mikir kok ada ya orang kaya kamu yang ngga punya salah apa-apa malah minta maaf?" kata Shella masih dengan tatapan menyelidik.
"Oh itu ... emang salah karena udah buat orang lain khawatir," Aku menggaruk-garuk leher yang tak gatal.
"Justru itu! Kamu pingsan bukan kehendakmu dan rasa khawatir tuh wajar. Ah sudahlah aku mau pulang aja ... kamu hati-hati ya, inget jangan terlalu baik!" Shella menepuk pundakku sebentar sebelum meninggalkan kelas.
Ucapannya Shella membuatku bertanya-tanya akan sikapku ini. Aku hanya baik kepada teman-temanku, aku bisa bersikap cuek kepada orang yang tak aku kenal. Jika memikirkan ucapan Shella dan sifatku itu mengarah kepada orang yang aku kenal. Tapi siapa? Aku tidak dapat menduganya. Lebih tepatnya aku menyangkalnya.
***
Ketika Farel kembali ke kelas, ia disambut oleh ucapan tidak mengenakan dengan menatap tajam Farel. Farel hanya bisa mengabaikan semua itu.
Rio menepuk pundak Farel bermaksud untuk menyabarkannya. Lalu, datanglah salah satu teman sekelas Farel, yaitu Vira.
"Rel, bisa ngga sih lebih mementingkan urusan sendiri? Kamu tuh diberi kepercayaan untuk berpatisipasi mewakili kelas, tapi kamu malah mengecewakan kami," ucap Vira mewakili kelas 11 IPA 2.
Bukan hal aneh jika seluruh murid antusias dengan Class Meeting karena kelas yang paling banyak memenangkan perlombaan akan mendapatkan keuntungan berupa segala kebutuhan kelas ditanggung oleh sekolah termasuk biaya fotocopy selama 1 semester yang artinya tidak usah membayar uang kas dalam periode tersebut. Pihak sekolah memberikan keuntungan ini untuk mencegah murid melarikan diri atau kabur.
Hal itulah yang membuat teman kelas Farel marah besar. Hilang sudah kesempatan bebas uang kas selama 1 semester.
"Maaf ... sebagai gantinya aku akan bertanggung jawab untuk kebersihan kelas," kata Farel mencoba menenangkan.
"Ngga perlu. Kamu hanya perlu hadir guna memenuhi absen," ucap Vira sembari berbalik arah.
Sekali lagi Rio menepuk pundak Farel.
"Duluan ya bro," pamit Farel pada Rio.
"Ok bro," balas Rio.
Farel berjalan dengan tergesa-gesa, berharap aku masih di kelas. Farel benar-benar tidak bisa meninggalkanku. Tinggal beberapa langkah lagi Farel sampai kelasku, Mia menghampirinya.
"Hai Farel," sapa Mia riang.
"Oh hai," balas Farel seadanya. Saat Farel hendak melangkahkan kaki, Mia menahan lengan Farel.
Farel menengok memperhatikan Mia. Tanpa ragu Mia berucap, "kalau kamu cari Kei, dia udah pulang. Jadi, pulang sama aku aja ... toh Keinya juga lagi pengen sendiri."
Farel memicingkan mata menandakan kecurigaan pada Mia. Mia yang mengerti langsung menyanggahnya, "aku ngga bohong. Aku ngga tau apa yang sebenarnya terjadi pada Kei, tapi aku dapat menjamin ia butuh waktu sendiri untuk memikirkan masalahnya."
"Ucapannya ngga sepenuhnya salah, tapi aku ngga bisa biarin Kei begitu saja. Aku harus mengejarnya!" batin Farel.
Farel melepaskan tangan Mia, tanpa berucap sepatah katapun Farel berlari menyusulku.
"Bodoh," umpat Mia menyusul Farel.
Farel berhasil mengejarku. Aku sangat terkejut begitu melihat Farel dengan napas tersenggal-senggal akibat berlari berdiri di depanku. Farel berusaha mengatur napasnya terlebih dahulu. Aku hanya diam melihatnya.
"Ayo pulang," Sebelum Farel memegang tanganku, aku bergerak mundur satu langkah.
"Ngga usah ... aku bisa sendiri," lirihku.
Farel tidak percaya dengan ucapanku. Biasanya aku selalu bergantung pada Farel serta tidak pernah menolak ajakannya.
"Farel aku mohon ... biarkan aku sendiri," ucapku pelan sebelum meninggalkan Farel.
Mata Farel mengikuti pergerakkanku. Perasaan khawatir menyelimuti dirinya. Farel hanya berharap aku kembali ceria.
"Benarkan kataku?" ujar Mia yang baru datang disertai sedikit napas yang tersenggal-senggal.
Farel menatap sinis Mia.
"Hey ayolah ... aku tuh pacar kamu ngga perlu menatapku seperti itu. Ah sebelum itu istirahat dulu sebentar, aku sedikit berlari dan lelah," Mia mengatur napasnya agar stabil.
Dengan enggan Farel mengantarkan Mia pulang dengan selamat.
***